Gereja Masehi advent Hari Ketujuh

Kamis, 29 November 2012

PELAJARAN KE-IX; 1 Desember 2012 "GEREJA: BERBAGAI UPACARA DAN RITUAL"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "KITA, DAN UPACARA SIMBOLIK GEREJAWI"

oleh Loddy Lintong pada 30 November 2012 pukul 11:07 ·

(ILUSTRASI: Baptisan Yesus Kristus oleh Yohanes Pembaptis menurut imajinasi seorang pelukis)

PELAJARAN KE-IX; 1 Desember 2012
"GEREJA: BERBAGAI UPACARA DAN RITUAL"


Sabat Petang, 24 November
PENDAHULUAN

Tanda pengakuan. Manusia adalah makhluk cerdas yang memiliki kebutuhan sosial dan psikologis. Setiap orang mempunyai keinginan untuk sosialisasi diri. Sejalan dengan perkembangan psiko-sosialnya, setiap orang juga memiliki kerinduan untuk aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini membuat seseorang selalu ingin untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas di mana dia bisa memperoleh pengakuan diri dan kebanggaan. Banyak perkumpulan dalam masyarakat yang mempunyai tradisi penerimaan keanggotaan melalui suatu upacara khusus yang menandakan bahwa seseorang telah resmi diterima dalam kelompok itu. Setiap komunitas mempunyai tradisinya sendiri dalam "pentahbisan" anggota baru, sebagai penegasan bahwa seseorang telah menjadi bagian dari perkumpulan itu dan siap memenuhi kewajibannya sesuai tujuan dan missi. Tentu saja untuk bergabung ke dalam suatu perkumpulan itu adalah pilihan pribadi seseorang.

Ada pula tradisi dalam masyarakat untuk menandakan keadaan atau tingkat tertentu yang telah dicapai seseorang. Dalam hal ini, pengesahan itu seringkali berupa suatu keharusan dan bukan pilihan dari orang yang bersangkutan. Biasanya ini berlaku pada masyarakat tertentu menurut nilai-nilai budaya yang bersifat mengikat seseorang yang menjadi bagian dalam masyarakat itu, baik atas dasar kelahiran maupun karena hidup di lingkungan masyarakat yang memelihara adat-istiadat tertentu. Contohnya, dalam masyarakat Amerika ada tradisi "baby shower" untuk merayakan kehamilan pada usia tertentu, atau "bridal shower" bagi calon pengantin perempuan yang segera menikah. Di Indonesia kita juga mengenal upacara "appassili"  pada masyarakat Bugis bagi calon pengantin, dan tradisi "tedak siten"  di masyarakat Jawa bagi bocah berusia tujuh atau delapan bulan ketika dia mulai belajar berjalan.

Upacara-upacara tersebut di atas, baik yang dimasuki seseorang berdasarkan pilihannya (menjadi anggota sebuah perkumpulan), atau berdasarkan tradisi budaya masyarakat di mana seseorang tinggal (mencapai usia tertentu atau memasuki tahap kehidupan tertentu), semuanya disebut sebagai "inisiasi" (dari kata Latin initium yang berarti "pintu masuk" atau "permulaan"). Prosesi upacara ini juga dikenal sebagai "ritus penerimaan" (rite of passage) yang mesti dijalani seseorang demi mendapatkan pengakuan resmi akan statusnya yang baru, baik sebagai anggota sebuah perkumpulan atau sebagai anggota masyarakat.

"Dalam masyarakat Kristen terdapat juga ritus-ritus tertentu, yaitu upacara-upacara yang memformalkan komitmen pribadi terhadap iman yang mereka akui. Upacara-upacara sakral ini tidak saja menegaskan partisipasi dan persekutuan seseorang dalam suatu perkumpulan, tetapi idealnya untuk menyiapkan orang-orang itu supaya menjadi anggota-anggota yang setia dan produktif dari perkumpulan itu. Upacara-upacara itu juga merupakan sarana untuk membantu anggota-anggota memahami apa yang dituntut dari komitmen mereka terhadap Kristus" [alinea kedua tiga kalimat pertama].

Jadi, sebagaimana upacara-upacara peresmian status adalah penting dalam kehidupan bermasyarakat secara sekuler, dalam kehidupan rohani upacara-upacara serupa yang menandai tergabungnya seseorang dalam suatu persekutuan iman adalah juga penting. Bahkan, bagi masyarakat Kristiani ada upacara-upacara tertentu yang disakralkan oleh sebab hal itu telah dimulaikan dan dicontohkan serta diperintahkan oleh Yesus Kristus sendiri, sehingga merupakan hal yang wajib untuk dijalani oleh setiap orang yang hendak menjadi sebagai pengikut-Nya.

Minggu, 25 November
BERBAGAI ISTILAH (Menamai Upacara-upacara Suci)


Keabsahan nama. Para pengeritik Kekristenan agak "melecehkan" kebiasaan orang-orang Kristen yang suka mengubah nama dan istilah sehingga, kata mereka, mengaburkan makna yang asli. Terutama mereka mencela penerjemahan nama-nama dalam Kitabsuci ke dalam berbagai bahasa (khususnya bahasa Inggris), padahal--menurut mereka--nama itu seharusnya bersifat spesifik. Misalnya, Yahweh menjadi God, Yeshua menjadi Jesus, Musa menjadi Moses, Daud menjadi David, dan sebagainya. Selain nama orang, banyak juga istilah dalam bahasa asli Alkitab yang diubah menggunakan istilah dalam bahasa-bahasa moderen yang seringkali tidak mudah untuk menemukan padanan kata yang betul-betul cocok dan representatif menggambarkan makna sesungguhnya. Entahlah.

Salah satunya adalah istilah sakramen. Kata serapan dari bahasa Latin, sacramentum, ini aslinya adalah sebuah istilah hukum yang berlaku bagi warganegara Romawi menyangkut sumpah setia dan ketaatan terhadap hukum, khususnya militer. Istilah ini telah dipungut oleh Gereja Kristen mula-mula pada abad ketiga dengan tambahan satu kata Latin di depannya, sacer (=suci), sehingga menjadi istilah baru dalam khasanah upacara-upacara Gerejawi sebagai "sakramen suci" atau upacara kudus. St. Augustine mendefinisikan sakramen sebagai "bentuk yang dapat dilihat dari kasih karunia yang tidak terlihat" atau "sebuah tanda dari suatu hal yang suci" yang merujuk kepada upacara yang dilembagakan oleh Yesus Kristus untuk menjadi sebagai satu ikatan antara Tuhan dengan manusia. Dalam katekismus Gereja Lutheran dan Anglikan, sakramen didefinisikan sebagai "sebuah tanda lahiriah dan kasat mata dari kasih karunia yang bersifat batiniah dan rohaniah yang diberikan kepada kita, disahkan oleh Kristus sendiri, sebagai cara oleh mana kita menerima hal yang sama, dan suatu ikrar untuk memastikannya kepada kita."

"Mereka yang menggunakan kata ini merasa bahwa hal itu menggambarkan secara akurat sifat dari upacara-upacara suci. Namun, dengan berlalunya waktu, muncullah ide untuk melambangkan satu upacara dengan sebuah kuasa batiniah yang tidak kelihatan. Gereja di Abad Pertengahan memperkenalkan tujuh upacara seperti itu, disebut 'sakramen,' yang dipandang sebagai cara untuk menanamkan kasih karunia ke dalam jiwa seseorang" [alinea pertama: tiga kalimat terakhir].

Perubahan istilah. Gereja Katolik Roma mengajarkan tentang tujuh macam sakramen utama, termasuk upacara baptisan dan perjamuan kudus. Tetapi oleh karena istilah "sakramen" itu berkaitan dengan kata Grika μυστήριον, mystērion, yang berarti "upacara rahasia," maka sebagian pemuka Kristen Protestan menilai bahwa pemakaian istilah itu untuk sesuatu upacara gereja adalah tidak tepat. Upacara baptisan, misalnya, tidak sepatutnya dianggap sebagai sesuatu yang bersifat rahasia, justru baptisan itu harus dilakukan di hadapan umum sebagai pernyataan bahwa seseorang telah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi dan melalui baptisan menyatakan diri sebagai pengikut Kristus (orang Kristen). Gereja Protestan kemudian memperkenalkan istilah baru, "pentahbisan" (ordinance) untuk menggantikan kata "sakramen" sebagai upacara suci di gereja, khususnya upacara baptisan dan perjamuan kudus.

"Memilih istilah pentahbisan gantinya sakramen itu sama dengan mengatakan bahwa seseorang turut mengambil bagian dalam upacara-upacara itu oleh sebab upacara-upacara tersebut adalah cara yang telah ditetapkan ilahi bagi kita untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada Kristus. Upacara-upacara itu merupakan cara-cara simbolik menyatakan iman kita" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Cara, bukan tujuan. Praktik-praktik kegerejaan yang mengandung makna kekudusan memang lebih tepat untuk disebut sebagai upacara pentahbisan ketimbang sebagai sakramen yang cenderung bersifat tertutup. Di antaranya termasuk kegiatan penginjilan (Mat. 28:19, 20), pembasuhan kaki (Yoh. 13:14), dan perjamuan kudus (1Kor. 11:23-26). Selain ketiga hal itu, berbagai upacara gerejawi yang suci dan bersifat pentahbisan adalah juga pengurapan pendeta, pengurapan diakon/ketua jemaat, dan pentahbisan gereja itu sendiri. Dalam hal ini "pentahbisan" berkaitan erat dengan "disucikan" atau "diasingkan untuk suatu maksud khusus dan istimewa" yang dalam hal ini atas diri seseorang dan sesuatu benda. Pada prinsipnya, upacara pengurapan dan pentahbisan adalah semacam "pengakuan lahiriah" yang diproklamirkan oleh seseorang atas dirinya, atau oleh banyak orang atas sesuatu benda, di mana seseorang atau sesuatu benda dinyatakan sebagai milik Allah dan diasingkan untuk maksud-maksud ilahi.

Dengan demikian, maksud dari berbagai upacara pentahbisan yang bersifat khusus dan suci itu semuanya diadakan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Seseorang yang ditahbiskan menjadi ketua jemaat atau sebagai diakon, misalnya, itu merupakan pengesahan dirinya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan ke atas pundaknya; demikian pula sebuah bangunan yang ditahbiskan menjadi sebagai rumah Tuhan adalah peresmian untuk pemanfaatannya sebagai tempat umat berhimpun dan beribadah. "Sesuai pemahaman kita, upacara-upacara pentahbisan itu merupakan lambang-lambang lahiriah dari pengakuan kita akan apa yang Kristus telah lakukan bagi kita dan tentang hubungan kita dengan Dia (serta segala hal yang berkaitan dengan penyatuan ini), dan upacara-upacara itu menyatakan maksudnya dengan sempurna. Itu semua adalah cara untuk suatu tujuan, bukan upacara-upacara itu sendiri sebagai tujuan" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang penyebutan istilah dari berbagai upacara kegerejaan?
1. Gereja Kristen sarat dengan tradisi-tradisi upacara yang melambangkan berbagai pengakuan iman maupun pelayanan. Sejalan dengan bergulirnya waktu, istilah-istilah yang digunakan untuk upacara-upacara itupun berubah dan mengalami penyempurnaan.
2. Gereja yang mula-mula menggunakan istilah "sakramen" untuk berbagai upacara suci yang diadakan di dalam gereja atau terhadap seorang anggota jemaat, sedangkan gereja-gereja beraliran Protestanisme lebih memilih untuk menggunakan istilah "pentahbisan" bagi upacara-upacara itu. Alasannya, "sakramen" berkaitan dengan sesuatu yang dirahasiakan padahal upacara-upacara itu mestinya bersifat proklamatif dan terbuka.
3. Upacara-upacara kegerejaan berfungsi sebagai "penegasan" atas pilihan pribadi seseorang untuk menjadi bagian dari iman Kristen, atau kesepakatan jemaat yang berkaitan dengan penugasan dan pelayanan di lingkungan gereja. Jadi, upacara pentahbisan adalah "alat untuk mencapai tujuan" dan bukan tujuan itu sendiri.

Senin, 26 November
TANDA PENGAKUAN (Upacara Baptisan)



Sebagai lambang. Baptisan tidak serta-merta menjadikan seseorang sebagai warga surga dan memastikan keselamatannya; itu hanyalah lambang tentang pengakuan iman orang itu kepada Yesus Kristus yang mengaruniakan keselamatan itu kepadanya. Sebagai lambang, baptisan itu harus memenuhi unsur-unsur yang selaras dengan apa yang dilambangkan oleh upacara itu. Baptisan melambangkan penyatuan rohani dengan Kristus di mana kita turut mengalami kematian, penguburan, dan kebangkitan yang sudah dialami Kristus (Rm. 6:3-8). Baptisan juga berkaitan dengan pertobatan dan pengampunan dosa (Kis. 2:38); kelahiran baru dan penerimaan Roh Kudus (1Kor. 12:13); dan sebagai tanda penggabungan diri dengan Gereja (Kis. 2:41, 47).

"Baptisan melambangkan suatu hubungan perjanjian dan kerohanian dengan Allah melalui Kristus(Kol. 2:11-12). Baptisan melambangkan apa yang dilambangkan oleh sunat dalam Perjanjian Lama. Dan juga baptisan melambangkan suatu peralihan kesetiaan, sesuatu yang menempatkan seseorang ke dalam persekutuan yang diasingkan bagi pelayanan Kristus. Penerimaan Roh dalam baptisan menyanggupkan orang-orang percaya untuk melayani gereja dan pekerjaan demi keselamatan orang-orang yang belum percaya (Kis. 1:5, 8)" [alinea kedua].

Kata asli yang diterjemahkan dengan dibaptiskan dalam PB adalah βαπτίζω, baptizō, sebuah kata-kerja yang artinya diselamkan dengan maksud untuk membasuhkan supaya menjadi bersih. Sebagai kata-benda adalah βάπτισμα, baptisma, yang artinya pencelupan atau penyelaman. Akar-katanya ialah βάπτω, baptō, yang berarti dicelupkan secara berulang-ulang ke dalam cairan berwarna untuk mengubah warna sesuatu benda. Jadi, baptisan sesungguhnya mengandung makna "perubahan" sebagai hasil dari baptisan itu.

Yesus dibaptis. Alkitab mencatat, "Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya. Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: 'Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?' Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: 'Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.' Dan Yohanes pun menuruti-Nya" (Mat. 3:13-15). Sebelumnya, Yohanes Pembaptis sudah mengkhotbahkan kepada orang banyak di tepi sungai Yordan itu tentang Yesus. "Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api" (ay. 11).

Keengganan Yohanes untuk membaptiskan Yesus adalah hal yang sangat masuk akal, dilihat dari kedudukannya dibandingkan dengan kekuasaan Yesus Kristus, sekalipun sebagai manusia biasa mereka berdua mempunyai hubungan darah sebagai cucu-bersaudara (Maria, ibu Yesus, adalah sepupu dari Elisabet, ibu Yohanes Pembaptis; baca Luk. 1:36-43). Tetapi karena Yesus mendesaknya, diapun membaptiskan Anak Allah itu sebagaimana dilakukannya kepada orang-orang lain yang bertobat dari dosa-dosa mereka. Pertanyaannya ialah: Mengapa Yesus Kristus, Sang Juruselamat yang selama hidup-Nya di atas dunia ini tidak pernah berbuat dosa, harus juga dibaptis?

Berbagai teori muncul perihal baptisan Yesus. Ada yang berpendapat bahwa Yesus menjalani baptisan dalam kapasitas-Nya mewakili orang-orang berdosa, seperti yang kemudian dijalani-Nya di salib; yang lain mengatakan baptisan yang Yesus jalani itu adalah bayangan atas kematian dan kebangkitan-Nya sendiri; sebagian lagi menyebutnya sebagai keteladanan yang dicontohkan-Nya untuk para pengikut-Nya. Tetapi berdasarkan catatan Alkitab pada ayat-ayat di atas, Yesus sendiri yang menyatakan, "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah" (Mat. 3:15; huruf miring ditambahkan). Jadi, baptisan adalah untuk menggenapi atau memenuhi kehendak Allah. Melalui baptisan itu pula Yesus bergabung dengan "tubuh-Nya" yaitu "jemaah" (Gereja) yang terdiri atas orang-orang Yahudi yang sudah bertobat dan dibaptiskan oleh Yohanes Pembaptis, dan pada waktu yang sama baptisan-Nya itu juga sekaligus menegaskan pekerjaan Yohanes Pembaptis.

Lambang penobatan. Segera setelah Yesus dibaptis dan keluar dari air sungai Yordan itu, langit terbuka lalu turunlah Roh Kudus menyerupai seekor burung merpati yang hinggap ke atas-Nya, dan pada saat yang sama suara Allah terdengar dari surga berkata, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (ay. 17). Kita tidak tahu pasti apakah orang banyak yang hadir di tempat itu juga semuanya dapat melihat peristiwa ajaib ini, dan mendengar perkataan Allah dari surga, atau tidak. Catatan Matius dan Markus hanya menyebutkan, "Ia [Yesus] melihat" Roh Allah yang menyerupai burung merpati itu turun ke atas-Nya (Mat. 3:16; Mrk. 1:10), sedangkan Lukas tidak menjelaskannya secara tegas. Tetapi Yohanes (murid Yesus) memuat kesaksian lengkap dari Yohanes Pembaptis sendiri mengenai peristiwa ini, "Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya. Dan aku pun tidak mengenal-Nya, tetapi Dia, yang mengutus aku untuk membaptis dengan air, telah berfirman kepadaku: Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus. Dan aku telah melihat-Nya dan memberi kesaksian: Ia inilah Anak Allah" (Yoh. 1:32-34).

Beberapa waktu kemudian, ketika Yesus sedang mengajar di Bait Allah, datanglah imam-imam dan tua-tua bangsa Yahudi menegur-Nya. "Atas dasar apa Engkau melakukan semuanya itu? Siapa yang memberi hak itu kepada-Mu?" (Mat. 21:23, BIMK). Yesus balas bertanya kepada mereka, "Aku juga mau bertanya kepada kalian. Dan kalau kalian menjawabnya, Aku akan mengatakan kepadamu dengan hak siapa Aku melakukan hal-hal ini. Yohanes membaptis dengan hak siapa? Allah atau manusia?" (ay. 24-25). Baptisan oleh Yohanes Pembaptis menjadi pengesahan atas pengampunan dosa bagi orang banyak yang bertobat dan menyerahkan diri mereka untuk dibaptis, tetapi bagi Yesus yang tidak pernah berbuat dosa baptisan itu adalah lambang pentahbisan bagi pelaksanaan tugas yang diemban-Nya.

Pena inspirasi menulis: "Bilamana kita tunduk kepada upacara baptisan yang khidmat, kita bersaksi kepada malaikat-malaikat dan manusia bahwa kita dibersihkan dari dosa-dosa lama kita, dan bahwa dengan mati bagi dunia ini kita 'berusaha untuk mendapatkan hal-hal yang di surga' (Kol. 3:1, BIMK). Janganlah kita lupakan janji baptisan kita. Di hadapan hadirat tiga kuasa tertinggi surga--Bapa, Anak, dan Roh Kudus--kita berjanji dalam diri kita untuk melakukan kehendak Dia" (Ellen G. White, Our High Calling, hlm. 157).

Apa yang kita pelajari tentang baptisan dan hal-hal yang dilambangkannya?
1. Makna baptisan dalam Perjanjian Baru pada intinya merujuk kepada kelahiran baru, yaitu kematian manusia lama dan kebangkitan manusia baru. Ini sesuai dengan arti harfiah dari akar-kata "baptisan" yaitu "dicelupkan ke dalam air supaya berubah menjadi bersih." Di dalam kelahiran baru ini terkandung makna "pertobatan dan pengampunan dosa" yang mengesahkan penggabungan kita menjadi bagian dari keluarga Allah.
2. Dalam hal Yesus Kristus yang tidak pernah berbuat dosa, baptisan merupakan kegenapan kehendak Allah dan sekaligus pengesahan untuk memasuki suatu tugas. Itulah sebabnya setelah dibaptis Roh Kudus turun ke atasnya menyerupai seekor merpati.
3. Bagi kita orang-orang Kristen yang hidup sesudah kenaikan Kristus ke surga, baptisan merupakan lambang dari dua pengesahan di atas: penobatan untuk menjadi bagian dari keluarga Allah (tubuh Kristus) dan pentahbisan sebagai pekerja dalam pekerjaan Tuhan.

Selasa, 27 November
TANDA MERENDAHKAN DIRI (Upacara Kerendahan Hati)



Tradisi purba. Membasuh kaki adalah tradisi dari peradaban purba yang dilakukan terhadap tamu-tamu yang datang bertandang, mengingat pada zaman dulu orang-orang bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki di jalan berdebu (waktu kemarau) dan becek (waktu hujan), padahal mereka hanya mengenakan alas kaki berupa kasut yang sebagian besar terbuka. Biasanya ini merupakan tugas hamba sahaya di rumah itu untuk mencuci kaki para tamu sebelum mereka masuk ke dalam rumah atau tenda. Beberapa catatan dalam Perjanjian Lama menyebutkan tentang tradisi ini (baca Kej. 18:1-5; 19:1-3; 24:17-24; 43:24-25; Hak. 19:16-21). Ketika Daud meminang Abigail, tidak lama setelah kematian Nabal, suaminya yang kaya tapi bebal itu, wanita cantik yang berhati lembut dan bijaksana tersebut berkata merendah: "Sesungguhnya, hambamu ini ingin menjadi budak yang membasuh kaki para hamba tuanku itu" (1Sam. 25:41). Pada dasarnya pembasuhan kaki adalah bagian dari budaya keramahtamahan yang khususnya ditunjukkan kepada tamu, seperti juga menjamu makan dan memberi tumpangan untuk bermalam.

Dalam Perjanjian Baru, pembasuhan kaki mendapat makna yang baru sebagai ungkapan pengucapan syukur dan kerendahan hati. Sewaktu Yesus diundang makan oleh seorang Farisi di rumahnya di Kapernaum, seorang wanita bekas pelacur yang telah diampuni dosanya menggunakan kesempatan itu untuk mencuci kaki Yesus, bukan dengan air biasa melainkan dengan minyak wangi satu buli-buli penuh, dan melapnya dengan rambutnya sendiri (Luk. 7:36-38). Hal yang sama dialami Yesus juga di desa Betania, kali ini oleh Maria Magdalena dengan setengah liter minyak wangi narwastu seharga 300 dinar (kalau upah waktu itu adalah 1 dinar per hari, Mat. 20:2, berarti dengan 5 hari kerja seminggu nilainya sama dengan gaji satu tahun!), karena merasa begitu bersyukur Yesus sudah membangkitkan saudara laki-laki yang dikasihinya, Lazarus (Yoh. 12:1-3). Itulah makna pembasuhan kaki sebagai ungkapan rasa syukur. Sedangkan pembasuhan kaki sebagai tanda kerendahan hati disebutkan oleh rasul Paulus (1Tim. 5:10), dan oleh tindakan yang dilakukan Yesus sendiri terhadap murid-murid-Nya (Yoh. 13:1-15).

Pembasuhan kaki murid-murid di malam Paskah itu oleh Guru yang mereka hormati menjadi suatu pelajaran yang bukan saja sangat membekas di hati Petrus dan kawan-kawan, tetapi juga telah dilestarikan sebagai suatu upacara lambang kerendahan hati oleh Gereja zaman akhir ini. "Sulit membayangkan kepedihan yang pasti dirasakan di dalam hati Yesus sementara Dia--yang segera menghadapi Salib, penghinaan terbesar yang mungkin terjadi--melihat kecemburuan dan pertengkaran di antara murid-murid-Nya sendiri tentang siapa yang terbesar di dalam kerajaan-Nya" [alinea pertama].

Relevansi zaman ini. Menarik untuk diperhatikan bahwa catatan Yohanes "Sang Penginjil" itu adalah satu-satunya tulisan dalam PB yang merekam peristiwa pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus kepada murid-murid; tiga penulis injil lainnya (Matius, Markus, Lukas) sama sekali tidak menyinggung soal ini tetapi hanya tentang upacara perjamuan Paskah saja. Selain itu, dalam catatan rasul Yohanes tersebut, pembasuhan kaki berlangsung sesudah perjamuan--berbeda dari kebiasaan gereja kita sekarang yang mengadakan upacara pembasuhan kaki sebelum perjamuan kudus.

Tetapi barangkali hal yang lebih penting untuk dipertanyakan ialah, Apakah upacara pembasuhan kaki itu masih relevan dengan keadaan zaman ini, khususnya jika upacara pembasuhan kaki itu dianggap sebagai "lambang kerendahan hati." Utamanya kalangan umat di kota-kota yang pada umumnya pergi ke gereja mengenakan alas kaki memadai dan menggunakan kendaraan, bahkan sudah dengan persiapan yang baik untuk mengikuti upacara perjamuan suci sehingga kaki mereka selalu bersih. Coba perhatikan, kapan anda melihat air bekas cuci kaki di dalam baskom yang warnanya keruh? Dalam pengamatan saya juga, para anggota jemaat yang membasuh kaki temannya dalam suatu upacara perjamuan kudus terkesan melakukannya dengan santai, nyaris tanpa sesuatu beban, bahkan banyak yang melakukannya sambil mengobrol atau bergurau santai. Saya khawatir upacara yang sejatinya dimaksudkan untuk menjadi lambang kerendahan hati ini hanya menjadi sekadar formalitas yang basa-basi, alias sudah kehilangan makna.

"Pikirkan juga, apa artinya upacara pembasuhan kaki diadakan sebelum Perjamuan Kudus. Sebelum mengklaim bagi diri kita semua yang Kristus telah lakukan untuk kita, alangkah pentingnya untuk datang kepada Perjamuan Kudus dengan rasa kesadaran akan kedudukan kita yang rendah serta kerendahan hati dan kebutuhan akan kasih karunia ilahi" [alinea terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Upacara pembasuhan kaki adalah suatu upacara pelayanan. Inilah pelajaran yang Tuhan mau semua orang pelajari dan praktikkan. Apabila upacara ini dirayakan dengan benar, anak-anak Allah dibawa ke dalam hubungan yang suci antara satu sama lain, untuk masing-masing saling membantu dan memberkati" (Ellen G. White, SDA Bible Commentary, jld. 5, hlm. 1138).

Apa yang kita pelajari tentang upacara pembasuhan kaki sebagai lambang kerendahan hati?
1. Pembasuhan kaki adalah tradisi peradaban purba sebagai bagian dari keramahtamahan sesuai nilai-nilai budaya masyarakat zaman dulu. Lazimnya, pembasuhan kaki dilakukan oleh hamba dalam suatu rumah terhadap tamu-tamu majikannya. Dari adat-istiadat inilah Yesus kemudian mengangkat hal itu menjadi sesuatu yang bernilai rohani sebagai lambang kerendahan hati.
2. Yesus melakukan pembasuhan kaki murid-murid-Nya setelah melihat mereka saling mempertengkarkan soal posisi, siapa yang lebih tinggi kedudukannya di dalam kerajaan yang akan Yesus dirikan nanti. Tetapi pembasuhan kaki hanya akan tetap sebagai sebuah tradisi budaya kalau tidak diberi sentuhan rohani yang mengandung makna dalam peribadatan.
3. Peradaban moderen tidak mengenal pembasuhan kaki (yang dilakukan oleh orang lain) sebagai tradisi yang mengandung nilai pelayanan atau kerendahan hati. Namun, sebagai Gereja kita tetap dapat menjalankan "tradisi rohani" ini berdasarkan keteladanan Kristus, dan memperoleh berkat rohani jika kita melakukannya sambil menghayati makna simboliknya. 

Rabu, 28 November
MELAMBANGKAN TUBUH KRISTUS (Perjamuan Tuhan)

Tradisi diperbarui. Hari Raya Paskah (Ibrani: פֶּסַח, Pesach) adalah salah satu hari raya nasional bangsa Yahudi yang paling penting. Paskah dirayakan untuk memperingati luputnya keluarga-keluarga bangsa Ibrani dari bencana kematian pada malam pembantaian anak-anak sulung bangsa Mesir, malam terakhir sebelum umat Allah itu berangkat meninggalkan tanah perbudakan, ketika malaikat maut melewatkan bencana itu dari rumah-rumah yang mempunyai tanda darah di pintu (Kel. 12:11-13). Tradisi perayaan Paskah ini tetap dijalankan hingga sekarang oleh bangsa Israel moderen, memenuhi perintah Allah yang tercatat dalam Torah (Imamat 23). Hari Raya Paskah jatuh pada hari ke-15 bulan Nissan, bulan pertama dalam kalender Yahudi, atau antara bulan Maret dan April kalender internasional.

Selama hidup-Nya di atas bumi ini tentu Yesus sudah sering merayakan Paskah, setiap tahun sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Tetapi perayaan Paskah malam itu bersama murid-murid-Nya merupakan sebuah perayaan yang monumental. "Aku ingin sekali makan makanan Paskah ini bersama kalian sebelum Aku menderita! Sebab, percayalah: Aku tidak akan makan ini lagi sampai arti dari perjamuan ini dinyatakan di Dunia Baru Allah" (Luk. 22:15-16, BIMK). Sehabis merayakan Paskah bersama murid-murid, termasuk Yudas Iskariot yang meninggalkan perjamuan lebih dini untuk melaksanakan niat jahatnya, pada malam itu juga Yesus bersama sebelas murid yang sisa kemudian menuju ke Bukit Zaitun untuk berdoa di Taman Getsemani yang terletak di kaki bukit itu. Menjelang subuh segerombolan besar orang bersenjata pedang dan pentungan, dipimpin Yudas, datang menangkap Yesus atas perintah imam-imam dan tua-tua bangsa Yahudi (Mat. 26:47).

"Perjamuan Tuhan menggantikan perayaan Paskah zaman Perjanjian Lama. Paskah menemukan kegenapannya bilamana Kristus, Domba Paskah itu, menyerahkan hidup-Nya. Sebelum kematian-Nya, Kristus sendiri yang menetapkan pergantian itu, perayaan besar dari gereja Perjanjian Baru di bawah janji yang baru. Sama seperti perayaan Paskah itu memperingati kelepasan bangsa Israel dari perhambaan di Mesir, demikianlah Perjamuan Tuhan memperingati kelepasan dari Mesir rohani, perhambaan dosa" [alinea pertama].

Baptisan mini. Sebagaimana Paskah diperintahkan untuk dirayakan oleh umat Israel dalam rangka memperingati kelepasan mereka dari negeri perbudakan Mesir, demikianlah Perjamuan Tuhan (Perjamuan Suci) diperintahkan Yesus supaya dilakukan setiap kali untuk memperingati kematian-Nya yang membebaskan kita dari perhambaan dosa. "'Inilah tubuh-Ku yang diserahkan untuk kalian. Lakukanlah ini untuk mengenang Aku.' Begitu pula setelah habis makan, Ia mengambil piala anggur lalu berkata, 'Anggur ini adalah perjanjian Allah yang baru, disahkan dengan darah-Ku. Setiap kali kalian minum ini, lakukanlah ini untuk mengenang Aku'" (1Kor. 11:24-25, BIMK).

Seperti telah kita pelajari dalam pelajaran hari Senin, baptisan juga melambangkan pertobatan dan pengampunan dosa. Perjamuan Suci yang merayakan kematian penebusan Yesus, yang dilambangkan dengan roti tidak beragi sebagai tubuh-Nya dan air anggur sebagai darah-Nya, bukan sekadar perayaan peringatan biasa tetapi juga mengandung makna penyucian dosa. Bagi saya pribadi, Perjamuan Suci adalah "baptisan mini" di mana dosa-dosa saya beroleh pengampunan dari Allah melalui kematian penebusan Yesus ketika saya mengambil bagian oleh memakan "tubuh-Nya" dan meminum "darah-Nya" dalam upacara kudus ini. Setiap hari kita berbuat dosa--dalam berbagai bentuk dan dengan beragam alasan--tetapi saya tidak perlu harus menjalani baptisan secara diselamkan ke dalam air berulang-ulang supaya semua dosa saya itu dibersihkan, namun melalui keikutsertaan dalam upacara Perjamuan Suci yang kita lakukan dengan iman maka seluruh dosa-dosa saya itu dihapuskan. Karena itu setiap kali usai mengikuti Perjamuan Suci saya merasa dengan yakin bahwa segala dosa saya telah dibersihkan seluruhnya, dan saya kembali menjadi seorang yang telah "dilahirkan kembali" (Yoh. 3:3, 7) sebagai "manusia baru yang terus-menerus diperbarui" (Kol. 3:10).

Itulah sebabnya saya seringkali merasa "takjub" dengan orang-orang Kristen yang dengan sengaja tidak mengikuti Perjamuan Suci karena berbagai alasan, kebanyakan alasan yang terkesan dibuat-dibuat. Ada yang berkata "tidak siap" mengikuti Perjamuan Suci berhubung masih punya dosa, ada pula yang merasa terhalang oleh "hubungan yang belum beres" dengan sesama saudara seiman. Tetapi, saudara-saudara, kalau ada kesempatan yang paling baik untuk menyelesaikan masalah dosa ataupun perselisihan, maka Perjamuan Suci adalah waktu yang paling tepat. Mengambil bagian dalam upacara Perjamuan Suci adalah perintah Yesus. Firman-Nya, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia" (Yoh. 6:53-56; huruf miring ditambahkan).

"Di sini kita melihat, dengan jelas, aspek pengganti dari kematian Kristus. Tubuh-Nya dihancurkan dan darah-Nya dicurahkan bagi kita; di kayu salib Dia menanggung apa yang seharusnya adalah bagian kita. Setiap kali kita turut serta dalam Perjamuan Tuhan, kita harus selalu mengingat apa yang Kristus telah laksanakan demi kita" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang makna Perjamuan Tuhan (Perjamuan Suci)?
1. Perjamuan Suci adalah Paskah yang diperbarui di dalam Perjanjian Baru. Sebagaimana Paskah harus dirayakan oleh orang Yahudi untuk memperingati kelepasan mereka dari perbudakan secara fisik di Mesir, Perjamuan Suci harus dirayakan oleh umat percaya untuk memperingati kelepasan kita dari perbudakan dosa di dunia ini.
2. Perjamuan Suci melambangkan kematian Yesus Kristus sebagai korban pengganti manusia berdosa dan "yang menghapus dosa dunia" (Yoh. 1:29), itulah sebabnya Perjamuan Suci juga mengandung makna penghapusan dosa. Sebagaimana kematian penebusan Yesus itu harus diterima oleh iman, demikian juga Perjamuan Suci sebagai upacara penghapusan dosa harus diterima dalam iman.
3. Meskipun mengikuti Perjamuan Suci adalah perintah Yesus, perlu persiapan diri dan hati. "Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu" (1Kor. 11:27, 28).

Kamis, 29 November
MEMBAYANGKAN PERJAMUAN DI SURGA (Antisipasi Kedatangan Kedua Kali)


Upacara pentahbisan. Yesus memandang upacara Perjamuan Suci itu bukan saja sebatas peringatan akan kematian penebusan-Nya tetapi juga sebagai suatu upacara pentahbisan. Firman-Nya, "Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang" (1Kor. 11:26; huruf miring ditambahkan). Kata asli yang diterjemahkan dengan memberitakan di sini adalah καταγγέλλω, kataggellō, sebuah kata-kerja yang artinya mengumumkan atau menyebarluaskan yang berkonotasi pemberitaan injil sebagaimana digunakan dalam 1Kor. 9:14 dan Kis. 17:23. Kata ini berhubungan erat dengan ἄγγελος, aggelos, sebuah kata-benda maskulin yang berarti jurukabar, seorang yang diutus atau malaikat, utusan dari Allah. Jadi, melalui upacara Perjamuan Tuhan di mana kita turut mengambil bagian itu anda dan saya secara sadar atau tidak telah menjadi jurukabar Allah. Turut makan roti yang mengibaratkan tubuh Kristus, dan meminum air anggur yang melambangkan darah-Nya, itu pada dasarnya adalah pentahbisan diri kita sebagai utusan-utusan Allah!

Upacara Perjamuan Suci menjadi peringatan atas kematian penebusan Yesus Kristus di Golgota yang sudah terjadi, dan melalui upacara peringatan itu pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua kali terus dihidupkan dan terpelihara. Anda dan saya hidup di antara dua peristiwa penting dalam sejarah umat manusia itu, dua peristiwa yang tak terpisahkan dan saling melengkapi. "Perjamuan Suci, dalam pengertian tertentu, merentang jarak antara Golgota dan Kedatangan Kedua Kali. Setiap kali kita mengambi bagian dalam Perjamuan Suci, kita merenungkan Salib dan apa yang telah dilaksanakannya bagi kita. Namun, apa yang sudah dilakukan bagi kita itu tidak dapat dipisahkan dari Kedatangan Kedua Kali. Bahkan, apa yang Yesus lakukan di Salib itu untuk kita tidak mencapai puncaknya sampai pada Kedatangan Kedua Kali" [alinea kedua].

Upacara pemersatu. Dari perspektif berbeda, rasul Paulus melihat Perjamuan Suci merupakan upacara pemersatu di antara umat percaya sebagai "satu tubuh" di dalam Kristus. Sang rasul menulis, "Pada waktu kita minum anggur dengan mengucap terima kasih kepada Allah, bukankah itu menunjukkan bahwa kita bersatu dengan Kristus dalam kematian-Nya? Dan pada waktu kita membagi-bagikan roti untuk dimakan bersama-sama, bukankah itu menunjukkan bahwa kitabersatu dalam tubuh Kristus? Oleh karena hanya ada satu roti, dan kita semua makan dari roti yang satu itu juga, maka kita yang banyak ini merupakan satu tubuh" (1Kor. 10:16-17, BIMK).

Perjamuan bersama dengan "memecahkan roti" merupakan tradisi umat Kristen yang mula-mula, termasuk dengan mengadakan semacam potluck di rumah-rumah anggota secara bergilir (Kis. 2:42, 46). Begitu juga ketika dalam suasana Paskah--di kalangan orang Yahudi disebut hari raya "Roti Tidak Beragi" karena kewajiban untuk merayakannya dengan memakan roti berbentuk pipih tanpa ragi--umat Kristen di Troas berkumpul pada hari Minggu untuk makan bersama menjamu Paulus (Kis. 20:6, 7). Tetapi apa yang terjadi di jemaat Korintus sehingga mendapat celaan keras dari Paulus itu bukanlah acara makan bersama seperti potluck, melainkan itu adalah upacara Perjamuan Tuhan yang sakral tetapi dilakukan secara sembrono akibat adanya perpecahan di antara mereka (1Kor. 11:18-29). "Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa?" tegur sang rasul (ay. 22).

Perjamuan di surga. Yesus mengakhiri acara Perjamuan Tuhan itu dengan suatu pernyataan, "Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku" (Mat. 26:29). Sehabis berkata demikian Yesus pun mengakhiri upacara kudus itu dengan sebuah nyanyian (ay. 30). Kita tidak mempunyai petunjuk apapun perihal lagu penutup seperti apa yang mereka dengungkan dalam keheningan malam di ruang atas itu, sangat mungkin rombongan kecil itu menyanyikan salah satu kidung Mazmur yang secara tradisional dihafal oleh setiap orang Yahudi. Tapi yang lebih menarik bagi saya ialah membayangkan Yesus mengangkat suara memuji Bapa-Nya di surga, sungguh itu sesuatu yang menakjubkan!

"Yesus berjanji bahwa Ia tidak akan minum lagi air anggur ini sampai Dia meminum anggur yang baru bersama kita di dalam kerajaan kekal. Bilamana kita mengenang siapa Dia, Pencipta alam semesta (Kol. 1:16), janji ini jadi semakin mencengangkan. Jadi, di samping segala sesuatu yang ditunjukkan oleh Perjamuan Suci itu, upacara ini seharusnya juga mengarahkan kepada kita pengharapan besar yang menanti kita pada Kedatangan Yesus yang Kedua kali" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang Perjamuan Suci dan hal-hal yang dirujuknya?
1. Selain sebagai "baptisan mini" yang menghapus dosa, Perjamuan Suci adalah juga suatu upacara yang menahbiskan setiap orang yang mengambil bagian menjadi sebagai utusan Tuhan untuk memberitakan kepada dunia tentang kematian penebusan yang telah dijalani-Nya bagi kita, bahwa "setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:16).
2. Perjamuan Suci juga merupakan upacara pemersatu umat Tuhan yang mengambil bagian. Dengan turut memakan roti yang melambangkan tubuh Kristus dan meminum air anggur yang mengibaratkan darah-Nya, kita sebagai "tubuh Kristus" dipersatukan melalui kematian dan kebangkitan-Nya.
3. Perjamuan Suci melambangkan perjamuan besar yang akan dinikmati oleh umat tebusan di dalam kerajaan surga di mana kita akan makan sehidangan dengan Yesus Kristus dalam "perjamuan kawin Anak Domba" (Why. 19:9). Pastikanlah bahwa anda berada di antara hadirin yang diundang!


Jumat, 30 November
PENUTUP

Dua tonggak iman. Baptisan mengubah seorang manusia lama yang berdosa menjadi manusia baru yang dosa-dosanya diampuni; perjamuan suci memelihara dan menyegarkan kembali pembaruan itu secara berkesinambungan. Pada saat menjalani baptisan, kita mengumandangkan kepada dunia bahwa kita telah menjadi pengikut Kristus; dan ketika kita mengambil bagian dalam upacara-upacara perjamuan suci, dari waktu ke waktu kita memberitakan kepada dunia tentang kematian penebusan Yesus Kristus yang menghapuskan dosa isi dunia. Inilah dua tonggak iman yang menopang keberadaan kita sebagai satu umat, yaitu orang-orang percaya yang sudah menjadi manusia baru dan yang terus-menerus diperbarui.

"Baptisan adalah upacara yang paling sakral dan penting, dan harus ada pemahaman menyeluruh akan maknanya. Itu berarti pertobatan atas dosa, dan pintu masuk kepada suatu kehidupan yang baru di dalam Kristus Yesus...Paskah mengunjuk ke belakang kepada kelepasan umat Israel, dan secara khusus juga mengunjuk ke depan kepada Kristus, Anak Domba Allah yang tersembelih untuk penebusan umat manusia yang telah jatuh. Darah yang dipercikkan di pintu-pintu rumah melambangkan darah penebusan Kristus, dan juga ketergantungan orang berdosa yang terus-menerus pada jasa-jasa dari darah itu demi keselamatan dari kuasa Setan dan untuk penebusan akhir" [alinea pertama: dua kalimat pertama; alinea kedua].

Jadi, sementara baptisan yang kita jalani satu kali itu menahbiskan anda dan saya menjadi bagian dari tubuh Kristus (Gereja), partisipasi kita setiap kali dalam upacara perjamuan suci memelihara secara terus-menerus hubungan kita dengan tubuh Kristus itu. Tidak cukup menjadi "manusia baru" hanya satu kali saja, tetapi kita perlu untuk selalu melakukan rekondisi atas kehidupan rohani kita agar tetap baru.

"Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka...Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2Kor. 5:14-15, 17).

(Oleh Loddy Lintong/California, 28 November 2012)

Kamis, 22 November 2012

"GEREJA: DALAM PELAYANAN KEMANUSIAAN"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "GEREJA YANG (SEHARUSNYA!) MELAYANI

oleh Loddy Lintong pada 22 November 2012 pukul 13:53 ·

PELAJARAN KE-VIII; 24 NOVEMBER 2012
"GEREJA: DALAM PELAYANAN KEMANUSIAAN"

PRAWACANA:
Beberapa bulan silam saya pernah memuat album pada akun Facebook saya yang memuat foto-foto tentang tindakan heroik seorang pemuda yang menyelamatkan seekor anjing kecil yang jatuh ke laut dan berhasil menyelamatkannya. Anjing ras campuran Maltese-shitzu itu terlepas dari pegangan majikannya dan terhempas ke laut dari atas dermaga akibat hembusan angin kencang. Sehubungan dengan tema pelajaran kita pekan ini, saya ingin mengangkat kembali kisah yang telah menyebar ke seluruh dunia ini secara lebih lengkap. Ternyata, nama pahlawan itu adalah Raden Soemawinata, 20, seorang pemuda berdarah Indonesia.

Angin bertiup kencang di kemarau Agustus 2009 itu. Raden bersama keluarga besarnya sedang berada di Brighton Pier, sebuah dermaga di Melbourne, Australia yang digemari pengunjung sebagai tempat bersantai. Tapi kedatangan keluarga Raden ke lokasi di Port Philip Bay hari itu bukan untuk pelesir melainkan mereka hendak melakukan sebuah ritual penting berdasarkan keyakinan mereka, yaitu menaburkan abu jenazah neneknya ke laut. Di tengah suara deburan ombak terdengarlah suara orang berteriak-teriak. Ternyata itu adalah teriakan Sue Drummond, seorang wanita berumur yang panik setengah mati karena anjing kesayangannya, Bibi, telah jatuh terhempas ke dalam air di bawah dermaga. Angin yang bertiup di atas kecepatan 100 Km per jam telah menyeret anjing malang itu.

Sue hanya bisa termangu memperhatikan tubuh Bibi yang mungil itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan arus air yang menyeretnya sambil berjuang mengangkat kepalanya ke atas permukaan air. Sesekali dia berhasil berenang mendekat ke tepi, tapi ombak menghanyutkannya kembali ke tengah. Para pengunjung pun cuma bisa memandang denga iba, tetapi tidak bagi Raden. Tanpa keragu-raguan pemuda pemberani ini mulai melucuti pakaiannya satu demi satu, dan hanya dengan mengenakan kemeja dan pakaian dalamnya (maaf!) dia kemudian menuruni tiang penyanggah dermaga. Pada ketinggi yang cukup aman dia langsung terjun ke air yang dingin untuk menyelamatkan Bibi.

Dengan disaksikan oleh puluhan orang yang mengamati dan memberinya semangat, Raden berhasil mengangkat Bibi dari dalam air lalu membawanya ke atas dermaga. Tepuk tangan pun bergema. Sue menerima kembali anjing kesayangannya itu dengan penuh haru, tidak menyangka bahwa ada orang yang tak dikenal bersedia berkorbanan dengan menghadapi risiko demi menyelamatkan seekor hewan kecil.

"Saat itu dingin sekali dan berangin kencang, tapi bukan suatu keputusan yang sulit untuk terjun ke dalam air. Itu bukan sesuatu yang luar biasa," kata pria yang bekerja paruh waktu sebagai model itu, kepada wartawan suratkabar lokal Herald Sun yang kebetulan berada di tempat itu dan mengabadikan saat-saat yang menegangkan ituKisah kepahlawanan Raden Soemawinata ini kemudian diberitakan pula oleh media Inggris terkenal The Telegraph dan Daily Mail, edisi 17 Agustus 2009, dan dikutip pula oleh media-media asing lainnya. 

Tentu saja menyelamatkan seekor binatang dari bahaya maut adalah suatu perbuatan kebajikan yang patut dipuji. Tetapi lebih dari itu, pemuda yang baik hati ini telah menyelamatkan seorang ibu tua dari rasa kehilangan dan rasa bersalah yang bukan mustahil dapat menjadi sebuah kenestapaan yang terbawa sepanjang hidup. Atas tindakan yang telah menjadi inspirasi bagi jutaan penyayang binatang itu, Raden menerima penghargaan "Compassionate Citizen Award" dari Animals Australia, sebuah organisasi yang mewakili lebih dari 40 perhimpunan penyayang binatang dan ribuan orang secara pribadi di seluruh Australia (berita baca di sini---> http://www.animalsaustralia.org/media/in_the_news.php?article=482).

Seorang pembaca yang mengomentari peristiwa tersebut antara lain menulis: "Dia adalah seorang pahlawan. Saya berharap ada lagi yang lain seperti dia, alangkah ajaibnya dunia di mana kita hidup ini kalau orang-orangnya tidak mementingkan diri dan berpengasihan seperti pria ini." Sedangkan pembaca lain berkomentar: "Di hari dan zaman di mana seorang wanita dapat dipukuli di jalan oleh pasangannya, atau seorang pria bisa dibunuh di tengah jalan gara-gara uang beberapa dolar dan tak seorang pun datang menolong, sudah jelas pemuda ini adalah seorang yang langka yang masih mau berpikir bagaimana dia dapat menolong orang lain."

Pertanyaan bagi kita sekarang, Sejauh mana anda dan saya yang mengaku sebagai orang-orang Kristen yang benar, bersedia berbuat kebajikan dan berkorban untuk menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, seperti yang diajarkan Yesus Kristus?


(Untuk foto-foto lainnya silakan klik di sini---> http://www.news.com.au/top-stories/gallery-e6frfkp9-1225762102234?page=1. Untuk membaca ceritanya klik pada link yang terdapat pada akun Facebook milik Raden ini---> http://www.perthnow.com.au/news/hero-rescues-drowning-dog-blown-off-victorian-pier/story-e6frg12c-1225762680209).

Sabat Petang, 17 November
PENDAHULUAN

Gereja, penopang kebenaran. Apakah gereja itu? Banyak orang terpaku kepada pendapat bahwa gereja adalah kumpulan orang-orang yang telah meninggalkan kepedulian terhadap kehidupan duniawi karena sedang menyiapkan diri untuk masuk surga. Gereja sering pula dianggap sebagai tempat berhimpunnya orang-orang yang telah mengambil keputusan untuk meninggalkan arena perjuangan dunia ini karena tidak sanggup lagi menghadapi kejamnya dan kerasnya persaingan hidup. Ada pula sebagian orang yang menganggap gereja sebagai "pelarian" atau tempat mencari "suaka kehidupan" dari orang-orang yang tidak mempunyai pilihan lain.

"Alkitab mengajarkan dengan jelas tentang pentingnya gereja. Itu bukan sebuah pilihan; itu adalah komponen penting dalam rencana keselamatan. Jadi, tidak heran bahwa, sebagaimana tersingkap dari peperangan besar itu, Setan bekerja sedemikian keras untuk menentangnya, khususnya karena gereja adalah sarana yang penting oleh mana orang-orang berdosa di bawah ke dalam hubungan dengan keselamatan yang ditawarkan Allah. Gereja, tulis rasul Paulus, adalah 'keluarga Allah' bahkan 'tiang penopang dan dasar kebenaran' (1Tim. 3:15). Gereja bukan sesuatu penemuan manusia; itu diciptakan oleh Allah untuk maksud-maksud membawa orang-orang berdosa yang bersalah itu ke dalam suatu hubungan yang menyelamatkan dengan Dia" [empat kalimat terakhir].

Kata asli (Grika) yang diterjemahkan dengan keluarga dalam ayat di atas adalah οἶκος, oikos,sebuah kata-benda maskulin yang arti harfiahnya adalah rumah sebagai satu bangunan tempat tinggal, seperti digunakan dalam Mat. 9:6, 7; tapi kata ini juga dapat berarti satu umat, keluarga atau keturunan, seperti yang digunakan dalam Mat. 10:6; Luk. 1:27, 33. Bahkan, kata ini digunakan pula dalam PB untuk tempat ibadah--yaitu Gereja--seperti yang Yesus katakan, "Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa?" (Mrk. 11:17).

Gereja bukan dasar dari kebenaran, tetapi gereja adalah pilar yang menopang kebenaran itu agar dilihat oleh dunia. Jadi, oleh karena gereja adalah pilar yang menopang kebenaran, maka gereja yang tidak mempunyai kebenaran tidak dapat disebut sebagai gereja. Atau, kalau sebuah gereja tidak memiliki kebenaran "yang benar" maka apa yang ditopangnya adalah "kebenaran palsu" atau "kebenaran" menurut pandangan pribadi segelintir manusia saja.

Minggu, 19 November
GEREJA SEBAGAI SATU UMAT (Sifat Gereja: Bagian 1)

Makna "Gereja." Yesus Kristus berkata kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat. 16:18; huruf miring ditambahkan). Dalam bahasa aslinya (Grika kuno), bagian yang diterjemahkan dengan"jemaat-Ku" di sini bunyinya adalah μου τὴν ἐκκλησίαν, mou tēn ekklēsian. Kata mou di sini berkenaan dengan sifat memiliki (bentuk posesif) yang merujuk kepada aku, atau padanannya dalam bahasa Inggris ialah my (=kepunyaanku). Sedangkan tēn adalah sebuah kata spesifik yang dalam bahasa Inggris padanannya adalah the (dalam struktur gramatika bahasa Inggris kata ini disebut berjenis definite article) yang lazim digunakan di depan kata-benda, seperti the church. Dalam bahasa Indonesia kata ini setara dengan sang atau si, yaitu kata depan yang merujuk kepada sesuatu atau seseorang. Contohnya adalah Sang Saka Merah Putih atau Sang Dwiwarna, Sang Raja, dan Si Anu. Di seluruh Perjanjian Baru, kata tēn digunakan sebanyak 1538 kali sebagai kata depan untuk berbagai kata-benda dan sesekali digunakan pula sebagai kata sandang yang.

Kata Grika ἐκκλησία, ekklēsia, aslinya bukan sebuah "istilah rohani" seperti kemudian kita kenal. Istilah ini adalah sebuah kata-benda feminin yang berarti perhimpunan dan lazim digunakan untuk merujuk kepada "sekumpulan warga" apabila mereka berkumpul di suatu tempat untuk sebuah pertemuan. Belakangan kata ini menemukan pengertian Kristiani ketika digunakan untuk "orang-orang percaya" atau "jemaah." Kata ekklēsia sendiri merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu kata perangkai ἐκ, ek yang artinya keluar atau dari, dengan kata καλέω, kaleō, sebuah kata-kerja yang berarti panggil atau dipanggil. Dengan demikian ekklēsia berarti dipanggil keluar ataudipanggil dari. "Dalam kehidupan Yunani sekuler, kata ini telah digunakan utamanya untuk menerangkan sekelompok warga yang sudah dipanggil keluar dari rumah-rumah mereka ke sebuah tempat umum untuk pertemuan atau berkumpul. Perjanjian Baru menggunakan kata ini dalam pengertian yang umum tersebut" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

"Gereja" adalah manusianya. Di seluruh Perjanjian Baru, penggunaan kata "gereja" selalu merujuk kepada manusianya, yaitu jemaah. Tetapi peradaban moderen telah menggiring makna gereja kepada pengertian yang bukan lagi sekadar orang-orang, tetapi sudah melebar kepada pemahaman yang lebih sekunder seperti sebagai sebuah bangunan atau suatu organisasi. Kamus Merriam-Webster memasukkan lima entri untuk arti kata "gereja" (church): 1. sebuah bangunan; 2. tugas kependetaan; 3. badan/organisasi (umat Kristen, denominasi, dan kongregasi); 4. peribadatan; dan 5. profesi. {Lihat---> http://www.merriam-webster.com/dictionary/church.}

Sesungguhnya, ekklēsia (jemaah) adalah sebuah komunitas anak-anak Tuhan atau umat Allah. Gereja sebagai sebuah "gedung" atau bangunan itu hanya sarana tempat berhimpun dan beribadah, sedangkan gereja sebagai sebuah "organisasi" (denominasi atau sekte) itu adalah prasarana yang melaksanakan fungsi administratif. Tetapi "gereja" dalam pengertian asli adalah satu umat yang percaya dan berbakti kepada Allah melalui Yesus Kristus, terlepas apakah mereka memiliki satu bangunan tempat berkumpul atau tidak, dan apakah mereka mempunyai sebuah organisasi atau tidak. Seperti ketika Paulus dan Silas bersama Timotius datang di kota Filipi, pada hari Sabat mereka "menyusur tepi sungai dan menemukan tempat sembahyang Yahudi" (Kis. 16:13) untuk mengajar injil dan berbakti bersama warga Yahudi perantauan, dan dengan demikian mereka sudah membentuk sebuah gereja. Sebuah perkumpulan disebut "Gereja" bilamana ada Kristus di tengah orang-orang itu. "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku," kata Yesus, "di situ Aku ada di tengah-tengah mereka" (Mat. 18:20).

"Gereja" sebagai bangunan. Bahasa Grika lama mempunyai satu kata-benda yang merujuk kepada gereja sebagai sebuah bangunan, yaitu κυριακόν, kyriakon, yang secara harfiah berarti milik Tuhan dan kemudian digunakan sebagai rumah Tuhan. Kata ini berasal dari kata dasar κύριος, kyrios, yang artinya Tuhan. Kata kyrios ini kemudian diserap ke dalam beberapa bahasa di Eropa dan menjelma menjadi kata baru seperti kirche (Jerman), kirk (Skotlandia), kerk (Belanda), circe(Anglo Saxon), cirice (Inggris tua) lalu menjadi chirche (Inggris pertengahan) dan kemudian berubah menjadi church (Inggris baru). Jadi, dari segi asal-usul kata sebenarnya tidak ada hubungan etimologis sama sekali antara kata kyriakon yang berarti "gereja" atau "rumah Tuhan" dengan kata ekklēsia yang berarti "perhimpunan" atau "jemaah."

"Penting untuk diperhatikan bahwa kata ekklēsia tidak pernah digunakan merujuk kepada sebuah bangunan di mana perbaktian umum diadakan. Sama pentingnya ialah bahwa walaupun kata 'sinagog' pada mulanya menunjukkan suatu perhimpunan orang banyak untuk maksud tertentu, umat Kristen memilih untuk menggunakan kata ekklēsia. Meskipun demikian, kedua kata ini menandakan bahwa gereja Perjanjian Baru secara historis merupakan kelanjutan dari gereja Perjanjian Lama, yaitu 'sidang jemaah' Israel (Kis. 7:38)" [alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang sifat "Gereja" sebagai satu umat?
1. Alkitab PB versi Bahasa Indonesia memiliki padanan kata yang tepat untuk kata Grika ekklēsia, yaitu jemaah. Istilah ini merupakan kata serapan dari bahasa Arab, الجماعة, yang berarti "orang banyak." Sedangkan kata "gereja" dalam Bahasa Indonesia lebih merujuk kepada bangunan atau organisasi.
2. Makna utama (primer) dari "gereja" sebagai "umat" menunjukkan bahwa manusia adalah unsur paling penting yang tak tergantikan. Sekumpulan orang yang berkumpul sebagai jemaah dapat disebut "gereja" meskipun tidak memiliki bangunan sebagai tempat berhimpun, tetapi sebuah bangunan tanpa jemaah tidak dapat disebut "gereja" sekalipun gedungnya berhiaskan simbol-simbol Kekristenan.
3. "Gereja" zaman Perjanjian Baru (PB) dapat dianggap sebagai kelanjutan dari "sinagog" pada zaman Perjanjian Lama (PL) karena sama-sama merupakan sebuah perkumpulan umat percaya yang berhimpun untuk beribadah kepada Allah yang sama.

Senin, 19 November
GEREJA SEBAGAI SATU BADAN (Sifat Gereja: Bagian 2)

Dua konsep penting. Kita sudah pelajari kemarin bahwa "gereja" yang dimaksudkan dalam PB bukanlah merujuk kepada bangunannya ataupun sebagai organisasi (sekte/denominasi). Gereja, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang ditandai oleh batas-batas eksklusivitas tertentu melainkan adalah sesuatu yang dibedakan oleh ciri-ciri dan sifat yang khas. Gereja adalah manusia, yaitu orang-orang yang terpanggil untuk memisahkan diri dari dunia ini meskipun secara fisik masih berada di dunia, satu umat yang hidup di dunia tetapi kehidupannya berbeda dari dunia.

Deskripsi PB yang sangat pas menggambarkan mengenai apa itu "gereja" dan yang sering dikutip adalah perkataan dari salah satu sokoguru gereja (Gal. 2:9) itu sendiri, yaitu rasul Petrus: "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan" (1Ptr. 2:9-10; huruf miring ditambahkan). Ayat lainnya yang juga menggambarkan tentang "gereja" sebagai satu kesatuan yang utuh adalah tulisan rasul Paulus yang mengatakan: "Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya" (1Kor. 12:27; huruf miring ditambahkan).

"Selain kata ekklēsia itu sendiri, Perjanjian Baru melukiskan gereja itu dengan beberapa gambaran yang menjelaskan lebih jauh tentang sifat dan fungsinya. Hari ini kita akan melihat pada dua konsep penting tentang gereja: gereja sebagai umat Allah dan gereja sebagai tubuh Kristus"[alinea pertama].

Makna "tubuh Kristus." Kata asli yang diterjemahkan dengan tubuh dalam 1Kor. 12:27 adalah σῶμα, sōma, kata-benda netral yang merujuk kepada badan secara fisik maupunkumpulan atau kelembagaan. Kata ini berasal dari akar-kata σῴζω, sōzō, sebuah kata-kerja yang berarti menyelamatkan atau mengamankan dari suatu bahaya kehancuran maupun kebinasaan. Berdasarkan pemahaman ini kita dapat menyimpulkan bahwa, sebagai kata-benda tubuh Kristus di sini merujuk kepada satu umat (=Gereja), sebagai kata-kerja "tubuh" itu juga dapat menyelamatkan satu umat melalui kematian dari tubuh itu.

Tatkala Yesus berbicara di depan kaabah di Yerusalem dan berkata, "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali" (Yoh. 2:19), orang-orang Farisi menjadi sangat marah. "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" kata mereka (ay. 20). Tetapi mereka tidak mengerti bahwa Yesus bukan sedang berbicara tentang Bait Allah sebagai sebuah bangunan fisik, "Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri" (ay. 21; huruf miring ditambahkan). Murid-murid itu sendiri juga tidak mengerti. Setelah Yesus mati dan bangkit pada hari yang ketiga, "barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan mereka pun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus" (ay. 22). Di sini Kristus menyamakan tubuh-Nya sebagai Bait Allah, atau "gereja" dalam pengertian kita sekarang.

Kalau kita simak dengan teliti, konteks dari pasal 12 kitab 1Korintus ini berbicara tentang pelayanandari "tubuh Kristus" (Gereja) itu, ke dalam dan keluar. Gereja itu terdiri atas "rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh; rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan" (ay. 4-5). Ayat 7-26 bertutur tentang pelayanan di dalam tubuh itu sendiri, ayat 28-31 berbicara mengenai pelayanan ke luar dalam satu kesatuan dari tubuh itu, dan ayat 27 di tengah-tengahnya adalah sebagai "kesimpulan" yang merangkai dua pelayanan dari tubuh itu. Seperti juga tubuh kita secara fisik hanya dapat mengerjakan sesuatu apabila seluruh bagian dari tubuh itu dikerahkan dan terkonsentrasi untuk melakukan satu aktivitas, demikian pula Gereja sebagai "tubuh Kristus" hanya bisa berhasil untuk melaksanakan suatu kegiatan pelayanan ke luar jika seluruh "tubuh" itu bersatu mengerahkan semua sumberdaya yang ada.

"Banyak ide dapat ditemukan di dalam ayat-ayat ini, mungkin yang paling jelas adalah persatuan(lihat pelajaran hari Rabu) yang harus terlihat di dalam gereja. Inilah gagasan yang dinyatakan di berbagai bagian dalam Perjanjian Baru, utamanya dalam 1Korintus 12 di mana Paulus menulis: 'Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus'" [alinea ketiga: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang sifat Gereja sebagai satu badan?
1. "Tubuh Kristus" melambangkan "Gereja" dalam pengertian sekumpulan umat (=manusia), bukan sebuah bangunan atau pun suatu organisasi gereja. Walaupun sebagai satu tubuh mengandung ciri eksklusivitas, tetapi dalam hal Gereja sebagai "tubuh Kristus" tidak menempatkan umat-Nya secara terkotak-kotak dalam denominasi-denominasi tertentu.
2. Makna istilah "satu tubuh" yang dimaksudkan oleh rasul Paulus dalam 1Korintus 12 merujuk kepada "persatuan" dari umat Allah sebagai satu Gereja yang melayani, baik ke dalam maupun ke luar. Persatuan dan kesatuan harus menjadi jiwa (ruh) dari tubuh Kristus, yaitu Gereja. 
3. Pemaknaan "tubuh Kristus" tidak terbatas pada pengertian sempit dan pasif sebagai satu umat yang sudah diselamatkan, tetapi juga mengandung makna yang luas dan aktif sebagai satu umat yang turut bekerja menyelamatkan sesamanya, sesuai dengan berbagai karunia yang dimiliki masing-masing.

Selasa, 20 November
SATU TUBUH, DUA PELAYANAN (Missi Gereja)

Pelayanan injil. Rasul Paulus melukiskan hubungan Kristus dengan umat-Nya di dunia ini adalah sebagai "kepala" dengan "tubuh" (Kol. 1:18; Ef. 4:15, 16). Hubungan tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu: keselamatan yang diadakan oleh Kristus ("Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh"--Ef. 5:23), dan pemeliharaan yang dilakukan oleh Kristus ("Di bawah pimpinan Kristus, seluruh tubuh dipelihara dan disatukan oleh sendi-sendinya, serta bertumbuh menurut kemauan Allah"--Kol. 2:19, BIMK). Dalam perkataan lain, kita yang adalah "tubuh" terhubung kepada Kristus yang adalah "kepala" oleh sebab Dia sudah menyelamatkan kita dansedang memelihara kita. Kalau bukan karena dua alasan ini, kita tidak mempunyai hubungan apapun dengan Kristus.

Sekarang, setelah apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh Kristus bagi kita, serta menyadari akan status kita sebagai "tubuh" Kristus dan hubungan dengan Dia sebagai "kepala" bagi kita, kewajiban-kewajiban apa yang mengikat kita kepada Kristus? "Kepala" kita itu sudah kembali ke surga karena Dia mempunyai tugas di atas sana yang harus dilakukan-Nya sendiri, maka untuk tugas-tugas di Bumi ini Dia sudah mendelegasikannya kepada "tubuh" itu untuk melaksanakannya. Dengan demikian, "gereja" sebagai perwujudan "tubuh Kristus" di dunia ini mempunyai kewajiban untuk melakukan tugas-tugas yang diwakilkan-Nya kepada kita. Yesus telah mengamanatkan, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:19, 20).

"Gereja sebagai 'tubuh Kristus' berarti bahwa gereja itu harus melakukan apa yang Kristus akan lakukan kalau Dia masih berada di bumi ini 'secara fisik.' Untuk alasan inilah gereja sebagai suatu 'perkumpulan' telah dipanggil keluar. Gereja tidak hanya sekadar memiliki satu missi; gereja itu sendiri adalah missi" [alinea pertama].

Pelayanan sosial. Keselamatan dan pemeliharaan, yaitu dua hal yang dilakukan Yesus Kristus (sebagai "kepala") bagi umat-Nya (sebagai "tubuh"), seperti yang telah kita pelajari di atas, tidak hanya bersifat rohani semata tetapi juga jasmani. Artinya, keselamatan dan pemeliharaan yang anda dan saya peroleh sebagai "tubuh Kristus" itu memiliki makna rohani dan jasmani sekaligus. Kita tidak hanya diselamatkan secara rohani tapi jasmani, kita juga dipelihara bukan cuma secara rohani tapi juga secara jasmani. Demikian pula, pelayanan yang anda dan saya harus lakukan di dunia ini atas nama Kristus sebagai "Kepala" kita itu juga mengandung nuansa jasmani, yaitu pelayanan yang bersifat sosial demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani dari sesama kita. Bukankah selagi berada di dunia ini Yesus Kristus sendiri juga melayani orang-orang yang memerlukan makanan dan penyembuhan penyakit?

Dalam pelaksanaannya, pelayanan injil (rohani) dan pelayanan sosial (jasmani) harus dilakukan secara seimbang. Sekalipun benar bahwa keperluan rohani manusia lebih penting dari kebutuhan jasmani, tetapi dengan mengabaikan pelayanan jasmani bisa menjadi penghalang terlaksananya pelayanan rohani. Sebagaimana yang dicontohkan Yesus ketika hidup di dunia ini, kita harus menjadikan pelayanan jasmani untuk membuka pintu bagi pelayanan rohani. Orang yang lapar tidak mungkin diajar untuk mengerti dan menerima Injil; orang yang sudah kenyang harus dibangunkan untuk menyadarkan dia akan kelaparan rohani yang dideritanya. Jadi, pelayanan injil dan pelayanan sosial harus dilakukan secara seimbang dan bijaksana, tahu kapan melakukan apa kepada siapa.

"Sementara pekerjaan itu penting, dalam dan dari dirinya sendiri, jangan sekali-kali hal itu dibiarkan mengesampingkan missi gereja yang terutama, yaitu menjangkau yang hilang untuk Yesus dan menyediakan satu umat bagi kedatangan-Nya. Pada waktu yang sama kita juga harus menghindari sikap hidup yang ekstrem seolah-olah setiap topik pembicaraan menandakan hari kiamat dan dengan demikian mengabaikan tugas-tugas mendasar dari kehidupan sehari-hari. Kita membutuhkan hikmat ilahi supaya mengetahui bagaimana menjaga keseimbangan yang tepat" [alinea keempat: tiga kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Tuhan Yesus akan selalu memiliki satu umat pilihan untuk melayani Dia. Ketika orang Yahudi menolak Kristus, Pangeran kehidupan itu, Ia mengambil kerajaan Allah itu dari tangan mereka dan memberikannya kepada orang kafir. Allah akan terus bekerja dengan prinsip ini pada setiap bidang pekerjaan-Nya. Apabila suatu gereja terbukti tidak setia kepada firman Tuhan, apapun posisi mereka, betapapun tinggi dan sucinya panggilan mereka, Tuhan tidak bisa lagi bekerja dengan mereka. Orang-orang lain kemudian akan dipilih untuk mengemban tanggungjawab-tanggungjawab yang penting ini" (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 14, hlm. 102).

Apa yang kita pelajari tentang dua sisi pelayanan Gereja sebagai "tubuh Kristus"?
1. Hubungan "gereja" sebagai "tubuh Kristus" dengan Kristus sebagai "kepala" bagi tubuh itu didasarkan pada dua pelayanan Kristus, yaitu penyelamatan dan pemeliharaan. Jadi, keselamatan kita (Gereja) di dunia mau pun di akhirat semata-mata bergantung pada Kristus dan apa yang dilakukan-Nya untuk kita.
2. Sebagai "tubuh Kristus" kita (Gereja) mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugas yang Kristus telah delegasikan kepada kita untuk dilakukan di dunia ini, oleh sebab Gereja adalah perwujudan Kristus di bumi ini. Gagal melakukan tugas itu membuat hubungan kita dengan Kristus terputus.
3. Dalam menunaikan kewajiban kepada dunia, sebagai Gereja kita harus melakukannya dengan seimbang antara pelayanan Injil dan pelayanan sosial. Sebagai organisasi gereja kita telah melayani masyarakat dari segi rohani (melalui KKR) dan segi jasmani (lewat ADRA, misalnya). Tetapi bagaimana dengan pelayanan kita sebagai satu jemaat dan sebagai pribadi?

Rabu, 21 November
SATU TUBUH YANG UTUH (Kesatuan Gereja)

Kesatuan itu mutlak. Seperti telah disinggung dalam pelajaran hari Senin, persatuan dan kesatuan Gereja sebagai satu "tubuh" adalah hal yang penting dan mutlak. Tubuh tidak bisa berjalan ke mana-mana jika kaki kiri hendak melangkah ke kanan, sementara kaki kanan maunya melangkah ke kiri. Begitu pula, untuk membawa badan anda maju ke depan kaki kiri dan kaki kanan juga tidak bisa melangkah secara bersama-sama (kecuali melompat, untuk beberapa langkah saja!). Jadi, apa yang diperlukan di sini ialah kerjasama yang serasi. Seperti dalam olahraga bulutangkis, agar dapat meliput seluruh lapangan dengan lebih mudah dan lentur seorang pemain harus memiliki footwork yang baik. Keserasian gerak sebagai satu kesatuan. "Kesatuan adalah penting bagi gereja sebab tanpa hal itu gereja tidak bisa berhasil menyelesaikan missinya. Tidak heran bahwa masalah persatuan terbetik dalam benak Kristus menjelang akhir kehidupan pelayanan-Nya di dunia ini (Yoh. 17:21-22)" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Yesus berdoa: "Aku mohon, Bapa, supaya mereka semua menjadi satu, seperti Bapa bersatu dengan Aku, dan Aku dengan Bapa. Semoga mereka menjadi satu dengan Kita supaya dunia percaya bahwa Bapa yang mengutus Aku. Aku sudah memberikan mereka keagungan yang Bapa berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita juga satu; Aku dengan mereka, dan Bapa dengan Aku; supaya mereka benar-benar satu" (Yoh. 17:21-23, BIMK). Kata-kata dalam doa Yesus ini menyiratkan tentang kesatuan yang juga menjadi prinsip dasar dari hubungan antara Oknum-Oknum ilahi di surga. Yesus dan Bapa semawi-Nya adalah satu, dan Ia ingin agar kesatuan itu terdapat juga dalam hubungan vertikal antara Diri-Nya dengan murid-murid-Nya, dan selanjutnya dalam hubungan horisontal di antara sesama murid-murid itu.

Keluarga Allah. Ketika mendoakan agar "mereka" (dalam pengertian sempit adalah murid-murid, tapi dalam pengertian luas adalah Gereja) itu bersatu, Yesus bukan saja membayangkan kedua belas murid yang ada bersama-Nya pada saat itu saja tapi juga kepada satu jemaah yang sangat besar pada zaman akhir ini, yaitu "Gereja" yang terdiri atas berbagai suku-bangsa dan dari berbagai golongan sosial yang tersebar di seluruh muka bumi yang merupakan "tubuh-Nya" sendiri. Di sini Yesus juga tidak mendoakan tentang keseragaman dari para pengikut-Nya, atau kesatuan institusional di mana para pengikut-Nya akan tergabung sebagai sebuah organisasi gereja, melainkan yang dimaksudkan-Nya adalah kesatuan iman dan keutuhan sebagai satu keluarga Allah yang memiliki "satu Roh dan satu Tuhan" (1Kor. 12:4, 5).

"Kesatuan yang Kristus doakan dan yang dinasihatkan Paulus untuk dicapai oleh umat percaya jelas mencakup suatu kesatuan perasaan, pemikiran, tindakan, dan lebih banyak lagi. Itu bukan suatu keserasian yang diperoleh melalui 'rekayasa' sosial, pengendalian politik, ataupun alasan politis. Itu adalah sebuah pemberian yang dikaruniakan kepada umat percaya dengan berdiamnya Kristus(Yoh. 17:22-23) dan terpelihara oleh kuasa Allah Bapa (Yoh. 17:11)" [alinea kedua].

Terpulang pada kita. Mungkin satu pertanyaan cukup pantas ditanyakan di sini: Kalau Yesus Kristus sudah memohon kesatuan/persatuan itu dari Allah Bapa, dan jika kesatuan/persatuan itu adalah karunia surgawi, mengapa ada perpecahan di dalam Gereja dan mengapa Jemaat itu sulit bersatu? Atau, kalaupun "kelihatan" bersatu, kesatuan itu tidak berakar tapi hanya sekadar bersatu atas dasar kompromi, yaitu "kesepakatan untuk suatu kepentingan sesaat." Persatuan yang semu. Mengapa?

Kalau Gereja atau Jemaat sulit bersatu, atau persatuannya dangkal dan semu, tentu itu bukan karena doa Yesus kurang mujarab atau kesatuan yang dikaruniakan Bapa itu kurang mantap. Tetapi, sama seperti iman dan Injil, kesatuan yang Allah karuniakan kepada manusia itu bukan dalam bentuk yang sudah "siap pakai" melainkan baru berupa benih. Anda dan saya harus menyediakan hati sedemikian rupa untuk menjadi seperti tanah yang gembur supaya benih kesatuan dan persatuan itu bisa tumbuh dengan subur. Doa Yesus itu sangat manjur dan benih kesatuan dari surga itu sungguh berdayaguna, tetapi kecuali hati kita siap menerimanya disertai dengan ketekunan dan keseriusan untuk memeliharanya, benih kesatuan itu akan mudah layu dan akhirnya mati akibat kegersangan kasih. Kesatuan adalah buah yang dihasilkan melalui kerjasama ilahi dan manusiawi.

Kesatuan dan persatuan di dalam Gereja harus dipandang sebagai "produk" dari sikap dan semangat dalam diri setiap anggota jemaat yang dipupuk dan terpelihara secara konsisten, bukan sebuah "solusi" yang terpaksa dicapai setelah pertikaian panjang yang berdarah-darah. Persatuan sejati merupakan hasil dari pencerahan oleh Roh Kudus yang menyadarkan setiap orang bahwa dia adalah bagian yang utuh dari "tubuh Kristus" dengan fungsi tertentu, dan bersama orang-orang lain bekerjasama secara harmonis untuk membuat tubuh itu mampu berakselerasi di tengah dunia yang ruwet. Kesatuan dan persatuan kita sebagai Jemaat adalah tanggungjawab setiap orang, dengan demikian keniscayaannya itu terpulang kepada kita masing-masing.

Pena inspirasi menulis: "Berjuanglah dengan tekun bagi kesatuan. Doakan itu, usahakan itu. Kesatuan akan membawa kesehatan rohani, mengangkat pikiran, meluhurkan tabiat, berpemikiran surgawi, menyanggupkan anda untuk mengalahkan cinta diri serta persangkaan jahat, dan untuk menjadi lebih dari pemenang-pemenang melalui Dia yang mengasihi anda dan yang memberikan Diri-Nya bagi anda. Salibkanlah diri; hargailah orang lain lebih dari anda sendiri. Dengan demikian anda akan dibawa ke dalam kesatuan dengan Kristus" (Ellen G. White, Testimonies for the Church,jld. 9, hlm. 188).

Apa yang kita pelajari tentang pentingnya kesatuan Gereja sebagai "tubuh Kristus"?
1. Kesatuan dan keutuhan Gereja menjadi salah satu kepedulian Kristus sehingga Dia secara khusus mendoakannya serta memohokannya dari Bapa. Tampaknya lebih mudah untuk menyuruh murid-murid itu menginjil ketimbang meminta mereka untuk bersatu. Yesus perlu mengeluarkan "perintah baru" supaya mereka itu saling mengasihi (Yoh. 13:34, 35).
2. Sebagai "tubuh Kristus" gereja adalah keluarga Allah yang anggota-anggotanya berasal dari berbagai latar belakang suku-bangsa dan status sosial, tetapi berpadu dalam satu orientasi: melayani Tuhan dan sesama manusia. Kasih Kristus adalah dasar terbaik untuk mempersatukan; bila setiap orang sungguh-sungguh mengasihi Yesus akan lebih mudah baginya untuk mengasihi sesamanya.
3. Kesatuan dalam Gereja adalah karunia Allah yang harus ditumbuh-kembangkan dalam diri setiap anggota. Kesatuan harus menjadi sikap dan semangat seluruh jemaat, dan itu adalah tanggungjawab dari setiap orang.

Kamis, 22 November
KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI (Tata-kelola Gereja)

Model tata kelola gereja. Gereja-gereja Kristen di dunia secara umum terbagi ke dalam tiga sistem tata kelola (Ecclesiastical polity): Episkopal (Episcopal Polity), Presbiterian (Presbyterian Polity), dan Kongregasi (Congregational Polity). Sistem Episkopal membagi kewenangan mengatur gereja secara bertingkat, dari puncak tertinggi ke tingkat terendah, karena itu sering disebut sebagai Model Hirarkis. Gereja dengan sistem ini misalnya Katolik Roma, Anglikan, Metodis dan Lutheran. Sistem Presbiterian adalah sistem yang berkembang setelah Reformasi Protestan pada abad ke-16 di mana otoritas gereja berada di tangan ketua-ketua dari gereja setempat yang disebut majelis atau konsistori, dan di atasnya ada pengurus wilayah yang disebut sinode atau dewan yang diisi oleh perwakilan-perwakilan dari gereja-gereja setempat. Sistem ini ditemukan oleh John Calvin (salah seorang reformator bersama Martin Luther) dan karena itu sering pula disebut sebagai sistem Calvinisme. Sistem Kongregasi lebih bersifat independen dengan kekuasaan otonom. Kepemimpinan dengan sistem ini bermacam-macam, ada yang otonominya berada di tangan pendeta (biasanya adalah pendirinya), dewan ketua, atau melalui suara terbanyak (demokratis) di mana kedaulatan berada di tangan para anggota jemaat.

"Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh mempunyai sebuah sistem tata kelola gereja yang bersifat perwakilan. Idealnya, pimpinan hanya bertindak sebagai perwakilan, menerima wewenang dan tanggungjawab yang didelegasikan dari anggota-anggota jemaat. Tidak cukup sekadar menunjukkan suatu sistem tata kelola gereja yang berdasarkan Kitabsuci; menjalankan wewenang di dalam sistem itu harus memperlihatkan kepekaan pada nilai-nilai alkitabiah" [alinea kedua].

Pendelegasian. Pada zaman rasul-rasul di abad pertama pernah diadakan sebuah rapat konsultasi di Yerusalem ketika timbul suatu pertikaian perihal sunat, apakah itu wajib atau tidak. Beberapa orang Kristen dari Yudea sudah datang ke kota Antiokhia dan mengajarkan bahwa orang-orang Kristen non-Yahudi (kafir) harus disunat sesuai dengan hukum Taurat, hal mana didukung sepenuhnya oleh kaum Farisi yang sudah menjadi orang Kristen di kota itu. Tetapi ajaran ini ditentang habis-habisan oleh Paulus dan Barnabas. Karena telah menimbulkan kebingungan, gereja mengutus Paulus dan Barnabas serta beberapa perwakilan jemaat lainnya pergi ke Yerusalem untuk berkonsultasi (Kis. 16:1-2). Delegasi ini diterima oleh Petrus dan Yakobus yang dianggap sebagai sokoguru-sokoguru gereja, yaitu orang-orang yang dihormati sebagai para pemimpin gereja. Pertemuan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan, dan pimpinan gereja di Yerusalem itu menunjuk beberapa orang untuk berangkat ke Antiokhia sambil membawa surat untuk menjelaskan hasil pertemuan tersebut (ay. 22, 23).

Rapat konsultasi di Yerusalem ini oleh sebagian orang disebut sebagai "rapat general conference" pertama. Tetapi peristiwa ini menjadi bukti alkitabiah tentang perlunya rapat konsultasi untuk memecahkan suatu masalah, melalui pendelegasian sebagaimana dicontohkan oleh Gereja yang mula-mula. Dalam sistem gereja MAHK, rapat sedunia yang diadakan setiap lima tahun sekali itu selain untuk membahas dan menyetujui berbagai program kerja, pemecahan masalah dan penentuan kebijakan, rapat itu juga sekaligus untuk memilih kepemimpinan Gereja secara global. Sesudah itu, rapat serupa kemudian diadakan secara berjenjang di berbagai wilayah di dunia berturut-turut secara regional, nasional, dan lokal. Setiap rapat lima tahunan dihadiri oleh delegasi-delegasi yang mewakili wilayahnya dengan mandat untuk berbicara atas nama seluruh anggota jemaat yang berada di wilayah yang diwakilinya. Sebab dalam sistem tata kelola Gereja MAHK kedaulatan itu berada di tangan anggota-anggota jemaat lokal di seluruh dunia, tetapi hak suara mereka diwakilkan secara berjenjang kepada organisasi gereja yang lebih tinggi. Pada setiap tingkatan organisasi gereja selalu ada anggota-anggota awam yang dipilih secara demokratis berdasarkan peraturan yang baku untuk duduk dalam apa yang disebut Komite Eksekutif atau semacam dewan pelaksana harian.

"Gereja yang mula-mula sadar akan kenyataan bahwa mereka tidak dapat menjalankan sesuatu wewenang terlepas dari Kristus dan firman-Nya. Dalam Kisah 15:28 adalah penting bagi jemaat bahwa apa yang mereka putuskan itu 'berkenan kepada Roh Kudus' (TL), perwakilan Kristus yang sesungguhnya. Para pemegang jabatan di dalam gereja dewasa ini tidak dapat bertindak lain" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Amaran terhadap sekularisme. Dalam kitab Wahyu kita menemukan teguran kepada jemaat Pergamus, salah satu dari Tujuh Jemaat dalam sorotan yang merupakan sifat-sifat Gereja zaman akhir. "Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus" (Why. 2:15). Sinyalemen ini terdapat juga pada jemaat Efesus yang sudah disebut terdahulu (ay. 6). Siapa atau apakah Nikolaus itu? "Nikolaus" berasal dari kata "Nikao-laos" yang secara harfiah berarti "menaklukkan kaum awam" (Nikao=menaklukkan; laos=orang biasa/kaum awam). Paham Nikolaus mengajarkan bahwa imam-imam (=pendeta) dan pemimpin-pemimpin gereja itu telah diberikan "pengetahuan istimewa dan rahasia yang tidak dimiliki oleh anggota awam, serta memegang hak istimewa untuk melaksanakan upacara-upacara sakramen yang tidak boleh dilakukan oleh anggota biasa" sehingga mereka itu patut diperlakukan lebih istimewa dari anggota-anggota jemaat biasa atau kaum awam.

Bukti-bukti sejarah mengungkapkan bahwa "doktrin Nikolaus" dikaitkan juga dengan kepelesiran duniawi, termasuk uang dan seks. Dalam hal "kaum rohaniwan" yang serakah terhadap uang hal ini menemukan asal-usulnya dalam diri Bileam, seorang nabi yang dibayar oleh Balak, raja Moab, untuk mengutuki bala tentara Israel (Bilangan 22-25; 31). Irenaeus, sejarahwan gereja abad kedua, menyebut Nikolaus sebagai sebuah aliran Gnostik yang disebarkan oleh Cerinthus, seorang penganjur ajaran sesat yang menyangkal penciptaan oleh Allah Maha Kuasa dan menolak keilahian Yesus Kristus. Jadi, "Nikolaus" yang dimaksudkan dalam Wahyu 2:6, 15 itu bukanlah nama orang melainkan nama sebuah ajaran dari aliran tertentu di abad permulaan. Intinya, "ajaran Nikolaus" itu adalah paham sekularisme yang dipadukan dengan doktrin injil. (Dari berbagai sumber otentik dan terpercaya.)

Apa yang kita pelajari tentang tata kelola Gereja yang alkitabiah?
1. Dari mulanya Gereja telah dikelola secara bersama-sama antara para rasul, penatua, dan jemaat. Ketiga unsur di dalam gereja ini (rasul=pendeta; penatua=ketua/majelis; jemaat=semua anggota) semuanya membentuk "tubuh Kristus" di mana satu unsur tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari unsur yang lain, dan seluruhnya tunduk kepada "Kristus yang adalah Kepala" (Ef. 4:15).
2. Kepemimpinan Gereja yang benar adalah "kepemimpinan yang melayani" (servitude leadership) sebagaimana telah dicontohkan oleh Yesus Kristus. "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" (Mat. 20:26-28).
3. Para pemimpin Gereja harus mengantisipasi arus keduniawian yang menghanyutkan itu agar tidak masuk ke dalam gereja di tingkat mana saja, baik di kalangan anggota awam dan terutama di antara para pemimpin. Para pejabat dan pengurus Gereja harus memiliki roh seperti rasul Paulus yang melayani "dengan rendah hati dan dengan banyak air mata" (Kis. 20:19, BIMK).

Jumat, 23 November
PENUTUP

Optimisme yang keliru. Sebuah kasus yang cukup memalukan dunia pendidikan nasional terjadi belasan tahun silam di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah. Seorang dosen yang terlalu percaya diri karena merasa dirinya super-cerdas dan menguasai beberapa bidang ilmu pengetahuan, dengan sembrono mendesak dekan agar memberinya porsi mengajar yang lebih besar meskipun harus memotong jam-jam mengajar sesama dosen. Memang harus diakui bahwa para mahasiswa sangat puas dengan kepiawaiannya memberi kuliah, menarik dan mudah dimengerti. Akhirnya timbullah kecurigaan rekan-rekannya yang berujung kepada penyelidikan terhadap keabsahan ijazahnya. Pendek cerita, terungkaplah bahwa ijazahnya "aspal" (asli tapi palsu) sehingga dia langsung dipecat sebagai dosen dan harus berurusan dengan pihak berwajib atas dakwaan pasal pemalsuan dan penipuan.

Sementara sikap optimistik itu penting dan sangat dianjurkan dalam kehidupan, optimisme yang berlebihan dapat menjadi bumerang yang berbalik menghantam diri sendiri. Apalagi dalam pelayanan pekerjaan Tuhan yang menuntut kerendahan hati serta penyerahan pada kuasa Allah, gantinya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Orang yang terlalu percaya diri untuk mengemban suatu tugas cenderung menilai dirinya lebih besar dari pekerjaan itu, dan berakibat dia meremehkan tugas tersebut. Optimisme dalam pekerjaan Tuhan tetap perlu, tetapi optimisme itu harus didasarkan semata-mata pada kedahsyatan kuasa Allah dan bukan pada kehebatan diri sendiri.

"Jika seseorang terlalu optimistik dengan kekuatannya sendiri dan berusaha menguasai saudara-saudaranya, merasa bahwa dia diberi wewenang untuk menjadikan kehendaknya sebagai kuasa yang mengatur, satu-satunya jalan yang terbaik dan aman ialah menurunkan dia, kalau tidak bahaya besar bisa terjadi dan dia kehilangan jiwanya sendiri serta membahayakan jiwa orang lain...Sikap yang menguasai warisan Allah ini akan menimbulkan suatu reaksi kecuali orang-orang ini mengubah cara mereka...Posisi seseorang tidak membuat dirinya lebih besar sedikitpun dalam pemandangan Allah; tabiat saja yang dinilai Allah" [alinea pertama].

Memegang jabatan kepemimpinan dalam Gereja adalah suatu kesempatan yang istimewa, dan tidak semua orang berpeluang untuk itu. Rasul Paulus berkata, "Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah" (1Tim. 3:1). Hal yang berbahaya bagi Gereja dan bagi diri orang itu sendiri ialah apabila seseorang berambisi terhadap suatu jabatan kegerejaan karena terdorong oleh niat yang mementingkan diri gantinya pengorbanan.

"Saya minta dengan sangat supaya kalian menggembalakan kawanan domba yang diserahkan Allah kepadamu. Gembalakanlah mereka dengan senang hati. Janganlah pula melakukan pekerjaanmu guna mendapatkan keuntungan, melainkan karena kalian ingin sungguh-sungguh untuk melayani. Janganlah bertindak sebagai penguasa terhadap mereka yang dipercayakan kepadamu, melainkan jadilah teladan untuk mereka" (1Ptr. 5:1-3, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 21 November 2012)

Jumat, 16 November 2012

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "PEPERANGAN ROHANI DAN MILITANSI KRISTEN"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "PEPERANGAN ROHANI DAN MILITANSI KRISTEN"

oleh Loddy Lintong pada 15 November 2012 pukul 16:06 ·

PELAJARAN KE-VII; 17 November 2012
"DIPERLENGKAPI UNTUK KEMENANGAN"


Sabat Petang, 10 November
PENDAHULUAN

Berperang seumur hidup. Kita sudah pelajari selama dua pekan terakhir bahwa pertentangan besar antara Setan melawan Kristus merupakan sebuah perang semesta, yaitu peperangan yang medan pertempurannya meliputi langit dan bumi (dimulai di surga dan dilanjutkan di bumi ini), berlangsung sepanjang sejarah planet ini (mulai dari Taman Eden sampai turunnya kota Yerusalem Baru ke dunia ini), dan melibatkan setiap manusia yang pernah hidup di atas bumi ini. Secara pribadi, perang rohani yang kita hadapi adalah peperangan seumur hidup.

Adalah Allah sendiri yang menubuatkan peperangan besar yang berlanjut di dunia ini setelah Setan berhasil menggoda Hawa sehingga memakan buah larangan itu. Allah berfirman kepada ular itu: "Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kej. 3:14, 15; huruf miring ditambahkan).

Ular di Taman Eden itu adalah personifikasi dari Setan atau Iblis (Why. 12:9). Kekalahan Setan di surga tidak serta-merta membuat Setan menyerah, bahkan hal itu telah memicu kegeramannya terhadap Hawa dan keturunan perempuan itu yang diramalkan akan meremukkan kepalanya. "Dan ketika naga itu sadar, bahwa ia telah dilemparkan di atas bumi, ia memburu perempuan yang melahirkan Anak laki-laki itu" (ay. 13). Tetapi Setan tidak berhasil, bahkan "Anak laki-laki" dari perempuan itu (Yesus Kristus) kemudian "meremukkan tumitnya" dan mengalahkannya sekali lagi di Salib Golgota. Namun kekalahan Setan itu tidak serta-merta membuat Setan menyerah kalah, sebaliknya dia semakin meningkatkan gempuran-gempurannya. "Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (ay. 17; huruf miring ditambahkan).

Dengan beralihnya sasaran serangan-serangan Setan yang kini diarahkan kepada "keturunan yang lain" dari perempuan itu, yakni satu umat yang memelihara hukum-hukum Allah dan kesaksian Yesus (kesaksian Yesus adalah roh nubuat, Why. 19:10), maka gempuran Setan menjadi lebih terarah kepada sekelompok orang Kristen yang memiliki dua ciri tersebut. Peperangan semesta itu telah berubah menjadi perang pribadi dari setiap umat Tuhan. Dalam pengertian inilah nasihat rasul Paulus menjadi sangat relevan bagi anda dan saya, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis...Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri" (Ef. 6:11, 13).

"Tujuan utama Setan adalah merebut untuk dirinya sendiri kesetiaan semua orang percaya sejati yang telah diberikan kepada Kristus. Sebelum pertobatan, manusia menjadi milik dari si jahat; dia menguasai mereka. Meskipun pertobatan kepada Kristus melepaskan orang percaya itu dari kekuasaan Setan, hal itu tdak sepenuhnya menghancurkan kuasa Setan. Sebaliknya, Setan meningkatkan usahanya untuk meluluhkan iman kita dan merebut kita kembali kepadanya" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Ketika menulis surat kepada orang-orang Kristen di Efesus itu, sekitar tahun 60 TM, Paulus sedang berada di penjara Roma yang dijaga ketat oleh serdadu-serdadu Romawi dengan perlengkapan senjata lengkap. Dapat dibayangkan bahwa sambil menulis matanya terus memperhatikan gerak-gerik para prajurit itu yang tampak gagah dan sangat percaya diri. Mungkin dalam benak Paulus ketika itu adalah kerinduan agar setiap umat Tuhan yang mengenakan perlengkapan senjata Allah itu juga akan berperangai penuh percaya diri dan gagah sebagai laskar Kristus, bukan prajurit yang loyo dan rendah diri atau terlihat konyol tanpa perlengkapan senjata.

Minggu, 11 November
PERANG PRIBADI (Perlunya Mempersenjatai Diri)

Senjata rohani. Sebuah pepatah mengatakan, It's not the gun, but the man behind the gun (Bukan senjatanya, tapi orang yang memegang senjata itu). Memang senjata dibuat untuk dioperasikan oleh manusia, tanpa manusia yang menggunakannya maka senjata secanggih apapun adalah sia-sia. Tentu saja peribahasa ini tidak semata-mata berbicara perihal senjata dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi sebagai sebuah falsafah hidup tentang pentingnya faktor manusia--tepatnya, ketrampilan manusia--dalam memanfaatkan sarana yang tersedia. Dalam prinsip dan konsep duniawi, "senjata" itu sekadar alat pelengkap dalam mencapai sesuatu tujuan, bukan sesuatu yang paling penting dan terutama. Namun, dalam kehidupan kerohanian justeru "persenjataan" itulah yang lebih penting, "karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara" (Ef. 6:12; huruf miring ditambahkan). Kata asli untuk "perjuangan" dalam ayat ini, yang hanya digunakan satu kali dalam seluruh PB, adalah πάλη, palē, sebuah kata-benda feminin yang secara harfiah artinya "gulat" atau "pertarungan antara dua pegulat" yang masing-masing berusaha untuk saling mengalahkan.

"Setiap orang Kristen terbawa ke dalam keadaan ini. Dalam ayat 13 dia menyarankan pembacanya untuk mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah. Hanya dengan senjata Allah kita harus memperlengkai diri kita, dan persenjataan itu sudah disiapkan untuk kita gunakan. Paulus memulai ayat ini dengan kata 'sebab itu' yang menunjukkan bahwa di dalam suasana peperangan itu persenjataan tersebut diperlukan. Kemudian Paulus menggambarkan cara di mana orang Kristen harus dipersenjatai dan dengan demikian menggunakan kiasan tentang bagaimana seorang prajurit Romawi dipersenjatai untuk bertempur" [alinea pertama: lima kalimat terakhir].

Rasul Paulus sangat menyadari dahsyatnya peperangan rohani yang semua umat percaya sedang hadapi, termasuk dirinya sendiri dan rekan-rekannya para rasul. Itulah sebabnya dia perlu mengingatkan kita semua secara jelas dan terang. "Jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang?" (1Kor. 14:8). Anda dan saya sedang berada dalam kancah peperangan rohani, melawan musuh yang sama seperti yang dihadapai oleh rasul-rasul itu, dan jika kita tidak menyadari serta menyiapkan diri maka sangat mungkin kita akan mengalami kekalahan dengan risiko kebinasaan kekal.

Perjuangan pribadi. Nabi Yeremia menyadari betapa manusia memerlukan pertolongan dan pimpinan ilahi untuk menjalani kehidupan di dunia ini. "Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya" (Yer. 10:23). Seperti juga diingatkan oleh raja Salomo, "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut" (Ams. 14:12). Sebagaimana perjalanan hidup di dunia ini adalah pergumulan pribadi, demikian pula peperangan rohani itu merupakan perjuangan pribadi.

"Perumpamaan tentang sepuluh anak dara dalam Matius 25:1-13, meskipun dalam konteks yang berbeda dari apa yang sedang diperbincangkan di sini, namun berbicara tentang masalah keterlibatan pribadi dalam perkara-perkara rohani. Ellen White menerapkan keadaan rohani dari kelima orang gadis yang bijaksana itu pada uraian Paulus mengenai sekelompok orang pada akhir zaman yang memiliki suatu bentuk kesalehan tapi kekurangan kuasa (2Tim. 3:1-5)" [alinea ketiga: dua kalimat pertama].

Oleh karena peperangan rohani adalah suatu perjuangan pribadi, anda dan saya harus menghadapinya sendiri dan tidak mungkin dibantu atau diwakilkan kepada orang lain. Dan tidak seperti dalam peperangan fisik di mana tentara diterjunkan sebagai satu pasukan, sehingga anda dapat berjuang secara bahu-membahu dalam satu strategi bersama pasukan-pasukan lain, dalam peperangan rohani anda harus berjuang sendiri. Musuh kita, yaitu Setan dan malaikat-malaikat jahat, mereka itulah yang biasa datang menyerang secara berkelompok seperti dalam pengalaman Maria Magdalena yang dirasuk oleh tujuh setan (Mrk. 16:9), dan seorang laki-laki di desa Gadara yang dikeroyok oleh ribuan Setan (Mat. 8:28-32; Luk. 8:27-30). Bahkan dalam peperangan fisik yang sedahsyat apapun, pihak-pihak yang bermusuhan itu harus tunduk pada Protokol Jenewa 1929 dan Konvensi Jenewa 1949 yang membatasi tindakan-tindakan tertentu, tetapi dalam peperangan rohani Setan tidak terikat dengan konvensi apapun. Itulah sebabnya, kalau anda berharap untuk bisa menang dalam peperangan rohani, mau tak mau anda harus mengenakan dan mahir menggunakan "seluruh perlengkapan senjata Allah" (Ef. 6:11, 13).

Apa yang kita pelajari tentang perlunya mempersenjatai diri dalam peperangan rohani?
1. Menghadapi peperangan rohani setiap umat Tuhan harus menggunakan perlengkapan senjata "made in Heaven" yang disediakan oleh Allah sendiri. Manusia sama sekali tidak memiliki perlengkapan apapun dalam dirinya untuk melawan serangan Setan, itulah sebabnya Allah telah menyediakan persenjataan itu yang diberikan secara cuma-cuma.
2. Peperangan rohani adalah perjuangan yang harus dihadapi setiap orang secara pribadi. Meskipun Allah juga menyediakan bala bantuan surga dalam keadaan di mana anda dan saya terdesak oleh musuh, tetapi kita tidak dapat mewakilkan perjuangan itu kepada pihak lain. Yesus Kristus boleh mati menggantikan anda dan saya, tapi dalam berperang melawan Setan kita sendiri yang harus menghadapinya.
3. Perlengkapan senjata Allah itu sangat sempurna dan berdayaguna, tetapi itu hanya efektif jika kita mengenakannya secara lengkap dan tahu bagaimana menggunakannya. Setan bisa saja datang menyerang secara berkelompok dan mengeroyok anda pada suatu waktu, tapi dengan kelengkapan serta ketrampilan menggunakan senjata Allah niscaya anda pasti menang.

Senin, 12 November
TENTARA KRISTUS (Ikat Pinggang Kebenaran dan Zirah Keadilan)


Simbol prajurit Romawi. Harus dipahami bahwa ketika rasul Paulus menulis tentang "perlengkapan senjata Allah" ini dia sedang hidup di abad pertama pada masa kejayaan Romawi. Tentara-tentara dengan pakaian perang mereka yang khas ada di mana-mana dalam seluruh wilayah kekuasaan Romawi pada abad pertama itu. Senjata-senjata rohani yang disebutkannya dalam surat "kepada orang-orang kudus di Efesus, orang-orang percaya dalam Kristus Yesus" (Ef. 1:1) tersebut tentu saja adalah ilham surga, tetapi ide penggunaan kiasannya berasal dari pengamatannya terhadap perlengkapan prajurit Romawi yang merupakan pemandangan yang lazim waktu itu. Rasul Paulus, seperti juga Yesus Kristus yang dilayaninya, adalah seorang yang gemar menggunakan kiasan-kiasan dalam menyampaikan pekabaran, baik secara lisan dalam sebuah orasi maupun secara tertulis dalam surat-surat penggembalaannya. Isi surat yang ditujukan kepada jemaat di Efesus itu bukan saja berguna bagi seluruh jemaat di Asia Kecil pada abad permulaan, tapi di kemudian hari akan bermanfaat juga bagi jemaat-jemaat Tuhan di seantero dunia pada zaman akhir ini. Penggunaan simbol-simbol persenjataan prajurit Romawi abad pertama itu adalah untuk memudahkan pembacanya memahami makna pekabarannya.

Menurut informasi sejarah, pakaian perang prajurit Romawi purba terdiri atas sekitar 15 artikel (items), dengan bagian-bagian tertentu terbuat dari bahan yang berlainan untuk musim kemarau dan musim dingin. Tetapi dalam pemaparan pada kitab Efesus pasal 6 ini rasul Paulus hanya menyebut enam barang saja, dimulai dengan ikat pinggang (Latin: cingulum militare) dan baju zirah (sagum), seperti disebutkan dalam ayat 14. Ikat pinggang militer adalah bagian yang penting di mana berbagai perlengkapan digantungkan pada ikat pinggang itu, misalnya pedang pada zaman dulu atau pisau komando dan pistol pada tentara moderen, di samping juga berbagai perlengkapan lain. Sabuk ini berguna untuk membuat seorang prajurit merasa nyaman dan bebas bergerak. Sedangkan baju zirah yang melindungi bagian atas badan dari bahu sampai ke perut serta punggung itu kurang-lebih sama dengan rompi anti peluru bagi tentara moderen, sebuah perlengkapan pelindung diri. Rasul Paulus melambangkan kedua benda itu sebagai "kebenaran" (truth) dan "keadilan"(righteousness) yang diperlukan dalam peperangan rohani. Biasanya ikat pinggang dan baju zirah adalah perlengkapan perang yang dikenakan paling akhir, tapi rasul Paulus menyebutkannya sebagai perlengkapan yang pertama dalam persenjataan rohani.

"Ketika rasul Paulus berbicara tentang keadilan sebagai baju zirah dalam konteks peperangan rohani, dalam benaknya dia terpikir soal moral. Berbuat benar dan mempraktikkan keadilan, atau dalam perkataan lain menghidupan 'kebenaran' itu adalah sama pentingnya bagi orang-orang Kristen dalam peperangan melawan kuasa-kuasa kejahatan seperti halnya rompi anti peluru bagi tentara di medan perang. Bilamana kita lalai berbuat apa yang benar, apabila kita membelakangi apa yang kita tahu sebagai kebenaran, kita menjadi mangsa yang empuk terhadap serangan Setan oleh sebab kita membiarkan bagian yang terbuka lebar pada pakaian perang kita" [alinea kedua].

Kebenaran Kristus. Pada suratnya yang lain, rasul Paulus menyebutkan bahwa kebenaran yang ada pada kita adalah kebenaran Kristus "yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan" (Flp. 3:9). Rasul Yohanes berkata bahwa apabila kita berbuat kebenaran (=berlaku benar) maka kita "adalah benar, sama seperti Kristus adalah benar" (1Yoh. 3:7). Sementara kebenaran dalam diri kita merupakan karunia Allah, dengan menghidupkan (=mempraktikkan) kebenaran itu kita menjadi sama dengan Kristus. Jadi, sebagai umat percaya kita memiliki kebenaran di hati kita, dan kita harus mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupan kita. Kebenaran Kristus bersifat melindungi dengan menutupi kesalahan kita, pada waktu yang sama juga bersifat agresif karena kebenaran Tuhan ini tak bisa dipendam tetapi selalu ingin mendesak ke luar agar dinyatakan kepada oleh orang lain.

"Pada waktu yang sama, meskipun 'keadilan' ini termasuk mengamalkan suatu kehidupan yang benar, kita harus selalu mengingat aspek lain dari keadilan, dan itu adalah kebenaran Kristus yang membungkus orang percaya serta meninggalkan satu-satunya pengharapan keselamatan dari orang percaya. Selama kita bergantung pada kebenaran--sehingga keselamatan kita bertumpu pada Yesus--kita bisa terlindung dari salah satu serangan rohani Setan yang paling efisien: keputusasaan" [alinea terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Banyak yang merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang Kristen, hanya karena mereka memelihara prinsip-prinsip teologia tertentu. Tetapi mereka belum menampilkan kebenaran itu dalam kehidupan yang praktis. Mereka belum percaya dan mengasihi hal itu, dengan demikian mereka belum menerima kuasa dan anugerah yang datang melalui pengudusan kebenaran. Orang-orang bisa saja mengaku beriman dalam kebenaran; tetapi kalau hal itu tidak membuat mereka menjadi tulus, ramah, sabar, tahan nafsu, berpikir saleh, itu adalah sebuah kutuk bagi orang-orang yang mengakuinya, dan melalui pengaruh mereka itu menjadi kutuk bagi dunia" (Ellen G. White, The Desire of Ages, hlm. 310).

Apa yang kita pelajari tentang ikat pinggang kebenaran dan zirah keadilan dari seorang tentara Kristus?
1. Dalam peperangan rohani, setiap umat percaya adalah tentara Kristus yang sedang berperang melawan Setan. Dua perlengkapan senjata Allah yang harus kita pakai adalah kebenaran dan keadilan. Paulus menempatkan kedua perlengkapan ini sebagai yang pertama dipakai oleh seorang tentara Kristus dalam peperangan rohani.
2. Kebenaran Kristus kita peroleh sebagai anugerah Allah karena kita percaya kepada Yesus Kristus. Keadilan itu ibarat pakaian tahan peluru yang dikenakan kepada kita untuk menutupi kelemahan diri kita akibat dosa dan kesalahan. Sebagai perlengkapan pelindung, kebenaran dan keadilan Kristus harus dikenakan pada bagian luar, atau harus ditonjolkan.
3. Ikat pinggang kebenaran adalah integritas diri kita sebagai orang Kristen, suatu ciri tabiat yang harus selalu tampak dalam kehidupan kita sehari-hari, dan yang membuat kita bebas bergerak dan bertinteraksi. Orang Kristen yang hanya mengaku-aku sebagai orang benar tapi perilakunya berlawanan akan langsung disergap oleh musuh.

Selasa, 13 November
KESIAPAN PERTAHANAN (Kasut Kesediaan dan Perisai Iman)

 ("Testudo" atau "Formasi Penyu" sebagai pertahanan terhadap serangan anak panah musuh)

Mobilitas. Kasut (Latin: caligae) bagi seorang tentara Romawi sama pentingnya dengan sepatu lars bagi seorang tentara moderen. Alas kaki ini melambangkan mobilitas seorang prajurit Kristus yang siap diterjunkan ke mana saja. Sepanjang peradaban manusia, apalagi pada zaman kita sekarang, alas kaki adalah bagian dari cara berpakaian. Setiap orang memerlukan sepatu atau sandal untuk berbagai keperluan dan aktivitas sehari-hari, tetapi kasut bagi seorang tentara sangatlah khusus. Saya masih ingat sekitar tahun 1970-an banyak orang yang gemar membeli sepatu inventaris tentara bukan lars (PDH=pakaian dinas harian?) karena satu alasan utama: daya tahannya. Sementara sepatu modis harganya mahal dan kurang kuat, sepatu catu militer yang berwarna hitam itu lebih murah dan jauh lebih tahan banting untuk dipakai sehari-hari.

Setiap tentara Kristus harus mengenakan kasut yang alasnya memiliki "cengkeraman kuat" (good grip) menjejaki tanah yang melambangkan keteguhan hati untuk menginjil, namun dengan penampilan sederhana yang melambangkan sikap bersahaja. Orang Kristen tidak selayaknya memperlengkapi diri dengan "sepatu rohani modis" yang hanya tampak indah di luar tapi di dalamnya rapuh oleh sikap pamrih (suka dipuji, mencari popularitas, dan lain-lain) dalam menjalankan tugas-tugas injil. Pena inspirasi menulis: "Pada setiap tangan ada pekerjaan yang harus dilaksanakan. Ada pekerjaan di daerah-daerah sekitar kita, dan ada satu ladang yang luas untuk pekerjaan di daerah-daerah seberang. Allah membantu kita untuk tampil siap bagi pertempuran, mengenakan seluruh perlengkapan senjata, dan kaki kita berkasutkan kerelaan injil damai sejahtera" (Ellen G. White, General Conference Bulletin, 3 April 1901).

"Untuk menyediakan kelenturan gerakan di segala jenis jalan, tentara-tentara Romawi sering mengenakan kasut yang dipenuhi dengan paku-paku yang tajam. Kasut seperti itu menjamin suatu cengkeraman yang kuat, dan Paulus menyamakan kasut itu dengan 'kerelaan' atau 'kesiapan' untuk 'memberitakan Injil damai sejahtera' (Ef. 6:15)" [alinea pertama: dua kalimat terakhir]. Nabi Yesaya berkata, "Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik" (Yes. 52:7, bag. pertama).

Menahan panah iblis. Perlengkapan lain yang rasul Paulus sebutkan bersamaan dengan kasut adalah perisai (Latin: scutum). "Dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat," katanya (Ef. 6:16; huruf miring ditambahkan). Kata dalam bahasa Grika untuk "perisai" dalam ayat ini adalah θυρεός, thyreos, sebuah kata-benda maskulin yang berarti "tameng" untuk melindungi diri dari serangan musuh khususnya anak panah. Kata ini berasal dari akar-kata θύρα, thyra, kata-benda feminin yang artinya pintu, seperti digunakan antara lain dalam Mat. 6:6; 25:10; Yoh. 20:19 dan Kis. 12:6.

Ada beberapa versi perihal bentuk perisai tentara zaman purba, tetapi bagi prajurit Romawi perisai atau tameng itu lazimnya berbentuk persegi lonjong yang jika didirikan di atas tanah saat prajurit dalam posisi istirahat tinggi perisai itu mencapai bagian perut. Versi lain menggambarkan perisai itu berbentuk persegi lonjong tetapi bagian atasnya melengkung seperti pintu gerbang. Dengan bentuk seperti itu sebuah perisai akan tampak bagaikan daun pintu rumah ataupun gerbang kota, dan melambangkan pertahanan oleh sebab pintu maupun gerbang pada zaman dulu adalah bagian paling kokoh namun mudah dibuka-tutup. Gerbang zaman dulu hampir mustahil untuk ditembus apabila dalam keadaan tertutup, tetapi menjadi bagian yang paling mudah diterobos tatkala dalam keadaan terbuka.

"Analogi rohaninya tidak sukar untuk dipahami: di antara 'anak panah bernyala-nyala' dari Setan itu adalah nafsu, keragu-raguan, keserakahan, kesombongan, dan sebagainya. 'Tetapi iman kepada Allah yang diangkat tinggi bagaikan sebuah perisai, menahan panah-panah itu, memadamkan nyala apinya, dan membuatnya terhempas ke tanah tak berdaya--The SDA Bible Commentary, jld. 6, hlm. 1045'" [alinea terakhir: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang kasut dan perisai dalam perlengkapan senjata Allah?
1. Kasut yang melambangkan kerelaan dan kesiapan mobilitas adalah bagian yang penting bagi perlengkapan rohani umat Allah. Tetapi "sepatu rohani" orang Kristen haruslah yang kuat dan sederhana, bukan semacam "sepatu Cinderella" yang diperlakukan sebagai alat konfirmasi status. Kerelaan bekerja pengikut Kristus mesti bersahaja tetapi tangguh.
2. Sepatu rohani bukan sekadar bagian dari gaya berpakaian Kekristenan yang modis, tapi adalah perlengkapan untuk melindungi telapak kaki terhadap duri-duri dunia ini. Selain itu, alasnya (fondasinya) harus bisa membantu pemakainya untuk berpijak kukuh pada kebenaran, bahkan memiliki daya cengkeram yang kuat sehingga pemakainya tidak mudah tergelincir oleh ajaran menyesatkan atau godaan duniawi.
3. Perisai orang Kristen adalah iman, dan semakin tebal iman kita akan semakin ampuh untuk menahan serta mematahkan anak-anak panah Setan. Serangan anak panah selalu berasal dari atas, oleh karena itu selain faktor ketebalan iman dibutuhkan juga ketrampilan dan kesigapan untuk setiap kali mengangkat perisai iman itu.

Rabu, 14 November
UTAMAKAN SELAMAT (Ketopong dan Pedang)


Alat pertahanan utama. Dalam dunia persepakbolaan kita mengenal strategi total footballdengan semboyan offensive is defensive (menyerang berarti bertahan). Kesebelasan yang terkenal sering menerapkan gaya permainan yang memang sangat menggairahkan untuk ditonton ini adalah "tim oranye" Belanda, setidaknya pada dekade 1970-an. Perhitungan sederhananya begini: dengan menggempur pertahanan lawan secara total dan bergelombang akan membuat lawan kerepotan dan dipaksa untuk terus bertahan, dengan demikian lawan tidak sempat untuk menyerang. Tetapi, sebagaimana kita tahu, kelemahan utama dari strategi ini ialah pertahanan sendiri menjadi agak terbengkalai sehingga rentan terhadap sebuah serangan balik yang cepat. Seingat saya, itulah yang terjadi pada final Piala Dunia 1974 di Olympiastadion, Munich tatkala tim favorit Belanda yang terdiri dari Johan Cruijff dkk dipecundangi tim Jerman Barat (waktu itu) di bawah komando "Der Kaizer" Franz Beckenbauer dengan skor akhir 2-1, melalui gebrakan blitzkrieg (serangan kilat) yang mengagetkan.

Dalam perang fisik (perang betulan) menyerang dan bertahan mesti dilakukan secara bersamaan dengan perhitungan dan persiapan yang matang, baik secara kolektif maupun individual. Para anggota pasukan yang diperintahkan untuk maju menyerbu wilayah musuh harus mempersiapkan perlengkapan pertahanan diri sambil menyerang. Dalam perang zaman dulu (seperti yang kita tonton dalam film "perang kerajaan"), tentara-tentara itu harus maju berhadapan langsung dengan musuh dalam jarak sangat dekat sebab senjata mereka masih berupa pedang atau tombak. Dalam perang frontal jarak dekat seperti itu, perisai, baju zirah dan ketopong adalah andalan utama pertahanan diri. Anda tidak akan maju menghunus pedang atau tombak mendekati musuh tanpa perlindungan tubuh yang memadai.

Untuk bertempur dalam peperangan rohani, Rasul Paulus menasihati, "Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah" (Ef. 6:17). Versi moderen menerjemahkan ayat ini, "Ambillah keselamatan sebagai topi baja, dan perkataan Allah sebagai pedang dari Roh Allah" (BIMK). Ketopong atau topi baja (Latin: galea) adalah perlengkapan pertahanan diri paling penting karena melindungi bagian tubuh paling vital, yaitu kepala. Dalam peperangan rohani, sasaran utama dari serangan Setan terhadap manusia adalah pikiran anda dan saya yang terdapat di kepala kita. Iblis menyerang pada sasaran paling telak, sehingga dapat membuat korbannya menjadi tidak percaya karena "pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil" (2Kor. 4:4). Seorang yang pikirannya sudah buta akan dengan sangat mudah digiring Setan menuju kebinasaan.

"Dalam Yesaya 59, adalah Allah yang mengenakan ketopong keselamatan; di sini, dalam kitab Efesus, orang Kristen diserukan untuk menerima ketopong keselamatan itu. Sementara alat-alat perlengkapan yang terdahulu itu mungkin saja telah diletakkan untuk diambil oleh si prajurit, ketopong diserahkan kepadanya. Barangkali hal ini untuk menekankan 'pemberian' keselamatan secara total...Oleh sebab sasaran utama dari serangan Setan adalah untuk membuat orang-orang Kristen kehilangan keselamatan mereka, maka jaminan keselamatan yang 'diberikan' kepada mereka terlepas dari usaha mereka sendiri itu menjadi sebuah senjata paling ampuh untuk bertahan dalam peperangan itu" [alinea pertama: tiga kalimat terakhir; alinea kedua: kalimat ketiga].

Kedahsyatan pedang. Senjata utama dari seorang prajurit Romawi purba untuk menyerang lawan adalah pedang (Latin: gladius). Biasanya pedang itu bermata dua, atau tajam di kedua sisi, dengan ujung yang runcing. Jadi, selain untuk menebas pedang itu juga bisa untuk menusuk lawan. Dalam peperangan rohani, menurut penggambaran rasul Paulus, senjata ofensif yang utama adalah "pedang Roh, yaitu firman Allah" (Ef. 6:17, bag. kedua). Seperti pedang betulan di tangan prajurit Romawi itu, pedang Roh yang adalah firman Tuhan itu juga sangat berbahaya bagi lawan. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita" (Ibr. 4:12; huruf miring ditambahkan). Jadi, kalau Setan menyerang pikiran manusia untuk membutakannya, pedang firman Allah itu dapat menyehatkan kembali pikiran itu melalui operasi "bedah otak" menggunakan pedang Roh Allah yang sangat tajam itu, sehingga pikiran manusia bisa berfungsi kembali dan mampu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang palsu.

Semasa hidup-Nya di dunia Yesus Kristus juga pernah mengalami peperangan rohani secara pribadi ketika dia langsung berhadapan dengan Setan yang datang menggoda. Saat itu Yesus sepenuhnya mengenakan keadaan kemanusiawian, sama seperti anda dan saya, dan Setan tahu itu. Hal ini sangat masuk akal, sebab Setan mencobai Kristus dengan perkara-perkara duniawi untuk memuaskan keinginan daging (Mat. 4:2-3), keangkuhan ego (ay. 6), dan hawa nafsu kekuasaan (ay. 9). Sekiranya pada saat itu Kristus sedang mengenakan keadaan-Nya yang asli sebagai Raja Surga, sangat tidak masuk akal kalau Setan berusaha menggoda-Nya dengan iming-iming ketiga hal duniawi tersebut seperti ketika dia menggoda anda dan saya, bukan? Setan tidak sebodoh dan sekonyol itu.

"Penggodaan yang dihadapi Kristus sebagaimana tercatat dalam Matius 4:1-10 merupakan sebuah ilustrasi yang indah tentang bagaimana Firman Allah bisa menjadi senjata yang efektif. Ayat-ayat ini tentu juga memberi suatu dorongan kepada orang-orang Kristen untuk menopang diri mereka dengan kebenaran-kebenaran yang dinyatakan dalam Firman Allah" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kehandalan ketopong selamat dan pedang Roh dalam peperangan rohani?
1. Ketopong atau topi baja adalah "pengharapan keselamatan" (1Tes. 5:8), perlengkapan yang harus senantiasa dikenakan oleh setiap orang percaya. Melepaskan ketopong keselamatan itu barang sejenak saja akan memberi peluang bagi Setan melakukan serangan dadakan terhadap pikiran kita dengan akibat yang fatal, kehilangan keselamatan.
2. Ketopong keselamatan sebagai pelindung pikiran adalah alat yang "dipakaikan" kepada kita, bukan kita memakainya sendiri, menunjukkan bahwa keselamatan itu adalah anugerah Allah kepada umat percaya tanpa usaha apapun di pihak manusia yang menerimanya. 
3. Pedang Roh, yaitu Firman Allah (Alkitab), bukan saja dapat digunakan untuk melawan Setan tapi juga untuk memperbaiki kerusakan yang dibuat Setan terhadap pikiran manusia. Setan dan para pengikutnya tidak dapat dikalahkan dengan ketajaman pikiran kita, tetapi hanya oleh ketajaman Firman Allah yang dahsyat dan penuh kuasa itu.

Kamis, 15 November
PENTINGNYA KOMUNIKASI (Berdoalah Setiap Waktu)

Berkomunikasi dengan surga. Ada satu perlengkapan yang tidak dimiliki oleh prajurit Romawi purba, dan merupakan ide dari Rasul Paulus ketika menulis teologia kelengkapan senjata Allah, yakni alat komunikasi. Dalam dunia kemiliteran moderen perangkat komunikasi termasuk perlengkapan utama sebagai sarana pendukung di lapangan. Melalui alat komunikasi itu pasukan yang sedang bertempur di garis depan dapat berkoordinasi dengan satuan-satuan lainnya, menghubungi pusat komando atau markas, dan sebagainya. Putusnya komunikasi dengan komandan di lapangan akan sangat mengganggu strategi penyerangan bahkan membahayakan taktik bertahan.

Dalam peperangan rohani, markas besar kita ada di surga dan Panglima kita adalah Yesus Kristus. Doa adalah sarana komunikasi paling ampuh dan tercanggih yang disediakan Yesus untuk kita gunakan kapan saja dan dalam kondisi apa saja untuk berkomunikasi dengan surga. "Lakukanlah semuanya itu sambil berdoa untuk minta pertolongan dari Allah. Pada setiap kesempatan, berdoalah sebagaimana Roh Allah memimpin kalian. Hendaklah kalian selalu siaga dan jangan menyerah," pesan sang rasul (Ef. 6:18, BIMK; huruf miring ditambahkan). Meskipun doa tidak termasuk sebagai bagian dari persenjataan, tapi doa adalah bagian dari pertahanan dan ketahanan. Pena inspirasi menulis: "Doa adalah nafas jiwa. Itulah rahasia dari kuasa rohani. Tidak ada sarana kasih karunia yang lain dapat menggantikannya dan kesehatan jiwa terpelihara. Doa membawa hati ke dalam hubungan langsung dengan Mata Air kehidupan, menguatkan sendi dan otot pengalaman rohani. Lalai berdoa, atau berdoa secara tidak teratur, sesekali saja bila waktu memungkinkan, maka anda akan kehilangan pegangan pada Allah. Kesanggupan-kesanggupan rohani kehilangan vitalitasnya, pengalaman rohani berkurang kebugaran dan kekuatannya" (Ellen G. White, Gospel Workers, hlm. 254-255).

Doa dan iman. Doa adalah sumber kuasa. Rasul Tuhan menyatakan, "Doa orang yang benar, biladengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya" (Yak. 5:16; huruf miring ditambahkan). Tidak cukup menjadi "orang benar" untuk dapat beroleh kuasa dari doa itu, tetapi harus juga berdoa "dengan yakin." Meminjam istilah-istilah dunia internet, doa itu ibarat aplikasi yang kita bisa gunakan mengakses server surgawi untuk download berkat dan kuasa ilahi, sedangkan iman adalahpassword untuk mengaktifkan aplikasi itu. Berdoa tetapi tanpa disertai iman membuat doa itu menjadi sia-sia. Yesus menegaskan, "Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya" (Mat. 21:22; huruf miring ditambahkan). Bahkan, dalam catatan Markus, pernyataan Yesus yang diucapkan pada peristiwa yang sama itu lebih meyakinkan lagi: "Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu" (Mrk. 11:24; huruf miring ditambahkan).

"Namun dalam konteks berperang melawan kuasa-kuasa jahat yang Paulus maksudkan dalam Efesus 6, dia menekankan fakta bahwa setiap peristiwa dalam kehidupan harus terbungkus dalam doa. Sikap terhadap doa seperti itu bukanlah tuntutan yang sepele terhadap orang Kristen, utamanya karena naluri pertama kita pada saat-saat yang sulit ialah menghubungi teman-teman atau rekan-rekan yang memang bagus dan pada tempatnya. Tetapi doa harus selalu menjadi garis depan pertahanan dan adalah sesuatu yang kita harus 'lakukan setiap waktu'" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Mendoakan orang lain. Sementara kita harus berdoa untuk diri sendiri, kita juga perlu mendoakan orang lain. "Berdoalah selalu untuk semua umat Allah," kata Paulus (Mrk. 6:18 bag. akhir, BIMK). Apabila setiap orang percaya saling mendoakan, berarti kita semua didoakan oleh orang lain. Bahkan, di bagian lain sang rasul menasihati, "Pertama-tama, saya minta dengan sangat supaya permohonansembahyang, dan doa syafaat serta ucapan terima kasih disampaikan kepada Allah untuk semua orang; untuk raja-raja dan untuk semua orang yang memegang kekuasaan" (1Tim. 2:1, 2, BIMK; huruf miring ditambahkan). Ayat yang kedua ini membuka wasasan kita tentang empat jenis doa: permohonan (supplication/petition), doa pribadi(dedication/concecration), doa syafaat atau doa pengantaraan (intercession), dan doa pengucapan syukur (thanksgiving).

Melalui injil Lukas kita dapati nasihat Tuhan Yesus berikut ini: "Berjaga-jagalah dan berdoalahselalu supaya kalian kuat mengatasi semua hal yang bakal terjadi dan kalian dapat menghadap Anak Manusia" (Luk. 21:36, BIMK; huruf miring ditambahkan). Dalam peperangan rohani berdoa harus dibarengi dengan sikap waspada (berjaga-jaga), dengan demikian kita mampu mengatasi apa saja yang bakal terjadi serta sanggup berdiri di hadapan Kristus. "Dari sudut pandang Lukas, berjaga-jaga dikaitkan dengan doa sebagai suatu hal menetap yang memberikan kekuatan rohani kepada orang Kristen. Dalam Efesus 6:18 penekanannya pada doa bagi orang lain. Tidak disangsikan lagi, sementara kita berdoa untuk orang lain, kita sendiri dikuatkan secara rohani dan kita sendiri dipersenjatai dengan lebih baik untuk pertempuran berikutnya, apa pun bentuknya" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir]. "Dalam segala hal, berdoalah dan ajukanlah permintaanmu kepada Allah. Apa yang kalian perlukan, beritahukanlah itu selalu kepada Allah dengan mengucap terima kasih" (Flp. 4:6, BIMK).

Apa yang kita pelajari tentang pentingnya berdoa di tengah peperangan rohani?
1. Doa adalah alat komunikasi yang disediakan Tuhan bagi setiap umat-Nya untuk berhubungan dengan surga. Doa adalah komunikasi dua-arah antara seorang prajurit surgawi dengan Kristus sebagai Panglima. Itulah sebabnya bilamana kita berdoa harus dengan cara sedemikian rupa agar kita juga dapat memberi kesempatan Roh Allah berbicara kepada sanubari kita.
2. Adalah sangat aneh kalau kita yang mengaku sebagai umat percaya tetapi kurang yakin terhadap jawaban doa kita. Doa itu mengandung kuasa apabila diutarakan dengan keyakinan. Selain doa-doa rutin setiap hari, ada pula doa pribadi yang bersifat khusus dengan permohonan tertentu yang kita layangkan secara istimewa (Mat. 6:6).
3. Di samping doa untuk diri sendiri, kita juga perlu berdoa bagi orang lain. Dalam doa syafaat (doa pengantaraan) ini kita bertindak sebagai "imam" bagi orang lain, dan sebaliknya orang lain juga dapat menjadi "imam" untuk mendoakan kita. Itulah manifestasi dan makna dari kita sebagai "bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri" (1Ptr. 2:9).

Jumat, 16 November
PENUTUP

Tidak ada yang luput. Tidak pernah ada suatu peperangan di dunia ini yang melibatkan seantero bumi. Bahkan Perang Dunia I dan II yang pernah dialami manusia dalam sejarah peradaban moderen pun tidak sampai menyeret setiap negara dan seluruh bangsa di dunia. PD I (1914-1918), misalnya, hanya terpusat di benua Eropa yang waktu itu merupakan tempat berkumpulnya kekuatan-kekuatan militer dunia. Negara-negara yang terlibat utamanya adalah Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Austria, Hongaria dan Jerman. Pada PD II (1939-1945), yang melibatkan lebih banyak negara dan wilayah yang lebih luas dari PD I, antara Sekutu di bawah kepemimpinan AS melawan Nazi Jerman di kawasan Eropa dan menghadapi Jepang di wilayah Asia Timur dan Pasifik, negara-negara di benua Afrika dan Amerika Latin praktis tidak ikut terlibat.

Tetapi dalam peperangan rohani yang meliputi alam semesta, perang ini juga melibatkan setiap manusia yang pernah hidup di atas Bumi ini, tidak peduli apapun ras dan kebangsaannya. Perang yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya sejak dunia dijadikan ini akan terus berkecamuk, dan akan berujung pada Perang Armagedon yang pada akhirnya akan memunahkan eksistensi Setan dan anasir-anasir kejahatan dari muka bumi ini untuk selamanya. "Ini adalah suatu peperangan yang berhadap-hadapan langsung, dan pertanyaan yang besar adalah, Pihak mana yang akan beroleh kemenangan? Pertanyaan ini harus dijawab oleh diri kita masing-masing. Dalam peperangan ini semua harus terlibat, berperang di satu pihak atau di pihak yang lain. Dari peperangan ini tidak ada yang luput..." [alinea pertama: kelimat kelima hingga kedelapan].

Jangan takut! Keberanian adalah sifat dasar yang dituntut dari setiap tentara. Ketrampilan dapat dilatih dan kedisiplinan dapat ditumbuhkan, tetapi kalau pada dasarnya orang itu penakut maka dia tidak dapat menjadi seorang prajurit yang berhasil. Keberanian juga adalah sikap yang dihargai oleh Tuhan. Ketika memilih Gideon sebagai penyelamat umat-Nya, malaikat Tuhan menyapa orang muda itu dengan "Tuhan menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani" (Hak. 6:12). Allah menghendaki orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan-Nya agar tidak takut. Yesus berkata "Jangan takut!" kepada murid-murid-Nya (Mat. 17:7; 28:10); Tuhan berkata kepada Paulus, "Jangan takut!" (Kis. 18:9; 27:24); malaikat Tuhan berkata kepada perempuan-perempuan yang datang ke kubur Yesus pada pagi hari Minggu itu, "Jangan takut!" (Mrk. 16:6); dan malaikat yang lain juga mengatakan "Jangan takut!" kepada imam Zakharia (Luk. 1:13) dan kepada Maria ibu Yesus (Luk. 1:30). Bahkan, Tuhan berkata kepada kita sekarang, "Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita!" (Why. 22:10). Keberanian adalah prasyarat dalam peperangan rohani yang tak terelakkan di mana anda dan saya harus terlibat.

"Kita harus mengenakan setiap senjata dan berdiri teguh. Tuhan telah menghormati kita dengan memilih kita sebagai serdadu-serdadu-Nya. Hendaklah kita berperang dengan berani bagi Dia, mempertahankan kebenaran dalam setiap urusan. Ketulusan dalam segala hal adalah penting bagi kesejahteraan jiwa. Sementara kamu berjuang untuk kemenangan atas kecenderungan-kecenderunganmu, Ia akan menolongmu oleh Roh Kudus-Nya supaya berhati-hati dalam setiap tindakan, sehingga kamu tidak akan memberi kesempatan kepada musuh untuk berbicara jahat mengenai kebenaran" [alinea kedua: lima kalimat pertama].

"Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor. 10:3, 4).

(Oleh Loddy Lintong/California, 14 November 2012)