Gereja Masehi advent Hari Ketujuh

Kamis, 20 Desember 2012

PELAJARAN KE-XII; 22 Desember 2012 "YANG TERAKHIR: YESUS DAN UMAT TEBUSAN"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "KRISTUS, PENGHARAPAN YANG PASTI"

oleh Loddy Lintong pada 21 Desember 2012 pukul 6:28 ·


PELAJARAN KE-XII; 22 Desember 2012
"YANG TERAKHIR: YESUS DAN UMAT TEBUSAN"


Sabat Petang, 15 Desember
PENDAHULUAN

Babak terakhir. Pertentangan besar antara Kristus dan Setan, yang diawali di surga dan dilanjutkan di bumi ini, telah berlangsung sepanjang sejarah dunia ini. Berbagai peristiwa besar yang berkaitan dengan pertentangan itu telah terjadi, baik yang berdampak global maupun individual. Secara global, beberapa kali Setan seakan menang dalam pelbagai kejadian yang menimbulkan begitu banyak korban manusia sebagai obyek sasaran dari pertentangan besar itu; secara individual, banyak kali Setan juga seakan menang dalam pergumulan pribadi anda dan saya.

"Sejarah dari pertentangan besar antara yang baik dan yang jahat telah melewati banyak saat-saat yang genting; namun puncaknya adalah di kayu salib di mana kekalahan dan kebinasaan Setan yang paling penting itu dipastikan. Pada waktu yang sama, nubuatan-nubuatan Alkitab menunjuk kepada 'akhir zaman' (Dan 12:4, 9), suatu masa dalam sejarah keselamatan dengan maknanya sendiri dalam hal hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya" [alinea pertama: dua kalimat pertama].

Sudah barang tentu, tidak ada yang abadi di dunia ini; pertentangan besar itu juga akan segera berakhir. Namun masih ada beberapa peristiwa penting akan terjadi saat kita memasuki babak-babak terakhir yang sekaligus menjadi klimaks dari pertentangan besar itu. Tiga peristiwa penting yang hendak dibahas dalam pelajaran pekan ini berturut-turut adalah (1) pelayanan Kristus dalam bait suci surgawi, (2) kedatangan Kristus kedua kali, dan (3) kebangkitan orang mati.

Pena inspirasi menulis: "Segenap surga berminat dalam pekerjaan yang tengah berlangsung di dunia ini. Satu umat sedang disiapkan untuk hari Tuhan yang dahsyat itu, yang sudah berada di depan kita; dan kita tidak boleh membiarkan Setan mengaburkan perjalanan kita serta mengganggu pandangan kita akan Yesus dan kasih-Nya yang tak terhingga. Kita harus mendapatkan dari Kristus pertolongan sejati yang kita perlukan. Lalu, kapan kita membutuhkan pertolongan ini? Yaitu pada masa pencobaan, masa ketika godaan datang seperti banjir bilamana Setan akan melemparkan kesuramannya yang kelam di hadapan jiwa kita sehingga kita tidak mampu membedakan antara hal yang kudus dan yang biasa. Pada waktu itulah kita harus melarikan diri kepada Sumber kekuatan kita itu" (Ellen G. White, Review and Herald, 28 Januari 1890).

Minggu, 16 Desember
PELAYANAN KRISTUS DI SURGA (Bait Suci Surgawi: Bagian 1)

(ILUSTRASI: Penglihatan Hiram Edson di ladang jagung)

Bait Suci surgawi. Seperti sudah pernah kita pelajari terdahulu, naskah asli dari kitab-kitab yang terhimpun dalam Alkitab tidak terbagi ke dalam pasal-pasal dan ayat-ayat seperti yang kita kenal sekarang, melainkan sebagai satu tulisan panjang yang utuh. Pembagian pasal dan ayat adalah tambahan dengan maksud untuk mempermudah pendalaman dan pengutipan. Pembagian pasal-pasal dilakukan oleh Stephen Langton, seorang profesor pada Universitas Paris yang kemudian menjadi uskup agung Canterburry, pada tahun 1227; pembagian ayat-ayat dikerjakan oleh Robert Stephanus, seorang pengusaha percetakan di Prancis, ketika mencetak Perjanjian Baru yang diterbitkannya tahun 1551. Alkitab pertama yang diterbitkan lengkap dengan pembagian pasal dan ayat adalah berbahasa Latin (Latin Vulgate) tahun 1555, sedangkan Alkitab berbahasa Inggris pertama (hanya PB) dengan pembagian pasal dan ayat adalah Alkitab Jenewa terbitan tahun 1560.

Kitab Ibrani pasal 8 diawali dengan kalimat, "Inti segala yang kita bicarakan itu ialah:..." Apa rupanya yang sedang dibicarakan oleh penulis kitab Ibrani sehingga dia menambahkan kalimat tersebut, yang sekilas terkesan sebagai sebuah kesimpulan? Tentu saja adalah bagian sebelumnya yang dalam hal ini adalah pasal 7, di mana tiga ayat terakhirnya menyebutkan tentang kriteria seseorang untuk sebuah posisi sangat penting, yaitu Imam Besar. Sementara imam-imam besar yang melayani di Bait Suci duniawi, sesuai dengan aturan Hukum Taurat, adalah orang-orang yang berdosa di mana mereka sendiri harus mempersembahkan kurban bagi dosanya sendiri, Yesus Kristus yakni "Anak" itulah Imam Besar yang sempurna karena tidak berdosa dan karena itu tidak perlu mempersembahkan kurban demi diri-Nya.

Berdasarkan ayat-ayat ini kita percaya bahwa saat ini Yesus Kristus sedang menjalankan peran-Nya sebagai Imam Besar "yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu di dalam kemah sejati yang didirikan oleh Tuhan dan bukan oleh manusia" (Ibr. 8:2). Disebut "kemah sejati" (Grika: skēnēs tēs alēthinēs) karena inilah Kemah Suci surgawi yang dijadikan model dari kemah suci di dunia yang dibangun oleh Musa ketika memimpin bangsa Israel dalam perjalanan di padang belantara. "Bait suci duniawi digambarkan sebagai contoh, atau pola, dari bait suci surgawi; ini berarti bahwa paling sedikit yang pertama itu mempunyai hubungan fungsional dengan yang terakhir. Karena itu, bait suci duniawi banyak mengajarkan kita tentang bait suci surgawi; terlepas dari apapun arti dari bait suci duniawi bagi bangsa Israel, arti yang sesungguhnya terdapat di dalam bait suci surgawi itu dan apa yang terjadi di sana" [alinea kedua: dua kalimat pertama].

Ajaran khas gereja Advent. Doktrin tentang bait suci surgawi, di mana Yesus Kristus melaksanakan tugas-tugas Imam Besar, berkembang tak lama setelah Hari Kekecewaan Besar yang dialami oleh para pengikut William Miller (dikenal dengan sebutan Millerites) pada tahun 1844, ketika kedatangan Yesus kedua kali yang diperhitungkan akan terjadi pada tanggal 22 Oktober tidak menjadi kenyataan. Perhitungan tentang hari kedatangan itu sendiri didasarkan pada nubuatan bahwa, "Sampai lewat dua ribu tiga ratus petang dan pagi, lalu tempat kudus itu akan dipulihkan dalam keadaan yang wajar" (Dan. 8:14), dan dikaitkan dengan "Hari Pendamaian" sebagaimana yang berlaku pada bait suci di dunia bagi bangsa Israel (Im. 23:27, 28) serta apa yang Yesus lakukan di bait suci surgawi (Ibr. 9:23-25).

Sehari setelah kekecewaan besar itu, tanggal 23 Oktober sore, seorang petani kaya bernama Hiram Edson yang juga termasuk di antara kelompok orang-orang yang kecewa itu, sedang berada di ladang jagung miliknya ketika tiba-tiba dia mendapat penglihatan. Dalam kesaksiannya dia menulis, "Surga tampak terbuka pada penglihatan saya, dan saya melihat dengan jelas dan terang bahwa gantinya Imam Besar kita itu keluar dari [bilik] Maha Kudus bait suci surgawi untuk datang ke bumi ini pada hari kesepuluh bulan ketujuh, di akhir 2300 hari, pada hari itu untuk pertama kalinya dia memasuki bilik kedua dari bait suci; dan bahwa dia mempunyai satu pekerjaan untuk dilakukan di dalam [bilik] Maha Kudus sebelum datang ke dunia ini." Kisah penglihatan ini kemudian mengembalikan semangat dan sekaligus memberi terang baru dalam penyelidikan Alkitab soal pekerjaan Yesus di surga, dan setelah serangkaian penelitian serta berbagai diskusi akhirnya doktrin tentang bait suci surgawi ini diterima sebagai keyakinan gereja, sebuah ajaran yang khas dari Gereja Advent.

"Pelayanan di bait suci duniawi mengajarkan bahwa sementara penumpahan darah itu perlu (Ibr. 9:22) untuk menebus dosa, tetap masih diperlukan seorang imam pengantara antara orang-orang berdosa dengan Allah yang Suci sebagai hasil dari darah yang ditumpahkan itu. Pelayanan imam di dalam Tempat Maha Kudus membersihkan bait suci dari dosa dan dituntut penyesalan dan pertobatan di pihak umat itu. Jadi, penghakiman juga disorot sebagai bagian integral dari pelayanan keselamatan menyeluruh" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang pelayanan Yesus Kristus di surga?
1. Di bait suci duniawi pada zaman Musa bersama umat Israel, pelayanan keimamatan dilakukan oleh laki-laki suku Lewi yang ditunjuk berdasarkan garis keturunan, yaitu orang-orang biasa dan berdosa yang juga wajib mempersembahkan korban bagi pengampunan dosa-dosa mereka sendiri. Di bait suci surgawi, Yesus Kristus menjadi Imam Besar yang sempurna karena tidak berdosa.
2. Tatkala Yesus dibangkitkan dan hendak naik ke surga, kepada murid-murid Ia berkata bahwa kepergian-Nya ke surga untuk menyediakan tempat bagi mereka dan setelah itu akan kembali menjemput mereka (Yoh. 14:1-3). Berdasarkan doktrin tentang bait suci surgawi, "menyediakan tempat" di sini harus diartikan sebagai "menjamin keselamatan" mereka melalui pelayanan keimamatan-Nya.
3. Doktrin tentang bait suci (sering disebut "doktrin tentang kaabah") merupakan ajaran khas gereja Advent, muncul tidak lama setelah Hari Kekecewaan Besar tahun 1844, yang kemudian dipelajari secara lebih mendalam dan komprehensif sebelum diterima sebagai salah satu ajaran pokok gereja.

Senin, 17 Desember
YESUS PENGANTARA KITA (Bait Suci Surgawi: Bagian 2)

Berbeda dari bait suci duniawi. Kemarin kita sudah pelajari bahwa ajaran tentang bait suci surgawi merupakan doktrin khas Gereja Advent, dalam arti bahwa doktrin ini tidak diajarkan oleh gereja lain seperti yang diyakini oleh gereja kita. Doktrin ini adalah hasil dari pendalaman Kitabsuci oleh para pendiri gereja kita yang didasarkan utamanya pada tulisan-tulisan dalam kitab Imamat, Daniel, Ibrani dan Wahyu. Tapi berbeda dari pelayanan dalam bait suci duniawi di padang gurun pada zaman Musa yang bersifat bayangan (type) merujuk kepada Yesus Kristus, pelayanan di bait suci surgawi adalah kiasan (anti-type) dengan Yesus Kristus sendiri sebagai Imam Besar. (Baca selanjutnya di sini---> https://www.ministrymagazine.org/archive/1980/October/christ-in-the-heavenly-sanctuary).

Selain itu, tidak seperti ritual di bait suci duniawi yang melibatkan imam, anak domba, dan orang berdosa yang mempersembahkan kurban, di bait suci surgawi Yesus Kristus bertindak sebagai imam sekaligus sebagai anak domba dan juga sebagai Pembela yang mewakili orang berdosa. "Pelayanan bait suci duniawi mengungkapkan tiga fase keselamatan: kurban pengganti, pelayanan pengantaraan imam, dan penghakiman. Alkitab mengajarkan bahwa ketiga fase keselamatan itu diwujudkan dalam pelayanan Kristus mewakili orang-orang berdosa" [alinea pertama].

Kedatangan Anak Allah yang pertama ke dunia ini melalui penjelmaan sebagai bayi Yesus yang lahir di Betlehem dan kemudian mati di Golgota demi manusia yang sudah "sesat seperti domba," dan melalui kematian di kayu salib Allah "menimpakan kepadanya segala kejahatan kita sekalian" (Yes. 53:6), sehingga menyediakan "jalan pendamaian karena iman" (Rm. 3:24, 25) dengan menjadikan-Nya seolah-olah berdosa karena kita "supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah" (2Kor. 5:21). Oleh kematian-Nya di kayu salib mewakili manusia berdosa itu, Yesus Kristus layak dan berhak untuk menjadi sebagai Pengantara kita (1Tim. 2:5; Ibr. 7:25).

Kurban yang lebih baik. Bait suci duniawi yang dibangun oleh Musa di padang gurun untuk bangsa Israel yang sedang dalam perjalanan pengembaraan--karena itu disebut "Kemah Suci" atau lebih sering lagi sebagai "Kemah Pertemuan"--telah dibuat berdasarkan contoh dari bait suci surgawi sebagaimana yang diperlihatkan Allah kepada Musa, mulai dari rancang-bangunnya sampai kepada perabotan di dalamnya, semuanya secara terinci (Kel. 25:8, 9). Kemah Pertemuan, atau bait suci duniawi, itu setahun sekali harus "ditahirkan" atau dibersihkan dari "segala kenajisan orang Israel" (Im. 16:16). Hari pentahiran itu disebut "Hari Pendamaian" yang jatuh pada hari kesepuluh bulan ketujuh menurut kalender Yahudi (Im. 23:26-32; Bil. 29:7-11), atau dalam kalender internasional jatuh antara bulan September-Oktober, enam bulan sesudah perayaan Hari Paskah. Dalam bahasa Ibrani hari ini dikenal sebagai Yom Kippur (יוֹם כִּפּוּר), sebuah hari paling penting dalam Yudaisme (agama orang Yahudi).

Kalau bait suci duniawi itu harus ditahirkan dengan pemercikan darah binatang yang dilakukan oleh imam besar manusia--yang sebelum melakukan upacara suci itu harus lebih dulu mentahirkan dirinya sendiri dan keluarganya dengan mempersembahkan kurban seekor lembu jantan--maka bait suci surgawi pentahirannya dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri sebagai Imam Besar yang sempurna dan juga sebagai "kurban" yang lebih baik. "Dengan cara seperti itulah barang-barang yang melambangkan hal-hal yang di surga, perlu disucikan. Tetapi untuk hal-hal yang di surga itu sendiri diperlukan kurban yang jauh lebih baik. Sebab Kristus tidak masuk ke Ruang Suci buatan manusia, yang hanya melambangkan Ruang Suci yang sebenarnya. Kristus masuk ke surga itu sendiri; di sana Ia sekarang menghadap Allah untuk kepentingan kita" (Ibr. 9:23-24, BIMK).

"Dengan latar belakang pelayanan bait suci duniawi, Ibrani 9:23 dengan jelas menunjuk kepada pelayanan pembersihan oleh Kristus di surga. Inilah ayat yang telah membingungkan para pakar selama berabad-abad, sebab ayat itu dengan jelas mengatakan bahwa ada sesuatu di surga yang sudah tercemar dan perlu disucikan. Bagi umat Masehi Advent Hari Ketujuh, dengan pemahaman kami tentang dua fase pekerjaan Kristus di surga yang mewakili kita, pembersihan ini adalah kiasan--sebagaimana pembersihan tahunan dari bait suci duniawi pada Hari Pendamaian itu" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang pelayanan Yesus di bait suci surgawi?
1. Pelayanan Yesus Kristus di bait suci surgawi mencakup berbagai aspek pelayanan yang dilakukan dalam bait suci duniawi di zaman Musa, di mana Kristus merangkap sebagai imam besar dan sekaligus kurban. Bahkan, Yesus Kristus juga bertindak sebagai Pembela yang mewakili orang berdosa yang percaya kepada-Nya.
2. Yesus Kristus memiliki kelayakan untuk menjalankan pelayanan selengkap itu di bait suci surgawi oleh sebab Dia sudah hidup di atas dunia ini dan mati sebagai Penebus orang berdosa sekalipun Dia sendiri tidak pernah berdosa. Dengan kematian-Nya di kayu salib itu Yesus menjadikan Diri-Nya sebagai "jalan pendamaian" bagi manusia dengan Bapa surgawi.
3. Pada pelayanan bait suci duniawi itu dilaksanakan oleh orang-orang biasa dari keturunan suku Lewi, di mana mereka harus lebih dulu menyucikan diri dengan persiapan-persiapan yang ketat dan mempersembahkan kurban pendamaian bagi dosa-dosanya dan keluarganya. Yesus Kristus tidak memerlukan ritual seperti itu sebab Dia tidak pernah berdosa, dan dengan demikian membuat-Nya sebagai Imam Besar dan Kurban yang lebih baik dan sempurna.

Selasa, 18 Desember
MENUNTASKAN RENCANA KESELAMATAN (Kedatangan Yesus Kedua Kali)

Pertobatan dan penghapusan dosa. Hari itu rasul Petrus berbicara kepada rakyat yang berkumpul di Serambi Salomo, sebuah bangunan tambahan di Kaabah Yerusalem. "Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan," katanya (Kis. 3:19). Di sini secara tegas dia mengaitkan pertobatan dengan penghapusan dosa, bahkan lebih jauh lagi bagi mereka yang bertobat selain dosanya diampuni juga akan "menerima karunia Roh Kudus" (Kis. 2:38). Dalam konteks ini, dosa yang dimaksudkannya ialah penolakan bangsa itu terhadap Yesus Kristus sebagai Mesias, sebab bertobat berarti "percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus" (Kis. 20:21). Kematian dan kebangkitan Yesus telah membuat banyak orang sadar bahwa orang yang ditolak dan dihinakan mereka itu sesungguhnya adalah Mesias yang dijanjikan sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab para nabi, khususnya yang dinubuatkan oleh Musa (Ul. 18:15, 18). Namun pertobatan bukanlah sekadar rasa penyesalan yang bersifat pasif; bertobat artinya berpaling dari dosa, suatu perubahan cara berpikir dan sikap hidup yang bersifat aktif (Mat. 3:8; Kis. 26:20).

"Sementara Petrus mungkin belum mengetahui 'masa dan waktu' (Kis. 1:7), rujukannya kepada nubuatan Yoel dalam Kisah 2:14-21 menunjukkan penghargaannya akan kegenapan nubuatan tersebut pada zamannya. Di dalam kerangka berpikir kenabiannya tampaknya membuktikan bahwa 'Petrus yang berbicara oleh ilham dan dengan demikian melampaui pemahamannya sendiri yang terbatas, secara ringkas itu merujuk kepada dua peristiwa besar di hari-hari terakhir bumi ini--(1) pencurahan Roh Allah, dan (2) penghapusan dosa terakhir dari orang-orang benar--yang berkaitan dengan peristiwa puncak yang ketiga, yakni kedatangan Kristus kedua kali" [alinea pertama].

Pena inspirasi menulis: "Pekerjaan penghakiman pemeriksaan dan penghapusan dosa harus diselesaikan sebelum kedatangan Tuhan yang kedua kali. Oleh karena orang mati harus dihakimi berdasarkan hal-hal yang tertulis dalam kitab-kitab, tidak mungkin dosa-dosa manusia dihapuskan sampai sesudah penghakiman itu ketika kasus-kasus mereka diselidiki. Tapi rasul Petrus dengan tegas menyatakan bahwa dosa-dosa orang percaya akan dihapuskan bilamana 'Tuhan akan datang kepadamu dan kalian akan mengalami kesegaran rohani. Dan Tuhan akan menyuruh Yesus datang kepadamu.' Kis. 3:19, 20, BIMK. Apabila penghakiman pemeriksaan ditutup, Kristus akan datang dan pahala-Nya akan bersama dengan Dia untuk diberikan kepada setiap orang sesuai dengan perbuatannya" (Ellen G. White, The Great Controversy, hlm. 485).

Sebuah momentum penting. Kedatangan Yesus kedua kali selain untuk menjemput umat tebusan, yaitu orang-orang percaya yang sudah bertobat dan dihapuskan dosa-dosanya, dan dengan demikian merampungkan pekerjaan penebusan yang telah dilaksanakan-Nya, pada waktu yang sama kedatangan-Nya itu juga untuk mengakhiri pertentangan besar yang sudah berlangsung sepanjang sejarah dunia ini. Setelah Kristus (Mikhael) mengalahkan Setan dalam peperangan di surga lalu dia dibuang ke dunia ini (Why. 12:7, 9), pertentangan besar itu bukan lagi memperebutkan takhta pemerintahan surga tapi berubah menjadi peperangan untuk memperebutkan umat manusia. Dengan menipu Adam dan Hawa sehingga nenek moyang pertama manusia itu jatuh ke dalam dosa, secara hukum Setan sudah menguasai seluruh umat manusia. Namun Yesus sudah datang ke dunia ini untuk mati di kayu salib demi membayar tebusan dosa atas nama manusia, sehingga secara hukum pula manusia mendapat kesempatan untuk selamat melalui kasih karunia Allah dan terhindar dari kematian sebagai upah dari dosa (Rm. 6:23). Kedatangan Yesus kedua kali akan menjadi sebuah momentum penting untuk menuntaskan dua hal, yaitu pekerjaan penebusan dan pertentangan besar itu.

"Kedatangan Kristus yang kedua akan menandai tamatnya pertentangan besar, sejauh menyangkut nasib manusia yang fana. Setan yang mengetahui bahwa akhir pertentangan itu sudah di depan mata, berusaha melalui penipuan untuk menyesatkan sebanyak mungkin orang...Terhadap penipuan ini kita sudah diamarkan bahwa kedatangan Kristus akan berupa peristiwa harfiah, pribadi, dan kasat mata yang akan berdampak pada seluruh dunia, menyudahi apa yang kita ketahui--dosa, penderitaan, kepiluan, kekecewaan, dan kematian" [alinea ketiga: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].

Kedatangan Yesus yang pertama ke dunia ini--di mana Dia sudah lahir, mati, bangkit, dan diangkat kembali ke surga--adalah fakta sejarah, terlepas apakah manusia mau menerimanya atau tidak. Seperti kata Aldous Huxley (1894-1963), penulis Inggris yang terkenal dengan karyanya Brave New World, "Fakta tidak akan sirna hanya karena kehadirannya diabaikan." Tetapi semua yang Yesus pernah alami di atas bumi tersebut sudah menjadi sejarah, sedangkan kedatangan-Nya yang kedua kali itu masih sedang dinantikan. Jadi, sementara dunia saat ini sedang bersiap merayakan kelahiran Kristus dengan segala kemeriahannya, saya lebih baik memusatkan perhatian pada kedatangan-Nya yang kedua kali. Sebab kedatangan-Nya yang pertama, beserta segala pelayanan yang telah dilakukan-Nya bagi manusia di dunia ini, semua itu akan mubazir dan sia-sia kalau tanpa kedatangan-Nya yang kedua untuk membangkitkan dan menyelamatkan orang-orang saleh.

Apa yang kita pelajari tentang peristiwa-peristiwa menjelang kedatangan Yesus kedua kali?
1. Yesus akan datang kembali ke dunia ini setelah pelayanan keimamatan-Nya di bait suci surgawi selesai. Saat ini pemeriksaan penghakiman tengah berlangsung, memeriksa kasus-kasus semua orang percaya sepanjang sejarah untuk menentukan vonis, selamat atau binasa. Selama proses penghakiman ini masih berjalan, kesempatan untuk bertobat masih terbuka. Masalahnya, kita tidak tahu apakah kasus kita sudah disidangkan atau belum.
2. Pertobatan menjadi isu paling penting dan kritis pada masa penghakiman pemeriksaan, yang menurut pemahaman doktrin kita telah dimulai sejak tahun 1844 ketika Yesus bukan datang ke dunia ini melainkan memasuki bilik yang Maha Suci untuk berperan sebagai "Pengacara" umat-Nya, menjadi Pengantara bagi orang-orang yang bertobat dan setia kepada-Nya.
3. Bilamana penghakiman pemeriksaan itu sudah selesai, barulah Yesus akan datang untuk kedua kali ke dunia. Kedatangan-Nya itu akan menuntaskan pekerjaan penebusan yang sudah dilaksanakan sebelumnya dalam rangka rencana penebusan Allah, dan dengan demikian mengakhiri pertentangan besar antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kepalsuan, yang telah menyengsarakan banyak orang.

Rabu, 19 Desember
KEWAJIBAN SELAMA MENUNGGU (Menantikan Kedatangan-Nya)

"Anak-anak siang." Rasul Paulus menasihati jemaat di Tesalonika agar sementara menantikan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali mereka harus tetap waspada dan tidak tertidur atau lengah. Tentu saja nasihat ini relevan bagi semua orang Kristen sepanjang zaman di mana saja, tetapi terutama bagi kita yang hidup di penghujung zaman akhir ini. "Karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar" (1Tes. 5:5-6). Tentu saja nasihat ini menyangkut perilaku kehidupan sehari-hari, bahwa sebagai "anak-anak terang dan anak-anak siang" umat Tuhan harus menjaga kelakuan serta cara hidup yang pantas sesuai dengan jatidiri mereka sebagai anak-anak Tuhan. Setiap orang Kristen yang mengaku sedang menantikan kedatangan Tuhan kedua kali harus memelihara hidup mereka senantiasa dalam keselarasan dengan kehendak Kristus yang bisa sewaktu-waktu datang "seperti pencuri pada malam" (ay. 2).

"Begitu banyak yang terdapat dalam ayat-ayat itu, tetapi ada satu hal yang mencolok sangat jelas, dan itu adalah pengharapan yang harus dimiliki oleh orang-orang Kristen yang sedang menantikan kedatangan Kristus. Tentu saja kita harus waspada dan mawas diri supaya hari itu tidak menimpa kita seperti pencuri pada malam. Tapi kita juga harus penuh iman dan kasih dan pengharapan; karena apakah kita 'terjaga atau tidur' (artinya, apakah kita mati sebelum Dia kembali atau tetap hidup bila Ia datang), kita memiliki janji hidup kekal bersama-Nya" [alinea pertama].

Tanda-tanda zaman. Seringkali bilamana kita berbicara tentang tanda-tanda kedatangan Yesus kedua kali pikiran kita langsung tertuju pada bencana alam, peperangan, dan kejahatan yang kejadiannya terus meningkat dari waktu ke waktu. Bukankah semua hal itu memang disebutkan dalam nubuatan Yesus perihal hari-hari menjelang kedatangan-Nya dan sebagai tanda kesudahan dunia? (Baca Matius 24). Semua tanda-tanda akhir zaman itu benar, sudah lama terjadi dan masih akan terus terjadi bahkan semakin menghebat. Sebagian orang lagi menghabiskan waktu dan perhatian yang besar dalam mencermati serta menafsirkan gerak-gerik "binatang dan patung binatang" itu. (Wahyu 13-16). Tentu saja semua itu baik dan benar karena memang diamarkan dalam Alkitab. Tetapi memelihara kewaspadaan dan tetap siuman dalam menantikan kedatangan Yesus kedua kali bukan hanya mengamat-amati berbagai tanda zaman itu, melainkan terutama juga menyelidiki kehidupan kita sendiri apakah kita dalam keadaan siap menyambut kedatangan-Nya atau tidak. Selain itu, menantikan kedatangan Tuhan adalah juga mewaspadai berbagai ajaran sesat yang sudah dinubuatkan akan kian merebak menjelang hari kedatangan Yesus kedua kali (Mat. 24:24).

"Prediksi tentang akhir zaman tidak diberikan untuk memuaskan rasa ingin tahu umat percaya melainkan untuk mendorong mereka agar terus berjaga-jaga (Mat. 24:32-44). Sementara kita menantikan Kedatangan yang Kedua, kita perlu menjaga mata kita tetap terbuka, kita harus mengetahui apa yang Firman Allah ajarkan mengenai peristiwa-peristiwa akhir zaman; terutama hal ini penting oleh sebab ada begitu banyak pandangan-pandangan palsu di dalam Kekristenan itu sendiri perihal tanda-tanda zaman" [alinea terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Orang-orang yang sedang menunggu dan menantikan kemunculan Kristus yang sudah dekat itu tidak akan bermalas-malas, tetapi rajin di dalam urusan pekerjaan. Tugas mereka tidak akan diselesaikan secara ceroboh dan tidak jujur, melainkan dengan kesetiaan, ketangkasan, dan ketelitian. Mereka yang membanggakan diri bahwa dengan kurangnya perhatian serta ketidakpedulian terhadap hal-hal kehidupan yang sekarang merupakan bukti dari kerohanian mereka dan pemisahan diri mereka dari dunia ini, berada di bawah suatu penipuan besar. Kejujuran, kesetiaan, dan integritas mereka diuji dan dibuktikan di dalam perkara-perkara duniawi. Kalau mereka setia dalam hal yang terkecil maka mereka akan setia dalam hal yang besar" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 4, hlm. 309).

Apa yang kita pelajari tentang kewajiban kita sementara menantikan kedatangan Kristus kedua kali?
1. Umat Tuhan yang sejati tidak menanti kedatangan Yesus dalam keadaan terlena oleh kehidupan duniawi, melainkan selalu waspada dan siuman (mawas diri). Ini ditunjukkan dalam cara hidup kita sehari-hari, dan juga dalam hal perhatian yang kita berikan terhadap tanda-tanda zaman. Sebagai "anak-anak terang dan anak-anak siang" kita harus hidup dalam kehati-hatian.
2. Kedatangan Yesus kedua kali disebutkan "seperti pencuri pada malam" yang berarti tidak disangka-sangka. Tetapi banyak orang yang mengabaikan pernyataan ini dengan berusaha menghitung-hitung untuk menentukan waktu kedatangan-Nya, termasuk dengan mereka-reka setiap gerakan "binatang dan patungnya" itu.
3. Tanda-tanda kedatangan Tuhan yang sudah dekat seharusnya memacu setiap orang percaya untuk menuntaskan kewajiban-kewajibannya, baik itu tugas yang bersifat penginjilan maupun pekerjaan sehari-hari. Umat Tuhan sejati tidak akan mengabaikan tanggungjawabnya dalam perkara duniawi selagi menantikan kedatangan Tuhan.

Kamis, 20 Desember
UMAT ALLAH DIPULIHKAN (Kematian dan Kebangkitan)

Orang saleh dibangkitkan. Orang-orang Kristen di Tesalonika sempat galau ketika saudara-saudara seiman mereka satu demi satu meninggal dunia sementara Yesus belum juga datang. Apalagi ada guru-guru palsu yang menyusup dan menyebarkan ajaran sesat seolah-olah orang-orang yang sudah mati itu akan ditinggalkan. (Lihat pelajaran triwulan lalu.) Maka rasul Paulus menasihati mereka: "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal" (1Tes. 4:13-15; huruf miring ditambahkan).

Kata Grika yang diterjemahkan dengan "meninggal" dalam ayat 13 adalah κοιμάω, koimaō,yang artinya tidur. Orang Kristen yang mula-mula biasa menyebut saudara-saudara seiman yang meninggal dunia itu dengan κοιμωμένων, koimōmenōn, yang berarti telah jatuh tertidur. Dari kata ini kemudian muncul istilah cemetery yang berarti "tempat [orang yang] tidur" (sleeping places). Tetapi dalam ayat 14, pada anak kalimat "Yesus telah mati dan telah bangkit," kata Grika yang digunakan dan diterjemahkan dengan "mati" di sini adalah ἀποθνῄσκω, apothnēskō, yaitumati dalam arti kata yang sebenarnya. Jadi, ketika menulis tentang orang-orang percaya yang meninggal dunia itu rasul Paulus menggunakan istilah "tidur" sebagai penghalusan kata (eufemisme), tetapi untuk kematian Yesus dia menggunakan kata "mati" tanpa penghalusan. Dalam pemandangan sang rasul, kematian manusia--termasuk orang percaya--itu bukan sesuatu yang luar biasa, melainkan sebagai konsekuensi logis atau ganjaran dari dosa (Rm. 6:23); kematian Yesus Kristus yang tidak pernah berdosa itu adalah hal yang istimewa dan dahsyat mengingat latar belakang dari kematian itu dan siapa Dia sebenarnya.

"Dalam Perjanjian Baru, salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kedatangan Kristus kedua kali ialah kebangkitan orang-orang yang mati dalam percaya kepada-Nya. Bahkan, sejauh menyangkut kebanyakan umat percaya, itulah bagian paling penting dari Kedatangan yang Kedua sebab kebanyakan dari para pengikut Kristus akan sudah mati ketika Dia datang kembali" [alinea pertama].

Orang saleh dipulihkan. Umat tebusan atau orang-orang saleh yang dibangkitkan pada kedatangan Yesus kedua kali, maupun mereka yang masih hidup pada waktu itu, semuanya secara serentak akan dipulihkan kepada keadaan seperti Adam dan Hawa sebelum berdosa. "Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati" (1Kor. 15:51-53; huruf miring ditambahkan).

Sekali lagi dalam ayat 51 di atas Paulus menggunakan kata κοιμάω, koimaō, yaitu tidur, untuk orang-orang percaya yang sudah mati. Sedangkan kata asli (Grika) yang diterjemahkan dengandiubah di sini adalah ἀλλάσσω, allassō, yaitu menjelma atau berubah bentuk (transform). Sedangkan kata yang diterjemahkan dengan "tidak dapat binasa" pada ayat 53 adalah ἀφθαρσία, aphtharsia, yang berarti kekal dan juga murni; sementara kata yang diterjemahkan dengan "tidak dapat mati" adalah ἀθανασία, athanasia, yang artinya abadi selama-lamanya. Ketika Allah menciptakan manusia keadaan asli mereka adalah seperti ini, tidak dapat binasa dan tidak dapat mati. Bahwa kemudian manusia bisa mati dan lenyap binasa, ini menunjukkan kepada kita alangkah hebatnya akibat dari dosa itu. Bukan karena kehebatan kuasa Setan sehingga dapat membuat manusia ciptaan Allah yang sebenarnya tidak dapat binasa itu merosot kepada keadaan yang dapat binasa, melainkan karena dahsyatnya kuasa hukum dan hukuman Allah terhadap dosa. Tapi kita bersyukur bahwa akibat-akibat yang dahsyat dari dosa itu telah ditanggungkan kepada Yesus Kristus, sehingga kita beroleh kesempatan untuk dipulihkan kepada kondisi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

"Kunci kepada kekekalan bukanlah penelitian ilmiah yang lebih hebat. Kuasa kematian sudah dipatahkan melalui kematian dan kebangkitan Kristus sendiri (Rm. 6:9); berdasarkan pada prestasi itu, Ia sanggup untuk mengaruniakan kekekalan kepada mereka yang terhubung dengan kematian dan kebangkitan-Nya melalui baptisan (Rm. 6:23). Juga, Alkitab memperjelas bahwa karunia kekekalan itu tidak diberikan kepada orang percaya pada saat kematian tetapi bilamana Yesus datang kedua kali, pada waktu 'bunyi nafiri yang terakhir' (1Kor. 15:51-54)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kematian dan kebangkitan umat Allah?
1. Ketika Yesus datang kedua kali semua orang mati dibangkitkan, baik orang jahat maupun orang saleh, sebab "setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia" (Why. 1:7). Bedanya, orang-orang jahat dibangkitkan hanya untuk menyaksikan kemuliaan kedatangan Yesus lalu mati tertimpa cahaya kemuliaan-Nya, sedangkan orang saleh dibangkitkan untuk diubahkan.
2. Rasul Paulus menyebut kematian orang-orang saleh itu adalah "tidur." Jadi, walaupun sebagai manusia biasa kita akan menangisi kekasih-kekasih kita yang meninggal dunia, namun sebagai umat Kristen yang percaya adanya kebangkitan kita jangan "berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan" (1Tes. 4:13).
3. Pada hari kebangkitan nanti bukan saja umat Tuhan yang sudah mati akan kembali hidup, tetapi bersama-sama dengan orang saleh yang masih hidup saat Yesus datang kedua kali semuanya akan diubahkan kepada keadaan asli seperti ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa. Unsur-unsur kefanaan dari tubuh kita akan digantikan dengan unsur-unsur kebakaan.

Jumat, 21 Desember
PENUTUP

Rencana keselamatan dirampungkan. Ketika Yesus hendak diangkat ke surga, Dia menghibur murid-murid-Nya dengan janji bahwa Dia pergi untuk menyediakan tempat bagi mereka dan akan datang kembali untuk menjemput mereka "supaya di mana Aku berada, di situ juga kalian berada" (Yoh. 14:1-3, BIMK). Tetapi kepergian Yesus ke surga sekitar dua ribu tahun silam itu bukan sekadar untuk menyediakan tempat bagi murid-murid dan semua pengikut-Nya, melainkan juga untuk merampungkan pekerjaan yang telah dimulaikan-Nya di atas bumi ini. Untuk menyediakan tempat bagi umat-Nya di surga tidak memerlukan waktu sampai ribuan tahun lamanya; menyediakan satu umat untuk menempati tempat-tempat di surga itu, melalui pelayanan pengantaraan-Nya di bait suci surgawi, itulah yang membutuhkan banyak waktu dan perhatian--mungkin juga dengan banyak rasa haru.

Tanpa pelayanan pengantaraan itu, anda dan saya tidak mempunyai Pembela yang akan membela kasus kita di hadapan Bapa dan malaikat-malaikat surga, dan keadaan tersebut dapat berakibat hasil yang negatif bagi kita. "Pengantaraan Kristus bagi manusia di dalam bait suci di atas sana sama pentingnya bagi rencana keselamatan seperti terhadap kematian-Nya di atas salib. Oleh kematian-Nya Dia telah memulai pekerjaan itu, yang setelah kebangkitan-Nya Ia diangkat untuk merampungkannya di surga" [alinea pertama: dua kalimat pertama].

Adalah penting untuk selalu menantikan kedatangan Yesus kedua kali, tetapi lebih penting lagi jika sambil menantikan Hari Maranatha anda dan saya menunjukkan penghargaan terhadap pelayanan pengantaraan Yesus di surga itu melalui pertobatan yang sungguh serta perubahan hidup yang tulus menurut kepada kehendak Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya. Dengan berbuat demikian, kita turut bekerjasama dengan Kristus untuk membuat tugas pengantaraan-Nya menjadi lebih lancar dan mulus.

"Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini" (1Tes. 4:16-18).

(Oleh Loddy Lintong/California, 19 Desember 2012)

Minggu, 16 Desember 2012

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "HIDUP SEBAGAI ORANG KRISTEN SEJATI"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "HIDUP SEBAGAI ORANG KRISTEN SEJATI"

oleh Loddy Lintong pada 13 Desember 2012 pukul 14:59 ·


PELAJARAN KE-XI; 15 Desember 2012
"KEHIDUPAN KRISTIANI"


PRAWACANA:
Dua orang pasien pria separuh baya dirawat di sebuah rumahsakit dalam satu kamar, dan tidak begitu lama mereka berdua langsung menjadi akrab. Karena punggungnya mengalami cedera sangat parah akibat kecelakaan, salah seorang pasien hanya bisa terbaring sepanjang waktu di atas ranjangnya yang ditempatkan dekat pintu masuk. Leher dan sekujur punggungnya dipasangi alat untuk mencegah dia menggerakkannya. Pria yang satu lagi mengidap penyakit kronis dan ranjangnya ditempatkan dekat jendela, dan pada sore hari selama satu jam tempat tidurnya akan dinaikkan pada bagian kepalanya supaya dia bisa duduk tegak untuk membantu mengeluarkan cairan dari paru-paru. Secara kebetulan kedua pria itu bernasib sama, hidup sendirian tanpa sanak keluarga di kota itu. Salah seorang adalah duda tanpa anak, yang lain tidak pernah menikah karena sejak muda menderita penyakit menahun dan sering harus dirawat berminggu-minggu di rumahsakit. Keduanya suka berbagi pengalaman masa remaja, mengenai keluarga masing-masing, dan tentang impian-impian mereka. Sesekali pasien yang mengalami kecelakaan itu mengutarakan kehampaan hidupnya, serta kekhawatiran bakal mengalami cacat seumur hidup dalam keadaan sebatang kara dan merasa lebih baik kalau dia mati saja.

Setiap sore, setelah perawat yang datang menegakkan tempat tidur itu berlalu, pasien yang hanya bisa terbaring di tempat tidur akan meminta temannya untuk mencerikan kepadanya pemandangan yang dia saksikan lewat jendela di dekat tempat tidurnya itu. Mula-mula temannya itu ragu memenuhi permintaannya, selain karena untuk berbicara saja akan menguras cukup banyak tenaga, dia juga sangsi apakah hal tersebut ada gunanya bagi temannya itu. Tapi temannya terus memohon, dengan mengatakan bahwa hal itu mungkin akan memberi semangat kepadanya supaya sembuh. Karena kasihan kepada temannya yang selalu mengeluh karena hanya bisa terbaring datar di atas ranjang tanpa boleh banyak bergerak, akhirnya pasien di dekat jendela itu memenuhi permintaannya. Dia memulai dengan bercerita bahwa mereka beruntung karena jendela kamar mereka menghadap langsung ke sebuah taman cukup luas yang bertaburan bunga warna-warni, dengan pohon-pohon cherry yang rindang tumbuh di dekat semua tempat duduk dari batu yang bertebaran di taman itu.

Dia juga bercerita tentang sebuah kolam dalam taman itu di mana kelompok-kelompok itik dan angsa berenang nyaman, sementara anak-anak kecil bermain dengan kapal-kapalan dari kertas di pinggir kolam. Banyak pasangan muda-mudi menikmati suasana sore yang hangat sembari jalan berpegangan tangan. Pasangan-pasangan itu berjalan lambat dengan sangat mesra, sambil kepala si gadis tersandar di bahu pemuda kekasihnya. Sesekali beberapa pemuda itu berhenti sejenak untuk memetik sekuntum bunga lalu menyematkannya di rambut gadis kekasihnya, yang disambut oleh si gadis dengan mendaratkan seberkas kecupan mesra di pipi sang pemuda. Langit senja yang cerah dengan garis-garis awan berwarna jingga ditimpa sinar mentari ikut menambah ceria suasana. Sekawanan burung belibis muncul dari batas kaki langit sebelah timur terbang dalam formasi menyerupai kepala anak panah melintas di atas taman, menampilkan suatu pemandangan yang elok di mata para pengunjung yang mendongakkan kepala mereka ke atas.

Sementara pasien di dekat jendela itu menyampaikan laporan pandangan mata tentang keindahan pemandangan tersebut, temannya di ranjang sebelah mendengarkan sembari menghiasi bibirnya dengan seutas senyum. Matanya dipejamkan untuk membayangkan keelokan taman di luar sana. Pernah suatu sore pasien di dekat jendela itu menerangkan tentang sebuah parade yang melewati jalan di depan pintu masuk taman itu. Meskipun temannya yang terbaring di tempat tidur dekat pintu itu tidak bisa mendengarkan suara genderang dan musik yang biasanya mengiringi sebuah parade, tetapi di dalam benaknya dia bisa menyaksikan dan mendengarkan semuanya. 

Demikianlah rutinitas itu berlangsung selama hampir tiga pekan. Sampai pada suatu pagi, ketika pasien yang hanya bisa terbaring di ranjang sebagaimana biasa menyapa temannya yang tidur dekat jendela itu namun tidak ada sambutan sama sekali. Dengan ekor matanya dia melirik ke arah jendela, matahari sudah naik sehingga di luar terang benderang. Biasanya teman di sebelah itu sudah bangun pada jam seperti ini. Tidak berapa lama perawat masuk dan mengucapkan selamat pagi. Seperti biasa perawat itu langsung menuju ke pasien di dekat jendela siap untuk memandikannya, lalu berusaha membangunkan pria yang tampak masih pulas itu. Tiada reaksi. Perawat tersebut bergegas keluar kamar dan sejurus kemudian kembali bersama seorang dokter. Rupanya pasien di dekat jendela itu telah menghembuskan nafas terakhir sejak tadi malam, beberapa jam sebelum fajar.

Ketika jasad temannya dibawa keluar dari kamar itu, temannya mengiringi dengan isak tertahan. Setelah tempat tidur bekas temannya itu selesai dibersihkan, pria yang tempat tidurnya di dekat pintu itu meminta supaya dia dipindahkan ke dekat jendela. Perawatan yang intensif telah menghasilkan banyak kemajuan pada kondisi tubuhnya, dan dia berharap dapat menyaksikan sendiri pemandangan taman bunga yang ada di luar sana seperti yang setiap sore diceritakan oleh sahabatnya yang kini telah tiada. Pada petang harinya, setelah perawat menaikkan sedikit tempat tidurnya sehingga kepalanya menjadi sejajar dengan jendela, apa yang disaksikannya lewat jendela hanyalah tembok dari bangunan lain dalam kompleks rumahsakit itu. Dengan nada penasaran dia bertanya kepada perawat itu tentang taman bunga yang setiap hari diceritakan kepadanya oleh temannya, pasien yang baru saja meninggal itu. Dia juga mengatakan bahwa hal yang mendorongnya untuk pindah ke dekat jendela adalah supaya dia dapat menikmati sendiri pemandangan yang indah itu.

Setelah tertegun sejenak, sambil tersenyum sang perawat menjelaskan kepadanya bahwa tidak ada taman seperti itu di lingkungan rumahsakit tersebut. Perawat memberitahukan pula bahwa pasien yang baru meninggal itu buta dan sama sekali tidak dapat melihat tembok di luar jendela itu. "Mungkin dia hanya ingin memberi semangat kepada anda supaya lekas sembuh," ujar perawat itu sebelum berlalu. (Dari sebuah sumber.)


Sabat Petang, 8 Desember
PENDAHULUAN

Membiasakan hidup berbagi. Apa artinya menjadi seorang Kristen? Pertanyaan yang sederhana, tetapi penjelasannya bisa sangat panjang. Tentu saja kita sedang berbicara tentang kehidupan Kristiani sejati, Kekristenan yang berakar di dalam kebenaran pengajaran Kristus yang ditumbuh-kembangkan oleh Roh Kudus di dalam lubuk hati yang terdalam. Kekristenan yang sekadar ditandai dengan ciri-ciri bersifat formalitas dan lahiriah tanpa berasal dari sanubari itu "sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran" (Mat. 23:27). Kristen kosmetik, itu namanya.

Kekristenan sejati ditunjukkan melalui perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh iman (Yak. 2:14), yaitu perbuatan yang dilakukan dengan segenap hati "seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kol. 3:23). Pasien yang mengidap penyakit paru kronis di dalam cerita di atas (Prawacana) itu tidak bermaksud hendak mengelabui teman sekamarnya dengan pemandangan-pemandangan imajiner yang diutarakannya setiap sore. Sebab dia sendiri tidak dapat melihat apa-apa karena buta, dia hanya berbuat itu untuk menghibur temannya yang nyaris putus asa dengan kondisi tubuhnya yang cedera parah. Apa yang dilakukannya ialah menciptakan kebahagiaan dengan cara berbagi khayalan tentang sebuah suasana penuh kebahagiaan yang dia sendiri impikan supaya bisa dinikmati juga oleh teman sekamarnya yang mulai kehilangan semangat hidup.

Kekristenan adalah soal berbagi dengan sesama; berbagi iman dan keselamatan, pengampunan dan kekudusan, kebahagiaan dan sukacita, serta berkat-berkat rohani dan jasmani. Kekristenan adalah soal berbuat kebajikan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan, tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri yang mungkin saja membutuhkan pertolongan dan penghiburan juga.

"Orang Kristen diselamatkan agar menjadi agen Allah demi keselamatan dan kebaikan orang lain di tengah pertentangan besar antara yang baik dan yang jahat. Menjadi 'sangat berpikiran surgawi sehingga anda tidak memiliki kebaikan duniawi,' meskipun ungkapan itu sangat klise namun melambangkan suatu kenyataan yang orang-orang Kristen perlu hindari. Tentu saja surga adalah rumah kita yang utama, tapi sekarang kita masih berada di dunia ini, dan kita perlu mengetahui bagaimana caranya untuk hidup sementara berada di sini" [alinea ketiga].

Minggu, 9 Desember
MELAYANI SESAMA (Penatalayanan)

Jangan lupa daratan. Bangsa Israel sudah siap memasuki tanah perjanjian Kanaan. Mereka sudah berada di perbatasan dan tinggal menyeberang sungai Yordan lalu mereka akan segera mewarisi negeri yang diidam-idamkan itu. Musa, yang telah memimpin perjalanan panjang bangsa besar itu tetapi tidak akan ikut masuk ke sana, mengumpulkan mereka untuk menyampaikan pesan-pesan terakhir. Dengan wanti-wanti Musa berpesan bahwa apabila mereka sudah mendiami negeri subur itu dan diberkati dengan kemakmuran hidup agar jangan menjadi lupa daratan. "Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini...jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan...Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (Ul. 8:11, 14, 17).

Kemakmuran cenderung membuat orang terlena dan lupa segalanya. Lupa diri, lupa orang lain, bahkan lupa Tuhan. Kesuksesan hidup berpotensi membuat seseorang merasa diri hebat, cenderung menyepelekan orang lain, dan mengabaikan kuasa Tuhan. Merasa bahwa prestasi yang dicapainya, dalam hal apa saja, itu semata-mata karena kehebatannya sendiri. Orang kaya condong untuk merasa berhak penuh atas kekayaannya, bersikap mementingkan diri, dan ingin menjalankan aturan-aturannya sendiri terhadap orang lain. Jauh dari pikiran mereka bahwa seisi dunia ini adalah milik Tuhan (Mzm. 24:1), senang dipuji dan tidak peduli dengan kepentingan orang lain (Flp. 2:3, 4), dan hampir mustahil mau berkorban untuk orang lain seperti Kristus (1Yoh. 3:16).

Milik Kristus. Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia adalah milik Allah melalui penciptaan dan penebusan (lihat Pelajaran pekan lalu.) Persoalannya, berapa banyak manusia yang mau menerima kenyataan ini. Bahkan, banyak orang Kristen yang mengakui kepemilikan Kristus atas dirinya itu hanya sebagai "slogan keagamaan" ketimbang sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh dihayati. Atau, seperti seseorang pernah berkata secara berseloroh, "Tubuh dan jiwa saya memang milik Kristus, tetapi harta kekayaan adalah milik saya sebagai suatu berkat. Tuhan itu teramat sangat kaya sehingga tidak membutuhkan harta-benda saya."

"Kristus telah membeli kita demi kemuliaan Allah (Ef. 1:11-14). Adalah ketika kita mengakui baik dalam perkataan maupun perbuatan akan kepemilikan Kristus sepenuhnya atas hidup kita maka kita membawa kemuliaan bagi Allah. Ungkapan yang sempurna tentang kepemilikan Kristus atas hidup kita akan mencakup pelayanan kita terhadap orang-orang lain melalui penggunaan waktu, bakat, kemampuan, dan harta benda milik kita" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Kekayaan dan ego. DEMONSTRASI: Ambillah dua gelas dan masing-masing diisi dengan air hingga setengah. Ke dalam gelas yang satu anda tambahkan sirup berwarna merah sampai penuh lalu dikocok, sedangkan pada gelas yang lain anda masukkan minyak tanah (kerosene) sampai penuh kemudian dikocok. Apa yang terjadi? Gelas pertama akan tampak berisi satu macam cairan berwarna merah; di gelas yang lain akan terlihat berisi dua jenis cairan, bagian atas adalah minyak tanah yang berwarna keruh dan bagian bawah air biasa yang lebih jernih. Berat jenis minyak tanah yang lebih ringan daripada berat jenis air membuat kedua cairan ini tidak dapat larut jadi satu karena minyak tanah akan selalu berada di atas air. MAKNA: Air di kedua gelas itu melambangkan ego (diri) kita, sirup berwarna merah dan minyak tanah melambangkan harta kekayaan yang ditambahkan kepada kita. Bagi orang yang menganggap kekayaan itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya, bila diminta memberikan hartanya sedikit saja akan merasa "sakit hati" oleh sebab egonya ikut terambil, seperti air bercampur sirup itu. Bagi orang yang memisahkan antara dirinya dengan kekayaannya adalah ibarat minyak tanah dengan air, apabila diminta membagikan hartanya dia dapat merelakannya tanpa sesuatu "rasa sakit" di hati sebab egonya tidak ikut terambil, seperti mengambil minyak tanah dari gelas yang kedua.

Seseorang pernah menggolongkan manusia ke dalam empat kelompok yang dikaitkan dengan kemampuan ekonominya: Orang yang miskin selalu bertanya, Besok mau makan apa? Bilamana keadaan ekonominya meningkat lalu menjadi orang yang hidupnya cukup, pertanyaannya berubah menjadi, Besok mau makan di mana? Selanjutnya, apabila peruntungannya bertambah lalu menjadi orang yang cukup kaya, dia akan bertanya, Besok mau makan dengan siapa? Ketika orang itu kemudian semakin makmur sehingga menjadi orang sangat kaya raya, pertanyaannya adalah, Besok mau makan siapa? Demikianlah gambaran dari kebanyakan orang kaya di dunia ini yang gemar menggunakan kekayaannya untuk kepentingan diri sendiri ketimbang untuk kepentingan orang lain.

Apa yang kita pelajari tentang kekayaan dan penatalayanan?
1. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan yang memiliki seluruh alam semesta ini, termasuk bumi dan segala isinya, yaitu manusia berikut kekayaannya. Tuhan memerintahkan agar orang-orang yang kaya menggunakan kekayaannya untuk melayani sesama manusia, sebab kekayaan adalah titipan Allah kepada sebagian orang sebagai penatalayan-penatalayan-Nya.
2. Simaklah perkataan Salomo ini: "Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya" (Ams. 10:22). "Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum ia sendiri akan diberi minum" (Ams. 11:24, 25).
3. Kepemilikan Kristus atas diri kita sebagai orang Kristen bersifat menyeluruh, meliputi semua aspek dalam diri kita beserta segala sesuatu yang berhasil kita kumpulkan di atas dunia ini. Sementara Tuhan mengizinkan anda menikmati berkat-berkat kemakmuran hidup, jadikan diri anda sebagai saluran berkat bagi orang-orang lain yang membutuhkannya.

Senin, 10 Desember
HARTA TUHAN DI TANGAN KITA (Persepuluhan: Sesuatu yang Sangat Kecil)
 
Mengakui kepemilikan Tuhan. Konon, pada zaman dulu, bertemulah tiga orang saudagar di sebuah ladang untuk membahas tentang berapa besar dari keuntungan mereka yang harus dikembalikan kepada Tuhan. Masing-masing membawa sekantong uang logam emas dan perak hasil perniagaan mereka. Setelah berdebat panjang-lebar tanpa menghasilkan kesepakatan, akhirnya mereka memutuskan untuk menyerahkan kepada pendapat masing-masing soal jumlah yang hendak dikembalikan kepada Tuhan. Tidak boleh ada intervensi maupun kritikan. Saudagar yang pertama mengambil sebuah ranting pohon lalu membuat garis lingkaran di atas tanah mengitari tempat di mana dia berdiri. "Saya akan melemparkan semua uang saya ini ke atas, mana yang jatuh di luar lingkaran itu adalah milik Tuhan," katanya. Kantong yang setengah terbuka itu terlontar ke atas, uang-uang logam itu jatuh kembali ke tanah menimbulkan suara berdenting. Betul, ada beberapa uang emas dan perak yang jatuh atau terlempar ke luar lingkaran lalu dimasukkannya ke dalam sebuah kantong kecil. Wajahnya menunjukkan airmuka lega dan rasa puas.

Saudara kedua mencari tanah yang sedikit berbukit, lalu dengan ranting kecil membuat garis lurus horisontal di tanah kering yang gundul dan landai itu. "Saya akan menggelindingkan semua uang logam saya dari atas sini. Uang-uang yang melewati garis ini sampai ke bawah adalah milik saya, yang tertahan di bagian atas dari garis itu adalah milik Tuhan. Bunyi gemerincing mengiringi uang-uang logam emas dan perak itu saat digelindingkan kemudian melewati garis batas yang dibuatnya. Tapi ada beberapa keping uang yang berhenti di atas garis lalu dipungutnya dan dimasukkan ke sebuah kantong yang tersedia. Saudagar kedua itu juga terlihat cukup puas dan senang. Saudara ketiga maju dan berkata, "Saya tidak mau membatas-batasi jumlah yang akan diberikan kepada Tuhan. Semua uang ini akan saya lemparkan tinggi-tinggi ke atas, berapa pun yang Tuhan mau ambil saya persilakan. Apa yang jatuh ke tanah itulah milik saya!"

Mengembalikan persepuluhan dan memberi persembahan adalah perintah Allah yang disertai dengan janji-janji berkat. Pada umumnya umat Kristen percaya akan perintah dan janji itu, tetapi untuk melaksanakannya seringkali masih menjadi pergumulan yang besar bagi sebagian orang, utamanya jika penghasilannya pas-pasan. Tetapi orang-orang dengan penghasilan sampai ratusan juta bahkan milyaran rupiah, mengembalikan persepuluhan kerapkali juga menjadi hal yang memberatkan oleh sebab nilai nominalnya yang terbilang besar. Persepuluhan dan persembahan dituntut dari kita untuk dikembalikan kepada Tuhan, dan dengan memenuhi tuntutan itu kita mengakui kepemilikan Tuhan atas diri kita, hidup kita, dan semua milik kita. Sesungguhnya, ketika mengembalikan persepuluhan itu kita masih belum memberikan apa-apa kepada Tuhan, sebab persepuluhan (10% dari gaji atau penghasilan atau laba usaha) adalah milik Tuhan yang memang harus dikembalikan kepada-Nya. Kita memberi kepada Tuhan melalui persembahan yang besarnya sesuai dengan kerelaan hati kita. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2Kor. 9:7). Persepuluhan kita mungkin sangat kecil dari segi jumlah, tetapi persepuluhan adalah suatu hal yang sangat besar maknanya.

Membalas pemberian Tuhan. Tidak seperti pandangan banyak orang, kehidupan manusia tidak hanya berakhir pada kematian. Setidaknya kita sebagai umat percaya yakin bahwa ada kehidupan di balik kematian, dan hal itu dimungkinkan oleh karena kasih Allah yang telah memberikan Putra-Nya, Yesus Kristus, sehingga memungkinkan adanya kehidupan sesudah kematian (Rm. 5:10; 2Kor. 1:10). Bukan seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang tidak beriman, seolah-olah kelahiran adalah awal perjalanan menuju kematian, sebagai orang-orang yang percaya kepada janji Tuhan kita memiliki pengharapan untuk hidup kekal meskipun harus mengalami kematian dari kehidupan yang fana sekarang ini. Seperti kata rasul Paulus, "Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia" (1Kor. 15:19).

"Demikianlah bakal menjadi nasib dari semua kita di alam semesta yang sangat luas sehingga planet kita, apalagi kehidupan kita secara perorangan, bisa tampak begitu tidak berarti dan bukan apa-apa selain hanya sebuah lelucon kejam yang hampir semua kita dapati hal itu tidak lucu...Berlawanan dari skenario itu, lihatlah apa yang telah diberikan kepada kita di dalam Kristus. Tengoklah apa yang sudah diberikan kepada kita melalui Yesus. Perhatikanlah apa yang rencana keselamatan itu katakan kepada kita tentang nilai diri kita, dan perihal apa yang telah dilakukan bagi kita sehingga kita tidak perlu menemui nasib seperti yang digambarkan di atas"  [alinea kedua dan ketiga].

Jadi, kita mengembalikan persepuluhan dan memberi persembahan bukan saja karena demikianlah perintah Tuhan, tapi lebih dari itu kita melakukannya sebagai ungkapan rasa syukur atas janji hidup kekal yang akan kita peroleh nanti. Bukan berarti bahwa kita bisa beranggapan bahwa kesetiaan dalam membayar persepuluhan dan persembahan dapat menjadi jaminan atas keselamatan kita, tetapi karena terdorong oleh keyakinan akan keselamatan itulah maka kita dengan setia memenuhi perintah Tuhan tentang persepuluhan dan persembahan itu. Selamanya keselamatan kita mendahului setiap perbuatan kita kepada Tuhan. Kita beribadah kepada-Nya, memuji dan melayani Dia, menaati hukum-hukum-Nya, semua itu dilakukan oleh sebab kita sudah dianugerahkan dengan keselamatan melalui iman kita terhadap kematian penebusan Kristus. Tuhan sudah mengaruniakan keselamatan itu lebih dulu kepada kita, baru Dia meminta kita untuk memenuhi perintah-perintah-Nya.

Apa yang kita pelajari tentang persepuluhan dan persembahan untuk Tuhan?
1. Persepuluhan dan persembahan adalah kewajiban setiap umat percaya untuk dikembalikan kepada Tuhan, bukan supaya dengan sistem persepuluhan itu maka gereja-Nya di dunia ini memiliki sumber dana operasional, tetapi karena persepuluhan dan persembahan adalah harta milik Tuhan yang dititipkan di tangan setiap orang percaya.
2. Sistem persepuluhan juga melambangkan sifat kasih dan keadilan Allah. Karena kasih-Nya maka Dia memberikan kepada kita berkat-Nya lebih dulu baru persepuluhan itu dituntut kembali dari kita; karena keadilan-Nya maka nilai persepuluhan ditentukan secara persentase (10%) sesuai dengan besarnya berkat yang Ia karunikan kepada masing-masing orang.
3. Mengembalikan persepuluhan dan memberi persembahan harus dilihat sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih kita atas apa yang Tuhan telah lakukan bagi kita manusia. Persepuluhan dan persembahan bukan semacam "gratifikasi" supaya atau karena sudah diberikan keselamatan, melainkan bukti bahwa kita menaati perintah-Nya.

Selasa, 11 Desember
KEWAJIBAN UNTUK MENGASIHI SESAMA (Tanggungjawab Pribadi)

Uang dan perubahan. Uang mengubah manusia; suatu perubahan lahir-batin yang membuat seseorang menjadi sama sekali berbeda dan asing terhadap lingkungan sebelumnya. Perubahan ini bisa bersifat perorangan maupun secara kolektif pada sekelompok orang. Pada zaman dulu, di kampung kelahiran saya yang memiliki tradisi-budaya "mapalus" (gotong-royong sesama warga sekampung), untuk membuka ladang baru maupun mendirikan rumah baru dilakukan secara bergotong-royong dan bergilir berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan. Pemilik ladang atau rumah hanya menyediakan bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan serta makanan dan minuman untuk warga kampung yang datang menyumbangkan tenaga dan keahlian masing-masing. Sekarang ini, dengan kemampuan ekonomi yang jauh lebih baik yang berperan dalam pergeseran nilai-nilai sosial, orang mendirikan rumah baru cukup memborongkannya kepada tukang-tukang atau memesannya dari perusahaan pengembang (developer). Memang uang membuat orang menjadi lebih independen dan tidak membutuhkan bantuan warga lain, tetapi mereka kehilangan suasana kebersamaan dan keceriaan ketika bekerja sambil bersenda-gurau. Bahkan, kemampuan ekonomi telah menjadi "pagar sosial" yang bahkan menjulang lebih tinggi dari pagar betulan, menjauhkan penghuninya dari para tetangga.

Uang juga dapat menciptakan perilaku anti-sosial dan membuat seseorang pantang untuk bergantung pada orang lain, dan pada waktu yang sama tidak ingin pula jika orang lain bergantung padanya. Bahkan dengan hanya memandangi uang saja dapat mengubah cara berpikir seseorang. Sebuah eksperimen psikologi yang diadakan oleh beberapa psikolog dari Universitas Minnesota di Minneapolis, sebagaimana dilaporkan oleh majalah ScienceNow, telah membagi dua kelompok relawan di mana kelompok pertama dicekoki dengan gambar-gambar mata uang di layar monitor komputer melalui screensaver, dan kelompok kedua diminta terus-menerus memandangi layar monitor bertema ikan. Ketika disodorkan kuisioner yang berisi pertanyaan tentang bagaimana mereka ingin mengisi waktu luang, misalnya, para relawan kelompok pertama lebih memilih mengikuti kursus masak-memasak secara privat ketimbang menikmati suasana makan berempat pada satu meja. Dan ketika diminta menyusun kursi berdua-dua pada sessi mengobrol untuk saling mengenal di antara sesama relawan, mereka yang selama ini selalu menatapi screensaver komputer berisi gambar-gambar berbagai mata uang menaruh kursi mereka lebih berjauhan dibanding para relawan yang menatapi layar bertema ikan. (Sumber--> http://news.sciencemag.org/sciencenow/2006/11/16-03.html).

Ciri altruistik. Ketika salah seorang ahli Taurat mencobai Yesus dengan menanyakan hukum manakah yang terutama dari hukum Taurat (Mat. 22:36), yang dimaksud oleh ahli Taurat itu adalah Sepuluh Perintah (Sepuluh Hukum) Allah. Intisari dari Sepuluh Perintah itu adalah kasih, yaitu kasih kita secara vertikal kepada Allah (hukum ke-1 hingga ke-4) dan kasih secara horisontal terhadap sesama manusia (hukum ke-5 hingga ke-10). Yesus secara tegas dan jitu menjelaskannya dan dengan demikian membungkan kaum Farisi serta ahli-ahli Taurat itu (ay. 37-39), lalu menyimpulkan penjelasan-Nya tentang hukum Allah itu: "Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (ay. 40).

Rasul Paulus menasihati jemaat Filipi, "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga" (Flp. 2:4). Nasihat ini menonjolkan ciri altruistik bagian kedua dari Sepuluh Perintah. Sementara sebagai ciptaan Allah kita wajib memelihara martabat dan nilai diri kita (Mzm. 8:5; 144:3), dan sebagai umat tebusan kita menghargai nilai diri kita oleh karena tebusan yang sangat mahal telah dibayar Tuhan secara lunas (1Kor. 6:20; 7:23; Mzm. 49:8, 9), namun kenyataan-kenyataan itu tidak lantas membuat kita merasa diri lebih berharga dari orang lain.

"Dalam pengertian Kristiani mengasihi diri sendiri bukanlah cinta diri, hal itu bukan berarti menempatkan diri anda sendiri yang pertama sebelum semua orang dan segala sesuatu yang lain. Sebaliknya, mengasihi diri sendiri berarti menyadari nilai diri anda di hadapan Allah, anda berusaha sedapat mungkin untuk mengamalkan kehidupan yang terbaik, mengetahui bahwa hasil dari kehidupan seperti itu akan bermanfaat tidak saja bagi diri anda sendiri (yang adalah baik) tetapi juga, bahkan lebih penting lagi, bagi mereka dengan siapa anda bergaul" [alinea pertama].

Standar yang terbaik. Seseorang pernah berkata, kualitas dari suatu kehidupan tidak diukur oleh berapa banyak yang anda telah kumpulkan selama hidup, melainkan berapa banyak yang sudah anda bagikan. Di hadapan Tuhan, seseorang dianggap telah mengamalkan suatu kehidupan yang terbaik apabila dia sudah dapat berkata seperti rasul Paulus, "Sekarang bukan lagi saya yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam diri saya. Hidup ini yang saya hayati sekarang adalah hidup oleh iman kepada Anak Allah yang mengasihi saya dan yang telah mengurbankan diri-Nya untuk saya" (Gal. 2:20, BIMK). Artinya, nilai kita di hadapan Allah ditentukan oleh seberapa jauh kita telah mengikuti keteladanan Kristus dan menghidupkannya dalam diri kita.

"Jika anda mengasihi diri anda maka anda menginginkan apa yang terbaik untuk diri anda, dan apa yang terbaik bagi diri anda itu adalah suatu kehidupan yang berkomitmen untuk Allah, suatu kehidupan yang memantulkan tabiat dan kasih Allah, suatu kehidupan yang diamalkan bukan untuk diri sendiri tetapi bagi kebaikan orang lain. Cara yang paling pasti untuk menjamin hidup anda menjadi sengsara adalah dengan hidup bagi diri sendiri dan tidak pernah memikirkan kebaikan orang lain" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Janganlah puas dengan pencapaian standar yang rendah. Kita belum menjadi apa yang dapat kita capai, atau apa kehendak Allah yang harus kita capai. Allah telah memberikan kepada kita kesanggupan berpikir, bukan supaya tetap tidak aktif atau supaya disesatkan kepada pengejaran keduniawian yang rendah, tetapi agar kesanggupan-kesanggupan itu bisa dikembangkan untuk yang tertinggi, yang dimurnikan, yang dikuduskan, yang dimuliakan, dan digunakan dalam memajukan kepentingan-kepentingan kerajaan-Nya" (Ellen G. White, Ministry of Healing, hlm. 498).

Apa yang kita pelajari tentang tanggungjawab pribadi terhadap Tuhan dan sesama manusia?
1. Uang dapat mengubah manusia, kepada kebaikan ataupun kejahatan, tergantung pada bagaimana seseorang memandang uang. Pada hakikatnya uang itu bersifat netral, dapat digunakan untuk maksud yang positif atau negatif itu terserah kepada sikap hidup dan kepribadian orang yang memilikinya.
2. Kristus mengajarkan bahwa Sepuluh Perintah (Sepuluh Hukum) itu adalah ungkapan kasih terhadap Allah secara vertikal dan kasih terhadap sesama manusia secara horisontal. Dalam hal kasih horisontal itu harus ditandai dengan ciri altruistik, di mana kita mengasihi "sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:39).
3. Orang Kristen harus hidup dengan tujuan untuk mencapai standar kehidupan rohani yang tertinggi, sehingga kita hidup seolah-olah bukan lagi diri kita sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup dalam diri kita. Orang Kristen tidak selayaknya menikmati kehidupan untuk diri sendiri, melainkan suatu kehidupan yang mengutamakan kepentingan orang lain.

Rabu, 12 Desember
KOMITMEN DAN INTEGRITAS (Perkawinan Kristen)

Satu daging. Penciptaan Hawa, perempuan pertama di bumi ini, agak lebih dramatis ketimbang penciptaan Adam. Tidak seperti Adam yang seluruh tubuhnya terbuat dari "debu tanah" (Kej. 2:7), Hawa diciptakan Allah dengan lebih dulu melakukan tindakan pembedahan untuk "mengambil salah satu rusuk" dari Adam yang sebelumnya dibuat-Nya tertidur "dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah" itu kemudian perempuan pertama tersebut dibuat (ay. 21, 22). Setelah Adam siuman tiba-tiba di hadapannya sudah berdiri sesosok tubuh molek yang amat mempesona sehingga dia langsung jatuh cinta. Tentu Allah menjelaskan kepadanya bagaimana perempuan itu telah dibuat, sehingga Adam langsung berseru: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki" (ay. 24). Selanjutnya, Allah menyatakan pasangan suami-istri pertama itu sebagai "satu daging" (ay. 25).

Prinsip perkawinan menurut Alkitab adalah monogami, antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Kepada orang-orang Farisi yang hendak menjebak-Nya, Yesus menegaskan: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?...Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Mat. 19:4-6; huruf miring ditambahkan).

Sebagian orang hanya menekankan makna ungkapan "satu daging" ini sebagai hubungan badan (hubungan seksual) antara suami dan istri. Tentu saja dalam pengertian sempit ungkapan tersebut merupakan manifestasi dari hubungan fisik, tetapi dalam pengertian yang luas itu juga memiliki dimensi hukum jika dikaitkan dengan Sepuluh Perintah, khususnya hukum ketujuh. Rasul Paulus juga menggunakan ungkapan "satu daging" untuk menjelaskan hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dengan umat-Nya (Gereja). "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat" (Ef. 5:31, 32; huruf miring ditambahkan).

"Menurut Alkitab, perkawinan adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Allah, di mana dua orang dewasa berlainan jenis bersumpah untuk mengikatkan diri dalam hubungan pribadi yang intim dan lestari. Perkawinan alkitabiah ditandai oleh suatu penghargaan kesetaraan antara pria dan wanita, suatu ikatan persatuan yang mendalam di mana tujuan-tujuan dipersatukan dan ada suatu rasa keabadian dan kesetiaan dan kepercayaan. Seperti halnya hubungan dengan Allah, hubungan antara seorang suami dengan seorang istri haruslah dijaga kesuciannya" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Perkawinan sejenis. Hari Sabat (hari ketujuh dalam pekan) dan Perkawinan adalah dua lembaga yang dicanangkan Allah di Taman Eden, dan kedua-duanya telah menjadi sasaran Setan untuk diruntuhkan. Setelah mengelabui manusia untuk mengubah hukum keempat tentang pengudusan Sabat hari ketujuh menjadi Minggu hari yang pertama, sekarang lembaga perkawinan yang seharusnya melibatkan seorang laki-laki dan seorang perempuan semakin mendapat guncangan hebat. Di Amerikan Serikat, sampai dengan bulan November 2012, dari 50 negara bagian sudah 9 (sembilan) yang mensahkan perkawinan sejenis dilakukan di wilayah hukumnya: Connecticut, Iowa, Maine, Maryland, Massachusetts, New Hampshire, New York, Vermont, dan Washington. Negara bagian Rhode Island, walaupun tidak mensahkan perkawinan sejenis diadakan di wilayahnya, tetapi secara hukum mengakui pasangan-pasangan sejenis yang menikah di negara bagian lain yang mensahkannya. Sedangkan California yang pada tahun 2008 sempat melegalkannya, sekarang hanya memberlakukannya secara terbatas. Pengesahan perkawinan sejenis di AS dilakukan dengan beberapa cara berbeda, ada yang melalui pengesahan pengadilan, keputusan politik melalui legislatif (semacam DPRD), dan juga lewat referendum (popular vote). Masih ada 39 negara bagian lain yang menolak perkawinan sejenis, 9 di antaranya melalui undang-undang dan 30 lainnya melalui konstitusi (undang-undang dasar).

Sebenarnya di AS sudah ada upaya untuk mengantisipasi kemungkinan perkawinan sejenis (same sex marriage) melalui apa yang disebut "Pembelaan Undang-undang Perkawinan" (DOMA=Defense of Marriage Act) yang diberlakukan tahun 1996, menyusul kericuhan hukum dalam masalah ini yang terjadi di negara bagian Hawaii tahun 1993 ketika mahkamah tinggi setempat memutuskan bahwa larangan perkawinan sejenis oleh negara bagian tersebut dianggap inkonstitusional. DOMA adalah sebuah upaya hukum untuk mencegah pemerintah federal (pusat) mengakui perkawinan sejenis, dan juga menjadi sebagai payung hukum bagi pemerintah negara bagian untuk menolak perkawinan sejenis. Namun, kini DOMA itu sendiri juga diobok-obok, dan saat ini sedikitnya 8 mahkamah tinggi negara bagian sudah memutuskan bahwa DOMA adalah inkonstitusional. Sebuah pengumpulan pendapat umum yang diadakan tahun 2011 lalu menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Amerika mendukung perkawinan sejenis. Presiden Barack Obama sendiri bulan Mei lalu secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap perkawinan sejenis, dan dengan demikian menjadi presiden AS pertama yang membuat pernyataan seperti itu ketika sedang menjabat.

Bagaimana dengan negara-negara lain? Di Eropa, 8 negara sudah mensahkan perkawinan sejenis, yaitu Belanda, Belgia, Denmark, Eslandia, Norwegia, Portugal, Spanyol dan Swedia. Negara lainnya adalah Kanada, Afrika Selatan, Argentina, dan Uruguay menjadi negara Amerika Latin paling baru ketika mensahkannya awal pekan ini. Beberapa negara lain di dunia, seperti juga beberapa negara bagian di AS, baru pada tahap "mengakui" tetapi belum mengizinkan untuk dilakukan di wilayah hukumnya. Tetapi ini hanya soal waktu saja, dan diperkirakan banyak negara-negara lain di dunia pada akhirnya akan mensahkannya. Ini baru masalah legalisasi perkawinan sejenis (laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan), belum lagi soal poligami (beristri lebih dari satu) dan poliandri (bersuami lebih dari satu). Lalu, bagaimana dengan soal prostitusi? Banyak sekali negara yang sudah melakukan legalisasi, sedangkan yang lain "baru" pada tahap lokalisasi. Kita sampai tak sempat lagi berbicara perihal hubungan seks di luar nikah, extra-marital dan pre-marital. Lembaga perkawinan sungguh sedang menghadapi serangan iblis secara dahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hanya dengan bantuan kuasa Allah kita dapat memelihara komitmen dan integritas dalam perkawinan Kristiani.

Pena inspirasi menulis: "Seperti setiap karunia yang baik dari Allah yang dipercayakan pada pemeliharaan umat manusia, perkawinan telah diselewengkan oleh dosa; tetapi adalah maksud dari injil itu untuk memulihkan kemurnian dan keindahannya...Kasih karunia Kristus, dan hanya ini saja, yang dapat menjadikan lembaga ini menjadi seperti apa yang Allah rencanakan--sebuah saluran berkat dan yang mengangkat harkat kemanusiaan. Dengan demikian keluarga-keluarga di bumi ini, dalam persatuan dan damai dan kasih mereka, bisa mewakili keluarga surgawi" (Ellen G. White, Adventist Home, hlm. 99-100).

Apa yang kita pelajari tentang perkawinan Kristiani?
1. Ungkapan "satu daging" yang disebutkan dalam Alkitab mengenai suami-istri yang menjalin hubungan yang suci dalam lembaga perkawinan adalah gambaran dan sekaligus ide yang Allah ingin untuk diujudkan dalam rumahtangga-rumahtangga manusia di dunia ini. Akibat dosa manusia, perkawinan sekarang ini menjadi bulan-bulanan dari serangan iblis.
2. "Satu daging" digunakan juga untuk melukiskan hubungan yang suci antara Kristus yang adalah sebagai "suami" dengan Gereja (umat-Nya) yang adalah sebagai "istri." Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan suami-istri harus meliputi seluruh aspek: jasmani, rohani, pikirani dan emosi.
3. Lembaga perkawinan--yang bersama Sabat hari ketujuh dilembagakan oleh Allah sendiri di Taman Eden--sedang diserang habis-habisan oleh Setan yang hendak menghancurkannya. Setan dengan segala kelihayan dan kebenciannya telah menipu manusia sehingga telah mengaburkan makna sesungguhnya tentang perkawinan sebagai lembaga yang suci.

Kamis, 13 Desember
MENGAMALKAN KEKRISTENAN (Perilaku Kristiani)

Kewajiban orang Kristen. Sebagaimana telah kita pelajari terdahulu, "Gereja" berpangkal pada kata Grika ekklēsia yang secara harfiah berarti "dipanggil keluar" atau dalam konteks Kekristenan ialah dipanggil keluar"dari dunia." (Lihat Pelajaran Ke-VIII; 24 November 2012). Ketika berdoa kepada Bapa-Nya di surga untuk murid-murid yang ada bersama Dia, Yesus dengan tandas berkata, "Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia" (Yoh. 17:14; huruf miring ditambahkan). Murid-murid itu adalah orang-orang Galilea, sudah jelas mereka lahir dan dibesarkan di dunia ini. Tetapi bilamana mereka menerima panggilan Kristus untuk menjadi pengikut-pengikut-Nya, secara rohani mereka dipersatukan bersama Kristus yang berasal dari surga dan ikut menjadi warga surga. Sebagai pengikut-pengikut dan murid-murid Kristus di zaman moderen ini, secara rohani anda dan saya pun serta-merta memperoleh "naturalisasi" sebagai warganegara surga. Meski secara fisik anda dan saya masih tinggal di dunia ini, tetapi kita dianggap "bukan dari dunia." Semua yang telah bergabung dalam "tubuh Kristus" yang disebut "Gereja" adalah orang-orang yang hidup di dunia namun memiliki kewajiban untuk memperagakan ciri-ciri tabiat yang berbeda dari dunia.

Orang-orang Kristen tidak dipanggil dari dunia untuk memisahkan diri secara fisik lalu membangun satu koloni dan hidup terasing dari dunia. Yesus sendiri berkata di dalam doa-Nya, "Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia" (ay. 18; huruf miring ditambahkan). Kata Grika ἀποστέλλω, apostellō, yang pada ayat ini diterjemahkan dengan mengutus, mengandung arti pokok memerintahkan untuk pergi ke suatu tempat yang ditentukan, yang dalam hal ini adalah ke dunia ini juga. Jadi, orang-orang Kristen yang menerima panggilan untuk menjadi pengikut Kristus sesungguhnya mereka tidak pergi ke mana-mana melainkan tetap tinggal dan hidup di dunia ini, tetapi secara rohani status mereka sudah berubah, bukan lagi warga dunia ini melainkan warga surga. Sebagai warga surga di atas dunia ini maka setiap orang Kristen diwajibkan untuk mengamalkan kehidupan yang berbeda dari dunia dengan memperlihatkan ciri-ciri tabiat ilahi yang suci.

Kewajiban sosial. Pengarang pelajaran SS ini menyebut tiga "kewajiban sosial" yang diemban oleh setiap orang Kristen dalam berinteraksi dengan sesama manusia di muka bumi ini. Pertama, dalam hubungan sebagai majikan dan karyawan. Orang Kristen ada di mana-mana dan terlibat hampir di segala bidang pekerjaan dalam berbagai posisi, sebagai karyawan biasa, sebagai atasan atau pimpinan, bahkan sebagai pemilik sebuah usaha bisnis. Apapun kedudukan anda dan saya, sebagai orang Kristen kita dituntut untuk mempraktikkan prinsip-prinsip alkitabiah sebagai seorang yang jujur dan setia serta saling menghormati. Orang Kristen seyogianya menjadi karyawan terbaik, pimpinan yang terpuji, dan majikan yang dicintai oleh karyawan-karyawannya. Dalam suatu hubungan kerja, sebagai bawahan maupun atasan, jika keadaan membutuhkan maka seorang Kristen tidak hanya terpaku pada ketentuan-ketentuan normatif yang berlaku melainkan juga bersedia melakukan yang lebih baik dari itu. Ironisnya, kalau di dalam lingkungan pekerjaan Tuhan sendiri hubungan kerja dan suasana di tempat kerja terus dilanda ketegangan dan terasa mencekam oleh sebab ada oknum-oknum yang kelakuannya justeru lebih esktrem dari "orang dunia" sekalipun.

Kedua, dalam hubungan sebagai warganegara dengan pemerintah. Walaupun secara rohani kita adalah warganegara surga, tapi Alkitab tidak menafikan kewajiban kita sebagai warga dari suatu negara. Rasul Paulus dengan tegas berkata, "Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah...Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu" (Rm. 13:1, 4). Dengan kata lain, selama kebijakan-kebijakan pemerintah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip alkitabiah, setiap orang Kristen harus menghormatinya. Memang, dalam perjalanan sejarah ada pemerintah-pemerintah yang memerintah rakyatnya dengan kekejaman, bahkan dengan melarang aktivitas peribadatan umat Allah. Yesus Kristus sendiri adalah korban dari suatu rezim pemerintahan yang jahat pada zaman-Nya. Meskipun begitu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Yesus Kristus, setiap pengikut-Nya harus tetap menjaga kesetiaan kepada negara dan pemerintah. Tuhan mempunyai kebijakan-Nya sendiri sesuai dengan hikmat-Nya untuk menangani pemerintah-pemerintah yang jahat, meskipun terkadang Tuhan "membiarkan" umat-Nya dianiaya secara kejam oleh pemerintah mereka sendiri seperti pada "zaman kegelapan" di abad pertengahan.

Ketiga, dalam hubungan sosial dengan sesama manusia. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, dengan rasa bangga rasul Paulus menulis, "Saudara sendirilah surat pujian kami, yang tertulis di dalam hati kami dan yang dapat diketahui dan dibaca oleh setiap orang. Mereka sendiri dapat melihat bahwa Saudara merupakan surat yang ditulis Kristus, yang dikirim melalui kami. Surat itu ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh Allah yang hidup; bukan juga di atas batu tulis, tetapi pada hati manusia" (2Kor. 3:2, 3, BIMK). Hamba Tuhan itu memandang jemaat Korintus sebagai contoh keberhasilannya dalam menginjil dan dalam mengajar orang-orang untuk menjadi pengikut Kristus, dan dia tidak berusaha menutupi kebanggaannya. Tentu saja pujian yang diutarakannya itu mempunyai alasan yang kuat, yakni kesaksian-kesaksian dari penduduk kota Korintus yang memperhatikan perilaku orang-orang Kristen yang terpuji itu. Belakangan kita bisa melihat bahwa perilaku Kristiani yang ditampilkan oleh jemaat di Korintus telah mempengaruhi orang-orang lain untuk bergabung ke dalam Gereja.

Apa yang kita pelajari tentang kewajiban untuk mengamalkan perilaku Kristiani?
1. Gereja adalah wadah perhimpunan orang-orang yang "dipanggil dari dunia" untuk menjadi pengikut Kristus, yaitu mereka yang dikenal sebagai umat Kristen. Keterpanggilan umat Kristen untuk memisahkan diri dari dunia adalah bersifat rohani, namun secara fisik dan sosial mereka tetap hidup dan bergaul dengan masyarakat dunia ini. Dalam pergaulan dengan dunia itulah setiap orang Kristen harus mengamalkan kehidupan Kristiani.
2. Makna "Gereja" adalah "dipanggil dari dunia (ekklēsia) dan kemudian diutus ke dunia (apostellō)." Ketika umat Kristen berhimpun, sebagai satu jemaat atau satu Gereja, mereka berinteraksi di antara sesama dalam satu persekutuan (koinōnia) di mana orang-orang Kristen itu saling berbagi dan saling menguatkan. Dalam pergaulan dengan sesama "saudara seiman" itulah setiap orang Kristen harus mengamalkan "kasih mesra" (Ef. 4:32).
3. Setiap orang Kristen sejati, yang hidup di dalam Kristus dan memiliki Kristus dalam hidupnya, akan berniat dan berusaha untuk menjadi individu yang baik sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam masyarakat: karyawan, atasan, pimpinan, pengusaha, siswa/mahasiswa, guru/dosen, pejabat, dan sebagainya. Pendeknya, setiap orang Kristen harus menjadi warganegara yang baik dan bertanggungjawab.

Jumat, 14 Desember
PENUTUP

Meneladani Kristus. Orang Kristen berarti pengikut Kristus. Istilah ini berasal dari kata Grika Χριστιανός, Christianos, sebuah kata bentukan dari akar kata Χριστός, Christos, berarti "yang diurapi." Kata ini adalah terjemahan dari kata Ibrani מָשִׁיחַ, Mašíaḥ, atau Mesias, yang digunakan dalam Perjanjian Lama. Jadi, umat Kristen adalah orang-orang yang bukan saja hidup menurut ajaran-ajaran Kristus, tetapi juga menjadikan Kristus sebagai teladan kehidupan. Dengan kata lain, kehidupan Kristiani adalah perpaduan antara pengamalan ajaran-ajaran Yesus dan keteladanan hidup Yesus.

Ajaran Yesus yang terbesar adalah "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu...Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-40); dan keteladanan Yesus yang terutama ialah "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat. 20:28). Hanya bilamana kita mengamalkan kasih dan pelayanan maka kita pun menjadi orang-orang "yang diurapi" sama seperti Kristus. Inilah makna sesungguhnya dari menjadi "orang Kristen" itu.

"Perbuatan-perbuatan kedermawanan dan kebajikan telah dirancang oleh Allah untuk memelihara hati anak-anak manusia tetap lembut dan simpatik, serta untuk mendorong diri mereka suatu perhatian dan kasih sayang terhadap satu sama lain untuk menyerupai Tuhan, yang demi kepentingan kita sudah menjadi miskin supaya melalui kemiskinan-Nya kita menjadi kaya" [alinea pertama: kalimat pertama].

Orang-orang Kristen berada di dunia untuk suatu missi, yaitu memperluas kerajaan Allah di bumi ini. Dari zaman ke zaman Tuhan memiliki sekelompok orang yang dipilih-Nya dan diurapi-Nya demi menyebarkan injil keselamatan dan menarik banyak orang untuk percaya dan diselamatkan oleh menjadi warganegara surga. Walaupun berkat dijanjikan dan digenapi dalam kehidupan banyak orang Kristen, namun bukan kemakmuran hidup yang menjadi tujuan orang Kristen sejati, melainkan kerajaan surga. Kerajaan Allah itu "bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran" (Rm. 14:17); karena itu umat Kristen hendaknya lebih mengutamakan mencari "Kerajaan Allah dan kebenarannya" sebab segala yang lain itu akan ditambahkan (Mat. 6:33).

"Kita ditempatkan di dunia ini bukan sekadar untuk merawat diri kita sendiri, tetapi kita dituntut untuk membantu dalam pekerjaan keselamatan yang besar, dan dengan demikian meniru penyangkalan diri, pengorbanan diri, dan kehidupan Kristus yang berguna" [alinea terakhir].

"Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (1Yoh. 4:7, 8).

(Oleh Loddy Lintong/California, 13 Desember 2012)

Minggu, 09 Desember 2012

selamat ulta for wary

selamat ulang tahun yang ke-19 ai, smoga pajang umur dan selalu diberkati,
.
maaf kk nda bisa berikan sesuatu yang baik, atau pun yang berarti buat ai,
smoga hari ulta ini ai akan menjadi yang lebih dewasa, profesional dalam segalah hal,
smoga semakin dekat hidup dengan Tuhan.
musim kan segerah berganti dan kk sdah tau apa jawaban ai buat kk, tap kk ingin dengar sm ai sendiri,
sebelum matahari terbenam tanggal 31 desember berlalu dan seiring dengan bergantinya musim,
tgl 25 kk mau tungu pa ai di tempat janjian, tuk ambil tu surat kk tunggu sampe jam 12 siang klw tida datang kk akan buka tu surat,
masih tuk semunaya
semoga kita akan bisa betemu dengan orang yang ada dimasa depan kita.

Musim bergati
nian lama waktu berputar
tinggalkan ku sendiri berdiri disini
menantikan semua jawabanmu
tuk kegengam spajang hidupku
  
mengapa hati tak bisa merasakan
apa yang sesungguhnya kuberikan
mungkinkah kita akan bisa bersama
untuk selalu bahagia bersama
oh mungkikan hanya sepi yang kurasah
yang menemani sepajang hidupku

menunggu hingga musim kan bergati
menantikan dirimu dihidupku
berharap kita akan bersatu
menjaga semua rasa dihati

mungkikan semua kan abadi
atau mungkin tertinggal perih yang mungkin ku kenang
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 19 WARY
GBU MORE

PELAJARAN KE-10; 8 Desember 2012 "HUKUM DAN INJIL"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "MENEMUKAN ALLAH DALAM HUKUM DAN INJIL"

oleh Loddy Lintong pada 7 Desember 2012 pukul 9:28 ·

(ILUSTRASI: Musa saat menerima loh batu berisi Sepuluh Perintah yang ditulis oleh jari Allah sendiri, dalam imajinasi pelukis)

PELAJARAN KE-10; 8 Desember 2012
"HUKUM DAN INJIL"


Sabat Petang, 1 Desember
PENDAHULUAN

Dua pandangan ekstrem. Hukum dan Injil. Sejauh menyangkut keselamatan manusia, terdapat dua pendekatan ekstrem: melalui penurutan hukum (legalisme) dan melalui iman (sola fide). Bilamana kita berbicara tentang "hukum" di sini, yang dimaksud adalah hukum moral (moral law) atau yang lebih dikenal sebagai Sepuluh Perintah. Hukum moral (Kel. 20:3-17) ini meskipun baru diturunkan kepada bangsa Israel melalui Musa di bukit Sinai, namun hukum yang sifatnya universal dan abadi tersebut sebenarnya sudah ada jauh sebelum bangsa Israel eksis. Menurut sebuah sumber, Abraham (generasi ke-20 dari Adam dan leluhur pertama bangsa Israel) diperkirakan telah menerima tawaran untuk mengadakan perjanjian dengan Allah pada tahun 1743 SM, tapi baru meninggalkan Haran menuju ke Kanaan dalam tahun 1741 SM sebagai sambutan atas panggilan Allah (Kej. 12:1-5). Musa menerima hukum moral itu dari Allah--bersamaan dengan hukum upacara (spiritual law) dan hukum sipil (social law) yang bersifat eksklusif untuk keturunan Abraham--di gunung Sinai sekitar tahun 1313 SM.

Salah satu dari lima keyakinan dasar yang dicetuskan oleh gerakan Reformasi Protestan adalah bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman saja (sola fide). "Sola" (solae) adalah kata Latin yang berarti "hanya" atau "saja." Empat sola lainnya adalah sola scriptura ("oleh Alkitab saja"), sola gratia ("oleh kasih karunia saja"), solus Christus atau solo Christo ("Kristus saja" atau "melalui Kristus saja"), dan soli Deo gloria ("kemuliaan bagi Tuhan saja"). Tetapi paham bahwa manusia yang berdosa dibenarkan "hanya oleh iman saja" tersebut bertentangan dengan Alkitab. Rasul Yakobus dengan tegas berkata, "Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna...Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman...Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati" (Yak. 2:22, 24, 26; huruf miring ditambahkan). "Perbuatan-perbuatan" di sini berkonotasi sebagai perilaku yang berkaitan dengan hukum Allah.

"Mereka yang memilih untuk melayani Tuhan melakukannya karena kasih dan penghargaan atas apa yang telah dilakukan bagi mereka melalui Kristus. Setelah dikuburkan bersama Kristus ke dalam kematian-Nya melalui baptisan, mereka tahu bahwa tubuh dosa ini telah dihancurkan sehingga mereka tidak perlu lagi melayani mantan tuan mereka, yaitu dosa, tetapi sekarang telah diberi kebebasan untuk menaati Allah dan hukum-Nya...Jika dipahami dengan benar, hukum Allah itu menolong kita untuk menyatakan apa yang kasih karunia Allah itu tawarkan kepada kita di dalam Kristus" [alinea pertama: dua kalimat terakhir; alinea kedua: kalimat terakhir].

Hukum dan Injil adalah dua komponen penting dalam rencana keselamatan. Hukum tidak menyelamatkan tetapi dapat menyadarkan kita akan keberdosaan kita yang pada gilirannya mengarahkan kita kepada Injil, yaitu kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Hukum dan Injil sama-sama menyingkapkan kepada kita seperti apakah Allah itu, sebab dari Hukum itu kita mengetahui sifat-Nya yang adil, dan dari Injil kita mengenal sifat-Nya yang penuh kasih. Keselamatan dapat kita peroleh melalui iman, bukan saja percaya kepada Injil yang dikaruniakan-Nya itu tetapi juga percaya pada Hukum yang diberikan-Nya.

Minggu, 2 Desember
ALLAH YANG ADIL (Hukum Allah dan Peraturan-peraturan)

Hukum lisan dan tulisan. Bangsa Yahudi mempunyai kitab suci yang terdiri atasTorah danTanakh. "Torah" adalah 5 kitab Musa yang secara berurut terdiri atas Bereshit="Pada mulanya" (Kejadian), Shemot="Nama-nama" (Keluaran), Vayikrah="Dia memanggil" (Imamat),Bamidbar="Di padang gurun" (Bilangan), dan Devarim="Perkataan" (Ulangan). Versi bahasa Grika dari Perjanjian Lama, Septuagint, menamai kelima kitab ini Pentateuch, yang dalam Perjanjian Baru disebut sebagai νόμος, nómos (hukum). Dalam kumpulan tulisan rabi-rabi Yahudi,Torah, תּוֹרָה, terbagi ke dalam dua pengertian, yaitu yang disebut Torah Shebe'al Peh (Torah yang diucapkan) dan Torah Shebichtav (Torah yang tertulis). "Torah yang diucapkan" adalah hukum-hukum yang diajarkan secara lisan turun-temurun dari generasi ke generasi, biasanya dilakukan oleh ayah kepada anak-anaknya (Ul. 6:7; 11:19), yang dikenal juga dengan istilah Talmud. Sedangkan "Torah yang tertulis" adalah hukum-hukum yang sama tetapi telah dituangkan ke dalam tulisan secara cermat pada peralihan zaman Sebelum Masehi dan Sesudah Masehi, dan disebut Mishnah. Dalam bahasa Arab, "hukum Musa" ini disebut توراة, Tawrat, kata yang kemudian diserap ke dalam Alkitab bahasa Indonesia menjadi Taurat.

"Tanakh" adalah kitab-kitab yang kita kenal dalam Perjanjian Lama, minus lima kitab Musa tersebut. "Tanakh" terdiri atas dua bagian utama, yaitu Nevi'im (para nabi) dan Kethuvim (kumpulan tulisan). Nevi'im terdiri atas kitab-kitab Yehoshua (Yosua), Shoftim (Hakim-hakim), Shmuel (1&2 Samuel), Melakhim (1&2 Raja-raja), Yeshayah (Yesaya), Yirmiah (Yeremia),Yechezkel (Yehezkiel), dan satu kitab yang merupakan kumpulan 12 kitab nabi-nabi lainnya (Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi). Kethuvim terdiri dari 11 kitab yang terbagi atas cerita (Rut, Ester, Ayub, Daniel), Tehillim (Mazmur), Mishlei (Amsal), Shir Ha-Shirim (Kidung Agung), Eikhah (Ratapan), Qoheleth (nama penulis kitab Pengkhotbah), gabungan kitab Ezra & Nehemiah, dan Divrei Ha-Yamin (1&2 Tawarikh).

"Sepuluh Perintah" sebagai "hukum moral" merupakan pantulan dari dua sifat Allah yang tak terpisahkan, yaitu adil dan kasih. Melalui hukum-hukum itu Allah menyatakan kepada manusia standar kehidupan yang Ia kehendaki agar diamalkan oleh manusia. Alkitab mencatat bahwa Allah "mengucapkan segala firman ini" (Kel. 20:1), dan kalau apa yang "diucapkan mulut meluap dari hati" (Mat. 12:34) maka hukum yang Ia firmankan itu adalah berasal dari hati-Nya. Pemazmur menyaksikan bahwa hukum-hukum Allah itu "baik" (Mzm. 119:39), "adil" (ay. 62, 75, 106), "benar" (ay. 137), "abadi" (ay. 160), dan juga bersifat "menolong" (ay. 175).

"Oleh karena Alkitab itu adalah catatan dari hubungan Allah dengan manusia, maka hukum di dalam Alkitab pada umumnya merujuk kepada semua petunjuk-petunjuk Allah kepada umat-Nya. Sebab Allah sendiri itu baik dan adil, serta menuntun dan mengajarkan umat-Nya dalam kebaikan dan keadilan, maka sudah sepatutnya kita menerima bahwa hukum-hukum-Nya menyatakan kebaikan dan keadilan-Nya. Atau, seperti yang kita suka katakan, hukum itu adalah pantulan dari tabiat Allah" [alinea pertama: tiga kalimat terakhir].

Kesempurnaan hukum Allah. Dalam salah satu kidungnya, raja Daud memuji hukum Allah itu seperti ini: "Hukum TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa. Perintah TUHAN dapat dipercaya, memberi hikmat kepada orang sederhana. Peraturan TUHAN itu tepat, menyenangkan hati. Ketetapan TUHAN itu murni, membuat orang mengerti...Hukum TUHAN itu benar dan adil semuanya. Hukum TUHAN lebih berharga dari emas murni, lebih manis dari madu asli. Hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu; upah besar tersedia bagi orang yang menaatinya" (Mzm. 19:8-12, BIMK). Bahkan, lebih jauh lagi dia bersaksi: "Sekiranya hukum-Mu bukan sumber kegembiraanku, pasti aku sudah mati dalam sengsaraku. Selamanya aku takkan mengabaikan perintah-Mu, sebab dengan itu Engkau menghidupkan aku...Kulihat bahwa yang sempurna pun terbatas, hanya perintah-Mulah yang sempurna. Betapa kucintai hukum-Mu; aku merenungkannya sepanjang hari. Aku selalu ingat kepada perintah-Mu, yang membuat aku lebih bijaksana dari musuh-musuhku. Pengertianku melebihi pengertian guru-guruku, karena aku merenungkan perintah-perintah-Mu" (Mzm. 119:92-93, 96-99, BIMK).

"Adalah melalui Alkitab maka Allah dengan jelas telah menyatakan Diri-Nya kepada umat manusia. Sementara seseorang membaca seluruh ayat-ayat kitab suci, maka dia akan sampai kepada sejumlah besar bahan-bahan yang pada dasarnya merupakan petunjuk-petunjuk atau nasihat-nasihat yang meliputi banyak aspek kehidupan manusia: moralitas, etika, kesehatan, seksualitas, makanan, pekerjaan, dan sebagainya" [alinea kedua: dua kalimat pertama].

Sebagaimana pernah kita pelajari terdahulu bahwa dalam Torah yang diturunkan kepada manusia melalui nabi Musa di bukit Sinai, selain "Sepuluh Perintah" sebagai "hukum moral" (moral law) yang bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia, ada pula dua jenis hukum lainnya, yaitu "hukum upacara keagamaan" (ceremonial law) dan "hukum sipil" (social law) yang bersifat eksklusif dan berlaku khusus bagi bangsa Israel sebagai "umat perjanjian" antara Allah dan Abraham. Tetapi dalam khazanah hukum menurut tradisi agama Yahudi--Yudaisme, terdapat 613 hukum (Ibr.= mitzvot) yang tercatat dalam apa yang kita sebut Perjanjian Lama, dengan kedudukan masing-masing dianggap setara, dan secara keseluruhan disebut Torah. Di dalamTorah, apa yang kita kenal sebagai "Sepuluh Perintah/Hukum" itu disebut Aseret ha-D'varim atau "Sepuluh Firman" (berdasarkan Kel. 34:28; Ul. 4:13; 10:4); sedangkan kalangan rabi, yakni guru-guru agama Yudaisme, menyebutnya Aseret ha-Dibrot atau "Sepuluh Perkataan."

Perihal peraturan-peraturan yang Allah berikan kepada bangsa Israel, pena inspirasi menulis: "Pikiran orang banyak itu, yang telah dibutakan dan direndahkan oleh perbudakan dan kekafiran, tidak siap untuk menghargai sepenuhnya prinsip-prinsip dari sepuluh pedoman yang luas itu. Supaya kewajiban-kewajiban dari Dekalog [Sepuluh Perintah] itu bisa lebih sempurna dimengerti dan ditegakkan, aturan-aturan tambahan telah diberikan untuk menggambarkan dan menerapkan prinsip-prinsip dari Sepuluh Perintah itu. Hukum-hukum ini disebut keputusan-keputusan, baik karena semua itu dibingkai dalam hikmat yang abadi dan keadilan maupun karena para hakim harus memberi putusan yang sesuai. Tidak seperti Sepuluh Perintah, hukum-hukum itu disampaikan secara pribadi kepada Musa yang harus meneruskannnya kepada bangsa itu" (Ellen G. White,Patriarchs and Prophets, hlm. 310).

Apa yang kita pelajari tentang hukum dan peraturan-peraturan Allah?
1. Hukum Allah merupakan ungkapan dari sifat dan tabiat-Nya. Ketika diturunkan kepada bangsa Israel (orang Yahudi) melalui nabi Musa, hal itu dimaksudkan agar keturunan Abraham tersebut hidup sesuai dengan norma-norma menurut kehendak Allah dan membuat mereka memiliki standar moral yang lebih tinggi daripada bangsa-bangsa kafir pada zaman itu.
2. Selain hukum yang tercakup dalam Sepuluh Perintah Allah sebagai "hukum moral" (moral law) yang bersifat universal dan abadi, bangsa Israel juga memiliki hukum-hukum yang berlaku khusus untuk mereka, yaitu "hukum upacara keagamaan" (ceremonial law) yang mengatur tata-cara beribadah, dan "hukum sipil" (social law) yang mengatur tata kehidupan sehari-hari.
3. Kesempurnaan Hukum Allah (Sepuluh Perintah) serta peraturan-peraturan Allah (hukum upacara agama dan hukum sipil) semuanya melambangkan keadaan Allah yang sempurna, baik secara kuantitatif (kelengkapannya) maupun kualitatif (keluhurannya).

Senin, 3 Desember
SEPULUH PERINTAH DAN RELEVANSINYA (Hukum Moral Sekarang Ini)

Sepuluh Hukum di AS. Tatkala di tahun 2006 silam Barack Obama (waktu itu masih Senator) berbicara di hadapan sebuah kelompok Kristen liberal dan mengatakan, "Apapun kita dulu, kita bukan lagi sebuah bangsa Kristen--setidaknya, bukan hanya [Kristen]," seluruh Amerika heboh. (Tonton di sini rekaman videonya---> http://www.youtube.com/watch?v=tmC3IevZiik). Gara-gara pernyataannya itu Obama menuai kritik, dan tidak sedikit orang yang menghujatnya. Tetapi beberapa bulan lalu, Juli 2012, hasil survei oleh sebuah badan bernama National Association of Evangelicals (Perhimpunan Evangelis Nasional) tentang "apakah Amerika Serikat adalah sebuah bangsa Kristen" mengungkapkan bahwa 68% responden menyatakan "tidak." Bahkan Leith Anderson, presiden dari perhimpunan tersebut, mengatakan: "Banyak orang di dunia yang menyebut Amerika sebagai sebuah bangsa Kristen, tapi kebanyakan dari para pemimpin Kristen kita menganggap tidak demikian. Alkitab hanya menggunakan kata 'Kristen' untuk menerangkan manusianya dan bukan negaranya." (Baca berita "Los Angeles Times" di sini---> http://articles.latimes.com/2012/jul/31/news/la-pn-evangelical-leaders-echo-obama-say-us-not-a-christian-nation-201207310.

Pelarangan pemajangan Sepuluh Perintah (Sepuluh Hukum) Allah di ruang pengadilan dan ruang-ruang publik lain di Amerika sudah berlangsung sebelum Obama mengeluarkan pernyataan yang kontroversial itu. Tidak sedikit para hakim yang bersikeras mempertahankan kehadiran hukum moral itu di ruang pengadilan maupun di ruang kerjanya telah "didakwa" sebagai melanggar netralitas. Alabama, Ohio, Texas, hanyalah sebagian di antara negara-negara bagian di AS yang pernah riuh dengan pro-kontra masalah ini. Kelompok-kelompok sekuler bertikai habis-habisan dengan kaum Kristen Konservatif. Tidak hanya soal pemajangan Sepuluh Hukum, tetapi kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran di sekolah-sekolah umum yang sudah puluhan tahun mentradisi juga telah lama dilarang. Saya menerima banyak surat-elektronik yang berisi ungkapan kejengkelan dan amarah terhadap hal ini, mula-mula saya juga sangat terkejut dan tidak menyangka. Tetapi inilah Amerika Serikat sekarang ini, negara yang pada mata uangnya tertera kata-kata "In God We Trust" (Kepada Tuhan Kami Percaya), dan yang mengharuskan calon warganegara baru untuk mengucapkan Sumpah Setia (Pledge of Allegiance) seperti ini: "Saya berjanji setia kepada Bendera Amerika Serikat, dan kepada Republik untuk apa yang dijunjungnya, satu Bangsa di bawah Tuhan, tak terpisahkan, dengan kebebasan dan keadilan bagi semua."

Namun memang Sepuluh Perintah Allah itu tidak cukup sekadar dipajang di dinding, melainkan untuk ditanamkan di dalam hati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Di dalam pikiran banyak orang, Sepuluh Perintah itu jauh dari pembatalan, tetap sebagai standar Allah yang absah untuk moralitas. Dan juga dengan alasan yang baik untuk memulai. Meskipun Dekalog (Sepuluh Perintah) dituliskan di Sinai, kitab Kejadian menunjukkan bahwa hampir semua perintah-perintah itu telah dikenal sebelum waktu itu" [alinea pertama: kalimat terakhir; alinea kedua].

Prinsip abadi. Meskipun telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai di tengah masyarakat moderen, dengan gejala sekularisme yang kian kental dan mencolok, sesungguhnya prinsip-prinsip dalam hukum moral Allah itu masih tetap dipelihara sebagai prinsip abadi. Sebab sebebas dan sehebat apapun keduniawian sebuah negara atau suatu masyarakat, tidak ada yang telah kehilangan akal sehat untuk membiarkan pembunuhan, pencurian, penipuan, perzinahan, atau pelecehan terhadap orangtua. Bahkan, di kalangan penganut paham ateisme sekalipun terdapat keyakinan akan suatu kuasa supra-natural yang mengendalikan alam semesta ini, walaupun mereka tidak menyebutnya dengan "kuasa Tuhan." Begitu pula, azas-azas yang terkandung dalam Sepuluh Perintah yang sudah berlaku sejak permulaan dunia itu masih akan terus berlaku dan dipelihara hingga tamatnya riwayat dunia ini.

Bukti-bukti dalam Kitabsuci menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dari hukum moral sudah berlaku sejak penciptaan. Simaklah beberapa bukti berikut ini: Pertama, tentang Sabat hari yang ketujuh (hukum ke-4). Setelah Allah merampungkan pekerjaan penciptaan-Nya selama enam hari, "berhentilah Ia pada hari ketujuh...lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya" (Kej. 2:2, 3). Kedua, mengenai berdusta (hukum ke-9). Allah mengutuk ular (personifikasi dari iblis) di Taman Eden karena telah mendustai Hawa (Kej. 3:13, 14). Ketiga, soal membunuh (hukum ke-6). Allah mengutuk Kain karena dia telah membunuh adiknya, Habel (Kej. 4:11, 12). Setidaknya tiga bukti tersebut sudah cukup menjelaskan tentang hukum moral yang telah berlaku sejak lebih dari dua ribu tahun sebelum bangsa Israel ada di muka bumi.

"Berdasarkan logika saja, tidak masuk akal kalau Sepuluh Perintah itu adalah murni sebuah pranata Yahudi, sesuatu yang dimaksudkan hanya untuk sekelompok orang tertentu di waktu dan tempat tertentu. Bukankah masuk akal bahwa soal-soal moral seperti mencuri, membunuh, berzinah, dan menyembah berhala secara universal adalah salah, apapun kebudayaannya?" [alinea ketiga: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang Sepuluh Hukum sebagai prinsip moral yang tetap relevan sekarang ini?
1. Peradaban moderen boleh saja menjadi sangat materialistik dan sekularistik, tetapi manusia moderen tidak dapat menyangkal bahwa prinsip-prinsip Sepuluh Perintah Allah masih tetap relevan untuk diterapkan sebagai norma-norma masyarakat pada zaman ini.
2. Manusia bisa saja menolak Sepuluh Perintah Allah dipajang sebagai peringatan, tetapi sejauh kita membiarkan Allah menanamkannya ke dalam hati dan pikiran kita, anda dan saya tetap dapat menghidupkannya setiap hari. Hukum moral itu bukan hiasan ruangan, tetapi prinsip hidup yang abadi.
3. Sepuluh Perintah Allah mengandung prinsip-prinsip kehidupan manusia di atas bumi ini. Tiga ciri utama dari hukum moral ini adalah: rohani, abadi, dan utuh. Sepuluh Perintah mengikat semua umat manusia secara rohani (Rm. 7:14), tidak pernah akan dibatalkan (Luk. 16:17), dan harus ditaati seutuhnya (Yak. 2:11).

Selasa, 4 Desember
SALINAN TABIAT ALLAH (Hukum dan Injil)

Bercermin pada hukum. Hampir semua orang menyukai cermin, apalagi kaum wanita. Sesungguhnya, bukan musik atau sajian makanan dan minuman yang membuat meriahnya sebuah pesta, melainkan cermin! Seorang yang bukan pesolek sekalipun akan mencari cermin untuk berdandan bila hendak datang ke sebuah pesta, meskipun belum pernah terjadi ada pesta yang batal berhubung tidak ada orang yang datang gara-gara tidak punya cermin. Walaupun berdasarkan penemuan ekskavasi diperkirakan bahwa manusia sudah mengenal cermin sejak empat hingga enam ribuan tahun silam, yang terbuat dari sejenis batu mengandung kaca vulkanik (obsidian) dan lempengan tembaga yang digosok sampai mengkilat, tidak dapat dipastikan apakah fungsi benda itu adalah untuk berdandan atau untuk keperluan lain. Tapi yang pasti, dalam peradaban moderen cermin menjadi bagian dari kehidupan sesehari manusia.

Barangkali menarik untuk dipikirkan bahwa walaupun prinsip-prinsip Hukum Allah itu sudah berlaku sejak penciptaan, tetapi hukum itu baru dinyatakan kepada manusia secara formal lebih dari dua ribu tahun kemudian kepada satu umat pilihan Allah sendiri. Artinya, manusia yang hidup sebelum itu sama sekali tidak mempunyai pedoman hidup seperti halnya bangsa Israel. Walaupun hukum-hukum itu diberikan menjadi semacam "kontrak perjanjian" di mana bila itu dituruti akan mendatangkan berkat tetapi jika dilanggar akan membawa kutukan (Ul. 11:26-28), tetapi ternyata hukum-hukum itu sama sekali tidak menghasilkan keselamatan (Rm. 3:28). Tidak bagi orang Israel, juga tidak bagi orang Kristen. "Meskipun banyak yang memahami bahwa Sepuluh Perintah itu tetap mengikat dalam kehidupan orang Kristen, peran yang dijalankannya dalam rencana keselamatan bisa membingungkan. Kalau kita tidak diselamatkan oleh memelihara hukum, lalu apa maksudnya?" [alinea pertama].

Rasul Paulus menulis, "Sebab tidak seorang pun dimungkinkan berbaik dengan Allah oleh karena orang itu melakukan hal-hal yang terdapat dalam hukum agama. Sebaliknya hukum itu cuma menunjukkan kepada manusia bahwa manusia berdosa" (Rm. 3:20, BIMK; huruf miring ditambahkan). Dalam perkataan lain, "hukum agama" itu adalah cermin yang memperlihatkan keberdosaan setiap orang oleh sebab "semua orang sudah berdosa" (ay. 23). Artinya, hukum Allah adalah sesuatu yang mengonfirmasi keadaan manusia yang berdosa. Tak seorangpun dapat mengelak dari kenyataan bahwa dirinya memang berdosa, sebab "kalau kita berkata bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri sendiri" (1Yoh. 1:8, BIMK). Fungsi hukum Allah yang seperti cermin menyatakan keberdosaan manusia itu diakui oleh rasul Paulus ketika dia berkata, "Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: 'Jangan mengingini!'" (Rm. 7:7, bag. kedua).

Kita berdosa melalui dua bahkan tiga cara: 1. warisan (Rm. 5:12 dan 19 bag. pertama); 2. pelanggaran hukum (1Yoh. 3:4); dan 3. kelalaian (Yak. 4:17). Dosa karena faktor keturunan tidak ada hubungannya dengan perilaku kita, itulah sebabnya bayi yang baru lahir pun sudah berdosa karena mewarisi sifat-sifat dan unsur-unsur dosa dalam dirinya. Selain itu, keberdosaan kita adalah akibat perbuatan yang melanggar hukum Allah (sin of commission) dan juga berdosa karena kealpaan melakukan perintah Allah (sin of omission). Hukum Allah itu utuh bagaikan untaian rantai yang mengikat kita, di mana pelanggaran terhadap satu perintah saja itu sama dengan memutuskan salah satu mata rantai sehingga membuat seluruh ikatannya terlepas. "Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya" (Yak. 2:10).

Hukum menuntun kepada injil. Seperti halnya cermin yang hanya mampu memperlihatkan noda kotoran di wajah atau pakaian kita tetapi tidak bisa menghapus noda-noda itu, demikianlah hukum Allah juga hanya dapat menunjukkan keberdosaan kita tetapi tidak berdaya untuk membersihkan dosa. Alkitab mengatakan, "Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: 'tidak ada seorang pun yang dibenarkan' oleh karena melakukan hukum Taurat" (Gal. 2:16; huruf miring ditambahkan). Bahkan, hukum itu hanya "membangkitkan murka" Allah (Rm. 4:15, bag. pertama).

Ketika rasul Paulus berkata kepada jemaat di Galatia bahwa "hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang" (Gal. 3:24; huruf miring ditambahkan), sang rasul sedang membandingkan hukum itu seperti cermin. Sebagaimana cermin yang menunjukkan noda kotoran itu menuntun seseorang untuk berusaha membersihkan noda itu, demikianlah hukum itu menuntun seorang berdosa untuk mencari Sumber keselamatan, yakni Yesus Kristus yang dapat menghapuskan dosa-dosanya. "Sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus" (Yoh. 1:17). Jadi, dalam hal inilah kita melihat bahwa hukumdan injil (=kasih karunia) itu berhubungan erat satu dengan yang lain, sama seperti cermin dengan serbet atau kertas pembersih. "Tetapi kalau hukum tidak ada, maka pelanggaran pun tidak ada" (Rm. 4:15, bag. kedua, BIMK).

"Hukum itu tidak pernah dirancang untuk menjadi sarana keselamatan. Melalui pekerjaan Roh Kudus, hukum itu menciptakan dalam diri orang berdosa suatu kebutuhan akan kasih karunia (injil) Kristus. Dengan menunjukkan apa yang betul, apa yang baik, apa yang benar, orang-orang yang standarnya merosot (yakni kita semua) menyadari kebutuhan kita akan keselamatan. Dalam pengertian inilah hukum itu membawa kita kepada kebutuhan akan injil, kebutuhan akan kasih karunia. Kasih karunia ini datang kepada kita melalui Yesus. Fungsi dari hukum itu, bahkan dalam Perjanjian Lama, ialah untuk menunjukkan pada kita kebutuhan kita akan keselamatan; itu tidak pernah sebagai sarana yang menyediakan keselamatan itu" [alinea kedua].

Pena inspirasi menulis: "Oleh kasih karunia Kristus kita diselamatkan. Tetapi kasih karunia tidak meniadakan hukum Allah. Hukum itu adalah salinan dari tabiat Allah. Hukum itu menyatakan keadilan-Nya yang berlawanan dengan ketidakadilan. Dengan hukum ada pengetahuan akan dosa. Hukum menjadikan dosa tampak sangat jelas. Hukum itu mempersalahkan orang yang melanggar, tapi hukum itu tidak mempunyai kuasa untuk menyelamatkan dan memulihkannya. Bidang kewenangannya bukan untuk mengampuni. Pengampunan datang melalui Kristus yang menghidupkan hukum itu dalam kemanusiawian" (Ellen G. White, Review and Herald, 25 Juli 1899).

Apa yang kita pelajari tentang peranan hukum dan hubungannya dengan injil?
1. Hukum dan Injil (=kasih karunia) adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi dalam rencana keselamatan. Hukum itu melambangkan keadilan Allah, dan Injil melambangkan kasih Allah, kedua-duanya merupakan salinan atau pantulan tabiat Allah.
2. Peran hukum Allah adalah untuk menyatakan keadaan manusia yang berdosa dan menuntun kita untuk menyadari kebutuhan kita akan pengampunan dosa, namun hukum itu tidak pernah dimaksudkan untuk menyelamatkan manusia. Hukum Allah itu ibarat rambu-rambu jalan yang dapat membuat perjalanan anda lancar dan selamat sampai ke tujuan.
3. Injil, yaitu Kabar Baik tentang kasih karunia Allah yang kita peroleh secara cuma-cuma melalui iman di dalam Yesus Kristus, itulah satu-satunya jalan keselamatan. Kata Yesus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh. 14:6).

Rabu, 5 Desember
HUKUM DAN KETAATAN (Sabat dan Hukum)

Hukum menuntut ketaatan. Dalam dunia yang beradab, hampir semua aktivitas manusia diatur oleh seperangkat aturan hukum. Tujuannya adalah untuk menciptakan suasana keharmonisan dan ketertiban, menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bayangkanlah apa yang akan terjadi kalau kita tidak mempunyai peraturan lalulintas, atau tidak ada aturan dalam pertandingan sepakbola. Hukum atau undang-undang, peraturan atau regulasi, semuanya dibuat untuk ditaati oleh siapa saja yang berada di wilayah yurisdiksi di mana hukum dan peraturan itu berlaku. Hukum itu juga seharusnya bersifat melindungi, pada satu sisi melindungi kepentingan semua orang yang menjadi obyek hukum, dan pada sisi yang lain itu melindungi kewibawaan pembuat hukum tersebut. Dalam hal Hukum Allah, khususnya yang diformulasikan sebagai Sepuluh Perintah, azas yang sama juga berlaku. Hukum Allah diberikan kepada manusia untuk ditaati demi menghadirkan keharmonisan dan ketertiban, serta bersifat melindungi terhadap manusia yang menaatinya dan melindungi kehormatan Allah sebagai Pembuat hukum itu.

Tetapi meskipun hukum dibuat untuk ditaati, hukum itu sendiri menghadirkan peluang untuk dilanggar. Karena ada hukum maka ada kemungkian pelanggaran, tanpa hukum tidak ada pelanggaran. Namun, berbeda dengan hukum manusia yang hanya menyediakan sangsi jika dilanggar, hukum Allah mengandung janji pahala terhadap orang-orang yang menaatinya. Allah bersabda, "Kamu harus lakukan peraturan-Ku dan harus berpegang pada ketetapan-Ku dengan hidup menurut semuanya itu; Akulah TUHAN, Allahmu. Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah TUHAN" (Im. 18:4, 5; huruf miring ditambahkan). Bagi yang tidak menaatinya tersedia kutuk, seperti kata rasul Paulus, "Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat." (Gal. 3:10).

Hukum Sabat. Perhatikan janji berikut ini yang secara khusus dikaitkan dengan Hukum Keempat tentang pemeliharaan Sabat hari ketujuh: "Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus TUHAN "hari yang mulia"; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut TUHANlah yang mengatakannya" (Yes. 58:13, 14; huruf miring ditambahkan). Ada tiga janji yang tercakup di sini: (1) kebahagiaan hidup, (2) kesuksesan hidup, dan (3) kemakmuran hidup.

"Sebagaimana yang telah kita lihat dalam pelajaran hari Senin, banyak orang Kristen yang tetap percaya pada sifat hukum Allah yang mengikat. Sekali lagi, sepanjang seseorang menerima realitas dosa, sulit untuk mengerti bagaimana seseorang bisa mempercayai sesuatu yang lain...Namun, seperti yang kita ketahui dengan baik, seluruh masalah kewajiban orang Kristen terhadap hukum itu tiba-tiba berubah jadi sangat kabur ketika pertanyaan tentang ketaatan pada hukum keempat timbul, khususnya sehubungan dengan hari ketujuh itu sendiri" [alinea pertama; alinea kedua: kalimat pertama].

Sebagian besar umat Kristen tidak memelihara kekudusan Sabat hari ketujuh, seperti diperintahkan dalam Hukum Keempat, oleh karena beranggapan bahwa hukum Sabat hari ketujuh hanya untuk bangsa Yahudi saja (Gal. 4:9-11), dan bahwa hukum Hari Sabat hanya sebagai bayangan tentang Yesus (Kol. 2:16, 17). Padahal, apa yang dimaksudkan oleh rasul Paulus dalam ayat-ayart itu bukanlah Sabat hari ketujuh dalam Sepuluh Perintah (hukum moral), melainkan hari-hari Sabat dalam hukum upacara keagamaan (hukum seremonial). Anehnya, mereka yang menolak pemeliharaan Sabat hari ketujuh itu "menemukan" penggantinya pada hari Minggu, hari pertama dalam pekan dengan alasan itu adalah hari kebangkitan Yesus (Mrk. 16:9) dan bahwa umat Kristen di zaman rasul-rasul mengadakan pertemuan ibadah pada hari pertama itu (Kis. 20:7; 1Kor. 16:2). Faktanya, hari kebangkitan Yesus dan hari pertama dalam minggu sebagai tradisi pertemuan umat Kristen yang mula-mula itu tidak pernah diperintahkan Allah untuk dipelihara sebagai satu hari yang kudus, apalagi untuk menggantikan Sabat hari ketujuh.

Hukum yang integral. Kalau kita berbicara tentang Sabat dalam Hukum Keempat dari Sepuluh Perintah Allah, pastinya itu adalah Sabat hari ketujuh, bukan hari-hari Sabat sebagai hari perayaan nasional bangsa Yahudi. Bagaimana anda yang percaya dan menjunjung Sepuluh Perintah Allah, tetapi mengabaikan Hukum Keempat? Kalau hukum Sabat hari ketujuh dalam Sepuluh Perintah itu hanya berlaku bagi orang Yahudi, mengapa hukum-hukum lainnya dalam Sepuluh Perintah yang sama--seperti larangan membunuh, berdusta, mencuri dan berzinah--itu anda akui berlaku pada diri anda dan bukan hanya bagi bangsa Yahudi saja? Kalau mau konsisten dan konsekuen, seorang yang menganggap bahwa Hukum Keempat itu hanya berlaku bagi bangsa Yahudi saja harus juga beranggapan bahwa kesembilan hukum yang lain itupun semuanya hanya berlaku bagi bangsa Yahudi. Tetapi Sepuluh Perintah Allah itu bersifat utuh dan sempurna, tidak parsial dan terbagi-bagi. Anda dan saya tidak dapat memilah-milah dan memilih-milih hukum mana dalam Sepuluh Perintah itu yang berlaku bagi kita dan mana yang hanya berlaku bagi orang lain. Setiap hukum dalam Sepuluh Perintah adalah integral dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lain, masing-masing menjadi bagian dari keutuhan Hukum Allah.

Mari kita simak dengan teliti bunyi Hukum Keempat itu secara keseluruhan: "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat; enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu.Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya(Kel. 20:8-11, huruf miring ditambahkan; bandingkan dengan Ul. 5:12-14). Sangat jelas bahwa hukum Hari Sabat ini mengandung perintah untuk "berhenti" dari segala pekerjaan yang dilakukan selama enam hari dalam seminggu, sebagaimana Allah juga "berhenti" sesudah menciptakan langit dan bumi selama enam hari. Jadi, Hukum Keempat dalam Sepuluh Perintah itu berkaitan dengan penciptaan, dan dengan menguduskan Sabat hari ketujuh setiap pekan berarti kita merayakan pekerjaan penciptaan yang dilakukan Allah dan sekaligus mengakui bahwa Allah adalah Pencipta. Hukum Sabat dalam Sepuluh Perintah itu berulang dalam siklus pekan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan perayaan-perayaan Sabat tahunan yang memang hanya berlaku khusus bagi orang Yahudi.

Perhatikan, kita hidup dalam beberapa siklus waktu: harian, mingguan, bulanan, tahunan. Dari empat siklus waktu tersebut, tiga siklus ditentukan berdasarkan hukum astronomi. Satu hari adalah waktu yang diperlukan oleh Bumi untuk berputar pada sumbunya; satu bulan adalah waktu yang diperlukan oleh Bulan (sebagai satelit dari planet Bumi) untuk mengitari Bumi; satu tahun adalah waktu yang diperlukan oleh Bumi untuk mengitari Matahari. Hanya siklus pekan yang terdiri dari tujuh hari itu saja yang tidak didasarkan pada astronomi, tetapi siklus pekan menemukan asal-usulnya pada masa penciptaan. Meskipun bisa diperdebatkan tentang ada-tidaknya hari yang "hilang" ketika terjadi pergantian dari Kalender Julian (diberlakukan oleh Julius Caesar, tahun 46 SM, menggantikan kalender Romawi) kepada Kalender Gregorian (hasil modifikasi oleh Paus Gregori XIII, tahun 1582), tetapi perhitungan siklus pekan yang terdiri atas 7x24 jam tidak pernah berubah. "Keluaran 20:9-10 menjelaskan hukum hari Sabat. Ayat-ayat ini secara sangat teliti menunjukkan kapan hari Sabat itu terjadi (hari yang ketujuh), dan bagaimana itu harus dipelihara (perhentian dari pekerjaan yang rutin oleh semua yang tinggal satu atap) supaya kekudusannya terjaga" [alinea ketiga: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat dalam Hukum Allah?
1. Sepuluh Perintah adalah Hukum Allah yang harus ditaati secara utuh. Ketaatan pada hukum Allah dapat mendatangkan pahala, tetapi pelanggaran terhadap hukum itu mengakibatkan hukuman kutuk. 
2. Hukum Sabat hari ketujuh, hukum keempat dalam Sepuluh Perintah, utamanya adalah sebagai peringatan akan penciptaan Allah. Itulah sebabnya hukum Sabat hari ketujuh, seperti juga sembilan hukum lainnya, berlaku secara universal untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman. Kata Yesus, 
"Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat" (Mrk. 2:27).
 3. Hukum Sabat hari ketujuh adalah unik, tidak sama dengan hukum tentang hari-hari Sabat lainnya yang khusus diberlakukan bagi bangsa Yahudi sebagai perayaan-perayaan tahunan. Hari Sabat merupakan bagian yang integral dari Sepuluh Perintah, dan tak seorang manusia pun berhak menggantikan hukum ini dengan suatu hari yang lain, apapun alasannya.

Kamis, 6 Desember
PENCIPTAAN DAN PENEBUSAN (Sabat dan Injil)

Dua gagasan. Kitabsuci mengajarkan bahwa hukum (dalam istilah PB disebut "Taurat") dan injil (kasih karunia) adalah dua hal yang berbeda dari segi fungsi, tetapi keduanya merupakan dua komponen yang saling melengkapi dalam rencana keselamatan (Rm. 5:20, 21). Hukum berfungsi sebagai cermin yang memperlihatkan keberdosaan manusia, injil berfungsi untuk menghapus dosa-dosa itu. Hukum bersifat mempersalahkan dan menghakimi, sedangkan injil bersifat mengampuni kesalahan dan membebaskan dari hukuman. (Lihat pembahasan dalam pelajaran hari Selasa.)

Pengudusan Sabat hari yang ketujuh sebagai bagian dari hukum (hukum keempat dari Sepuluh Perintah) secara khas juga memiliki fungsi seperti cermin. Ketika mengucapkan kembali Sepuluh Perintah itu kepada bangsa Israel yang segera akan memasuki tanah perjanjian Kanaan, nabi Musa memberi sedikit penjelasan mengapa harus ada istirahat pada hari Sabat. "Sebab haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat," imbuhnya (Ul. 5:15). Dalam perkataan lain, sang nabi hendak berpesan kepada bangsa Israel bahwa dengan menaati hukum Allah, khususnya hukum keempat tentang pengudusan Sabat hari ketujuh, bangsa itu dapat bercermin mengenai siapa mereka sebelumnya sewaktu tinggal di Mesir--yakni sebagai bangsa budak. Musa mengingatkan tentang pentingnya "berhenti/beristirahat" pada hari Sabat setiap pekan bagi semua orang yang bernaung di rumah mereka, termasuk para pelayan dan budak yang bekerja untuk mereka, "supaya hambamu laki-laki dan hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga" (ay. 14).

Sebagai umat percaya kita turut mewarisi janji Allah kepada Abraham, itulah sebabnya kita sering disebut sebagai "Israel rohani." Oleh karena janji itu diberikan "bukan kepada mereka yang taat kepada hukum agama Yahudi saja, tetapi juga kepada mereka yang percaya kepada Allah sama seperti Abraham percaya kepada-Nya. Sebab Abraham adalah bapa kita semua secara rohani. Sebab Allah berkata begini kepada Abraham, 'Aku sudah menjadikan engkau bapak untuk banyak bangsa.'" (Rm. 4:16, 17, BIMK; huruf miring ditambahkan). Dalam konteks ini, semua orang yang memelihara Sepuluh Perintah Allah pada satu sisi berhak memperoleh kepenuhan janji itu, dan di sisi lain berkewajiban untuk mengamalkan semua hukum itu. Artinya, menyangkut pengamalan hukum moral ini, apa yang berlaku pada seluruh keturunan Abraham secara lahiriah itu juga berlaku pada semua "keturunan Abraham" secara rohani.

"Pada pertanyaan terakhir pelajaran kemarin, kita menyimak baik Keluaran 20:11-12 maupun Ulangan 5:15. Apa yang kita lihat di sini ialah Sabat mengarahkan kita kepada dua gagasan: Penciptaan dan Penebusan, dua konsep yang saling berkaitan dengan sangat erat dalam Alkitab. Allah bukan saja Pencipta kita, Dia adalah juga Penebus kita; dan kedua kebenaran rohani penting ini dikembalikan kepada kita setiap pekan, setiap hari yang ketujuh, sementara kita berhenti pada hari Sabat" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Sabat sebagai lambang. Penekanan hukum keempat dalam Sepuluh Perintah itu adalah pada "pengudusan" (Kel. 20:8) Sabat hari ketujuh dengan cara "berhenti" (ay. 11) melakukan pekerjaan apapun. Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan kudus di sini adalah קָדַשׁ, qadash, sebuah kata-kerja yang artinya dikeramatkan atau dipisahkan/diasingkan untuk sesuatu maksud istimewa. Kata ini juga digunakan antara lain dalam Kel. 13:2; 19:14; 30:30. Jadi, Sabat hari ketujuh adalah satu hari yang dipisahkan atau diasingkan untuk maksud tertentu. Sedangkan kata asli yang secara kontekstual diterjemahkan dengan berhenti di sini adalah נוּחַ, nuwach, kata-kerja yang juga digunakan dalam Kel. 17:11; 23:12; Yos, 3:13. Intinya, hari Sabat adalah satu hari yang dipisahkan dari enam hari yang lain dalam pekan, dan hari ketujuh itu tidak boleh dimanfaatkan untuk bekerja atau melakukan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang seharusnya dikerjakan dalam "enam hari lamanya" (ay. 9). Sabat adalah hari untuk melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan penyembahan kepada Allah saja karena hari ketujuh itu adalah milik Dia, yaitu "Tuhan atas hari Sabat" (Mat. 12:8; Mrk. 2:28; Luk. 6:5).

Kewajiban untuk berhenti pada Sabat hari yang ketujuh mengingatkan kita akan minggu penciptaan ketika Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya, sehingga setiap minggu kita pun merayakan hasil penciptaan ketika "segala sesuatu dijadikan oleh Dia" (Yoh. 1:3). "Dengan mengarahkan kita kepada Kristus sebagai Pencipta dan Penebus, Sabat merupakan satu lambang yang mantap dari injil kasih karunia. Bahkan, beristirahatnya kita pada hari Sabat menyingkapkan bahwa sesungguhnya kita tidak diselamatkan oleh penurutan hukum tetapi oleh apa yang Kristus telah lakukan bagi kita. Dengan demikian, perhentian hari Sabat menjadi suatu lambang dari perhentian yang kita miliki di dalam Yesus (baca Ibr. 4:3-9)" [alinea ketiga].

Sebagai bangsa Indonesia sejati rasa kebangsaan kita selalu tersentuh setiap kali melihat Sang Saka Merah Putih berkibar, bendera kebangsaan yang sangat kita junjung tinggi. Itulah sebabnya semangat kebangsaan kita juga turut menggelora setiap kali menyaksikan para atlet kita berjuang di arena olahraga internasional dengan mengenakan tanda merah-putih di dada mereka, tanda yang menunjukkan kepada orang-orang lain tentang jatidiri mereka serta negara yang mereka bela dan perjuangkan nama baiknya. Orang boleh menggunakan sehelai kain putih apa saja untuk menyeka keringat, atau mengambil selembar kain warna merah apa saja untuk membersihkan sepatunya. Tetapi bilamana kain merah dan putih itu dijahit menjadi utuh sebagai bendera kebangsaan kita, jangan ada orang yang coba-coba secara sengaja memperlakukannya sembarangan, orang itu pasti akan berhadapan dengan ratusan juta rakyat kita yang siap membela kehormatan bendera kebangsaan itu. Hari Sabat adalah layaknya "bendera kebangsaan" rohani yang kita junjung sebagai lambang kedaulatan kerajaan Allah di mana anda dan saya menjadi warganegaranya!

Pena inspirasi menulis: "Allah telah memberikan hari Sabat kepada umat-Nya untuk menjadi sebuah tanda yang berkelanjutan tentang kasih-Nya dan kemurahan-Nya serta penurutan kita...Itu harus menjadi suatu pengingat yang terus-menerus bagi mereka bahwa mereka sudah termasuk di dalam janji kasih-karunia-Nya. Kepada seluruh generasimu, kata-Nya, Sabat itu harus menjadi tanda milik-Ku, perjanjian-Ku, kepadamu bahwa Akulah Tuhan yang menguduskanmu, bahwa Aku sudah memilih kamu dan memisahkan kamu sebagai umat-Ku yang istimewa. Dan sementara kamu memelihara kesucian hari Sabat, kamu akan memberi kesaksian kepada bangsa-bangsa di bumi bahwa kamu adalah umat pilihan-Ku" (Ellen G. White, Review and Herald, 28 Oktober 1902).

Apa yang kita pelajari tentang hukum Sabat dan injil dalam rencana keselamatan?
1. Pengudusan Sabat hari ketujuh melambangkan pengakuan manusia atas pekerjaan penciptaan Allah. Dalam minggu penciptaan itu, setelah menyelesaikan enam hari masa penciptaan, Allah "berhenti" pada hari ketujuh untuk merayakan penciptaan-Nya. Dengan kata lain, Hari Sabat adalah "mahkota penciptaan." Tanpa hari Sabat minggu penciptaan tidaklah lengkap.
2. Hari Sabat juga menjadi "tanda" hubungan antara Allah dengan umat-Nya. Ketika kita berhenti pada hari itu dan menguduskannya, kita meneladani apa yang Allah lakukan sesudah merampungkan penciptaan-Nya. Beristirahat satu hari dalam seminggu memang banyak manfaatnya secara kesehatan, namun kita berhenti pada hari Sabat bukan untuk manfaat-manfaat itu melainkan karena Sepuluh Perintah Allah mewajibkannya.
3. Berhenti dan menguduskan Sabat hari ketujuh juga mengandung makna injil (penebusan dan pengampunan dosa), sebab melalui Yesus Kristus segala sesuatu telah diciptakan dan melalui Dia juga kita beroleh penebusan dan pengampunan dosa (Kol. 1:14-16). 

Jumat, 7 Desember
PENUTUP

Hak kepemilikan. Allah, melalui Kristus, tidak saja menciptakan bumi dan segala isinya ini tetapi juga menebusnya ketika planet ini beserta penghuninya "tergadai" kepada Setan melalui dosa. Dengan demikian, kepemilikian Tuhan atas manusia adalah berdasarkan dua hal: melalui penciptaan dan penebusan. Seperti cerita tentang seorang anak remaja dari sebuah negeri di Amerika Selatan yang akibat salah pergaulan telah terjerumus ke dalam jaringan perdagangan manusia (human trafficking), dan ketika kelompok kriminal yang menguasai anak itu tahu bahwa orangtuanya tergolong orang yang cukup berada lalu menawarkan pembebasannya dengan tebusan sejumlah uang yang cukup besar. Orangtua yang sangat kehilangan anak yang mereka kasihi itu bersedia membayar uang tebusan demi untuk mendapatkan anak mereka kembali. Sebenarnya anak itu adalah milik orangtuanya atas dasar kelahiran, tetapi kemudian terpaksa harus menebusnya supaya bisa memilikinya lagi.

"Allah ingin kita menyadari bahwa Dia memiliki hak atas pikiran, jiwa, tubuh, dan roh--semua yang kita miliki. Kita adalah milik-Nya oleh penciptaan dan melalui penebusan. Sebagai Pencipta kita, Dia menuntut pelayanan kita yang menyeluruh. Sebagai Penebus kita, Dia menuntut dan juga berhak atas kasih yang tiada bandingannya" [alinea pertama: empat kalimat pertama].

Sebagai umat yang telah ditebus oleh Kristus dari dosa maka kita adalah orang-orang yang sangat beruntung. Menjadi umat tebusan adalah sebuah status yang sangat membahagiakan sekiranya kita menyadari bagaimana nasib kita kelak jika tanpa Penebus, dan mengetahui apa yang akan kita nikmati bilamana Yesus datang kedua kali menjemput umat tebusan-Nya. Kita beruntung, dan karena itu patut berbahagia, oleh sebab Penebus kita adalah juga Pencipta kita. Tetapi sementara masih menantikan hari kedatangan-Nya yang kedua, kita perlu menyambut penciptaan dan penebusan kita itu melalui pelayanan nyata dan sepenuh hati dalam apapun yang kita perbuat, karena menyadari bahwa itu adalah "untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kol. 3:23).

"Bagi mereka yang menerima Sabat sebagai tanda kuasa penciptaan dan penebusan Kristus, itu akan menjadi suatu kesukaan. Melihat Kristus di dalamnya, mereka sendiri akan bersuka di dalam Dia. Hari Sabat menujukkan kepada mereka pekerjaan penciptaan sebagai bukti atas kuasa-Nya yang sangat besar dalam penebusan" [alinea kedua: kalimat kedua hingga keempat].

"Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yak. 1:23-25).

(Oleh Loddy Lintong/California, 5 Desember 2012)