Gereja Masehi advent Hari Ketujuh

Rabu, 20 Februari 2013

ALAM DAN KEAGUNGAN SANG PENCIPTA

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "ALAM DAN KEAGUNGAN SANG PENCIPTA"

oleh Loddy Lintong pada 15 Februari 2013 pukul 2:06 ·



PELAJARAN KE-VII; 16 Februari 2013
"MELIHAT DARI KACA YANG BURAM"


Sabat Petang, 9 Februari
PENDAHULUAN

Teologia alam. William Paley (1743-1805) adalah seorang filsuf Kristen berkebangsaan Inggris yang terkenal dengan kegigihannya membela eksistensi Allah melalui argumentasi teologis berdasarkan desain dan tujuan penciptaan bumi dan alam semesta. Paley tersohor dengan karya tulisnya berjudul Natural Theology (1802) yang berpendapat bahwa pengenalan manusia akan Allah sebagai Pencipta dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap alam, dengan mempelajari tujuan atau penyebab akhir dari penciptaan bumi dan manusia.

Argumentasi ini didasarkan pada sebuah doktrin yang disebut teleologi (dari kata Yunani τέλοςtelos, yang berartiakhir, tujuan atau maksud), yaitu "sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan" (lihat Wikipedia Indonesia). Dalam perspektif filosofis-religius, teleologi ialah mempelajari gejala-gejala desain dan keteraturan proses pada alam karena adanya suatu tujuan akhir yang merujuk kepada maksud penciptaan. Menariknya, buku Natural Theology itu adalah bacaan kesayangan yang paling mengesankan bagi Charles Darwin, pencetus teori evolusi, ketika menjadi mahasiswa strata satu di Christ's College, Inggris.

"Namun, Paley kemungkinan telah berlebihan dalam beberapa hal, karena dia gagal memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh dosa dan Kejatuhan terhadap alam, tetapi secara umum argumentasinya tidak pernah disanggah--terlepas dari banyaknya dan gencarnya gugatan yang sebaliknya!" [alinea pertama: kalimat terakhir].

Sepintas lalu pandangan dalam buku Teologi Alam dengan konsep teleologi tersebut mirip dengan pernyataan pemazmur, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam" (Mzm. 19:2-3). Tetapi, sekalipun alam bisa bercerita kepada manusia tentang keberadaan Sang Pencipta dan kuasa ilahi yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta, kondisi alam sekarang ini sudah sangat jauh merosot dibandingkan pada waktu diciptakan pertama kalinya dan sebelum dirusak oleh dosa.

Anda tidak dapat menilai kehebatan sesungguhnya dari seorang atlet maraton pemenang medali emas Olimpiade tiga puluh atau empat puluh tahun lalu dengan memperhatikan dia berlari sekarang ketika si atlet sudah menjadi uzur; kita pun tidak bisa menghargai kepiawaian seorang pelukis kawakan berdasarkan lukisan-lukisannya yang cacat dan lapuk karena kesalahan kolektornya yang tidak telaten mengurus lukisan-lukisan itu. Begitu juga, kita tidak dapat menakar kuasa penciptaan Allah yang sesungguhnya dengan mengamati daun-daun yang menjadi kering dan jatuh terkulai ke tanah disentuh angin, dan kita juga tidak dapat mengukur kedahsyatan kuasa Allah berdasarkan kemampuan berpikir kita yang sudah jauh merosot dan dengan cara berpikir yang sudah menyeleweng. Dosa yang telah menyebabkan semua itu, maka kita tidak mungkin membuat kesimpulan yang tepat perihal kuasa penciptaan Allah berdasarkan kondisi dari karya ciptaan-Nya yang sudah dirusak oleh dosa.

Sekalipun demikian, meskipun dosa sudah merusak kecemerlangan bumi dan segala isinya, tidak pernah sesaat pun Allah kehilangan kepemilikan-Nya atas bumi ini dengan segala isinya. Atas pilihan manusia, dan karena Allah menghargai hak kebebasan memilih manusia itu, Setan dibiarkan untuk mengacak-acak bumi ini. Namun Setan tidak pernah memiliki planet ini apalagi alam semesta, dan Allah tetap memegang kendali.

Pena inspirasi menulis: "Hendaknya jangan seorang pun memelihara angan-angan bahwa Tuhan Allah surgawi dan pemilik bumi ini tidak mempunyai hukum untuk mengendalikan dan memerintah milik-Nya...Kita berkewajiban untuk diatur oleh kehendak-Nya, untuk mengakui Dia sebagai Penguasa kita yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk sepakat dengan seluruh rencana dan rancangan-Nya" (Ellen G. White, Review and Herald, 9 Maret 1897).

Minggu, 10 Februari
ALLAH MENGKLAIM MILIK-NYA (Bumi Adalah Milik Tuhan)

Dasar kepemilikan. Kita sudah pelajari bahwa kita manusia adalah milik Allah karena dua alasan: penciptaan dan penebusan. Bukan saja manusia, tetapi juga bumi ini. "TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya" (Mzm. 24:1); "Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku" (Yes. 43:1); "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah--dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1Kor. 6:19-20).

Banyak orang berpikir bahwa ayat-ayat di atas hanya berlaku bagi orang Kristen atau mereka yang percaya kepada Tuhan, tapi tidak berlaku bagi orang-orang yang tidak beragama atau tidak menyembah Allah yang benar. Tetapi faktanya tidaklah demikian, Allah mengklaim pemilikan-Nya atas "bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya." Buktinya, Allah mencurahkan hujan dan memberikan sinar matahari yang menopang kehidupan seluruh penghuni planet ini. Logika hukumnya, hanya pemilik yang dapat mengklaim kepemilikannya atas sesuatu obyek, sedangkan obyek itu sendiri tidak bisa mengklaim bahwa dirinya adalah milik si anu atau bukan. Manusia adalah milik Allah oleh karena "manusia diciptakan oleh Allah" dan dibuat "menurut rupa Allah" (Kej. 5:1). Hanya apabila seorang manusia berubah menjadi kera atau kerbau, dan dengan demikian tidak lagi memiliki rupa Allah, maka dia dapat menyangkal kepemilikan Allah atas dirinya.

Pena inspirasi menulis: "Bumi ini adalah lumbung Tuhan, dari mana kita terus mengambil. Dia telah menyediakan buah-buahan dan biji-bijian serta sayur-sayuran untuk makanan kita. Bagi kita Dia membuat matahari bersinar dan hujan turun. Segenap keluarga umat manusia, baik maupun jahat, terus-menerus mengambil dari lumbung Allah" (Ellen G. White, Review and Herald, 17 Desember 1901).

Selain atas dasar penciptaan dan penebusan, kepemilikan Allah atas manusia adalah juga karena kita memperoleh makanan dan minuman yang dihasilkan oleh bumi ini. Bahkan, oksigen yang sangat vital bagi kehidupan kita hirup dari atmosfir yang menyelimuti bumi ini. Kalau bukan karena sumber-sumber alami untuk menopang kehidupan yang disediakan Allah di bumi ini tak seorang manusia pun dapat bertahan hidup.

"Tidak hanya dunia yang menjadi milik Allah, Dia juga mengklaim kepemilikan atas setiap makhluk di bumi. Tidak ada makhluk lain (setidaknya yang kita tahu) mempunyai kuasa untuk menciptakan kehidupan. Allah adalah satu-satunya Pencipta, dan dengan demikian adalah pemilik pokok dari setiap makhluk. Kita semua bergantung sepenuhnya pada Allah untuk keberadaan kita. Kita tidak dapat memberikan apa-apa kepada Allah kecuali kesetiaan kita; segala sesuatu yang lain di bumi ini sudah menjadi milik-Nya" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang kepemilikan Allah atas bumi ini dan segala isinya?
1. Allah mengklaim sebagai pemilik bumi ini dan segala isinya atas dasar penciptaan dan penebusan. Allah telah menciptakan manusia menurut citra dan rupa Allah, dan citra itu tidak pernah diambil dari manusia. Selama citra Allah melekat pada diri kita, mau tak mau kita adalah milik Dia.
2. Sekalipun bumi ini sudah dikutuk dan manusia sudah mendurhaka kepada-Nya, Allah tidak pernah menghentikan suplai makanan yang dihasilkan oleh bumi ini, dan kita pun tiada henti-hentinya menikmatinya. Selain makanan dan minuman, manusia juga menghirup udara supaya bisa terus bernafas dan hidup.
3. Menyangkal kepemilikan Allah dan menolak eksistensi Sang Pencipta sambil terus-menerus menikmati sumber-sumber kehidupan yang disediakan oleh bumi ciptaan-Nya, itu sama saja dengan seorang anak yang tidak mengakui orangtuanya tapi sementara itu dia tetap tinggal di rumah orangtuanya dan makan dari makanan yang disediakan oleh orangtuanya.

Senin, 11 Februari
TERKUTUK AKIBAT DOSA MANUSIA (Satu Dunia yang Telah Jatuh)

Bumi yang sudah berubah. Secara substansial bumi yang Allah jadikan pada minggu penciptaan masih tetap seperti ini, tidak menciut atau pun bertambah besar. Namun secara situasional banyak hal telah berubah antara bumi saat diciptakan pertama kalinya dengan bumi yang kita lihat sekarang. Keadaan makhluk-makhluk yang mendiaminya, kondisi lingkungan hidupnya, dan interaksi di antara penghuninya sudah sangat berubah. Meskipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelihatannya telah membuat kehidupan manusia jauh lebih nyaman sekarang ini ketimbang pada zaman purba dahulu, bukan berarti kenikmatan dan kebahagiaan hidup zaman sekarang lebih baik daripada zaman dulu. Begitu juga, suasana kehidupan di Taman Eden sebelum ada dosa sudah tentu jauh lebih membahagiakan bagi manusia, sekalipun mereka belum mengenal teknologi apapun.

Sebagian orang mungkin membayangkan, alangkah tidak menyenangkannya hidup manusia seratus tahun lalu ketika belum ada komputer, internet, telpon genggam, mobil, dan perangkat-perangkat teknologi lain. Dalam batas-batas tertentu pemikiran seperti itu ada benarnya. Tapi pertanyaannya, apakah manusia yang hidup seratus tahun lampau itu memang membutuhkan teknologi seperti yang kita miliki sekarang? Belum tentu. Kalau kiamat belum tiba, barangkali empat atau lima generasi dari sekarang kehidupan manusia sudah jauh berbeda dari sekarang, dan cucu-cicit kita kelak akan berpikir betapa kunonya manusia yang hidup di tahun 2013 "dulu" itu dibandingkan dengan zaman mereka yang mungkin kemajuan iptek pada waktu itu sudah menyediakan jasa penerbangan ke bulan dan Mars atau pesiar ke angkasa luar. Pertanyaannya, apakah kita sekarang memang membutuhkan pelesir seperti itu? Belum tentu.

Bumi yang terkutuk. Vonis Allah atas dosa manusia berdampak pula pada bumi ini. Allah berfirman, "Karena perbuatanmu itu, terkutuklah tanah. Engkau harus bekerja keras seumur hidupmu agar tanah ini bisa menghasilkan cukup makanan bagimu. Semak dan duri akan dihasilkan tanah ini bagimu, dan tumbuh-tumbuhan liar akan menjadi makananmu" (Kej. 3:17-18, BIMK). Kata asli yang diterjemahkan dengan tanah dalam ayat 17 adalah אֲדָמָה, 'adamah, yang berarti juga bumi seperti digunakan dalam Kej. 1:25 dan 6:7, 20. Sebelum dikutuk, bumi hanya mengeluarkan hasil yang baik, setelah dikutuk bumi masih mengeluarkan hasil yang baik juga, tetapi sekarang ditambah dengan duri dan onak yang seringkali bertumbuh lebih cepat dari buah-buahan yang lezat dan bunga-bunga yang indah. Potensi tanah untuk menghasilkan panen yang baik juga berkurang (Kej. 4:12), itu pun setelah manusia mengolahnya dengan susah payah (Kej. 5:29).

"Kutuk atas tanah karena Adam pasti mencakup hortikultura (dunia pertanian), karena hasilnya termasuk bertumbuhnya duri dan onak. Dampaknya ialah bahwa seluruh Ciptaan terpengaruh oleh kutukan akibat dosa" [alinea kedua: dua kalimat pertama].

Bahkan, kutukan terbesar dan paling fenomenal ialah ketika Allah menghancurkan seluruh bumi ini dan membinasakan hampir semua ciptaan yang hidup di atasnya, dengan hanya menyisakan delapan orang dari seluruh manusia yang hidup pada masa itu ditambah dengan satu pasang binatang-binatang yang haram dan tujuh pasang binatang-binatang yang halal dari segala jenis fauna yang ada sejak penciptaan (Kej. 7:1-3). Penghancuran ini terpaksa dilakukan Allah oleh karena manusia semakin bertambah jahat sehingga memilukan hati Tuhan (Kej. 6:5-7).

"Air Bah itu merusak sistem pengairan yang Allah telah tetapkan pada Penciptaan, mengeruk tanah dari beberapa bagian bumi dan menimbunnya di bagian lain. Sekarang pun hujan terus-menerus menggerus tanah, menghilangkan kesuburannya sehingga makin mengurangi hasil panen. Allah dengan murah hati berjanji tidak akan mengutuki bumi ini lagi, tetapi tanah yang kita warisi sangat jauh berbeda dari tanah yang subur dan produktif yang Allah ciptakan pada mulanya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang keadaan dunia setelah jatuh ke dalam dosa?
1. Sekalipun masih menyimpan sisa-sisa keindahannya, keadaan bumi kita sekarang ini jauh berubah dari keadaan aslinya ketika baru diciptakan. Ilmu pengetahuan dan teknologi boleh berkembang dengan pesat, tetapi hal itu tidak dapat mengembalikan kondisi yang nyaman dan menyenangkan seperti sebelum ada dosa.
2. Dosa yang dilakukan manusia pertama (Adam dan Hawa) di Taman Eden telah mengakibatkan kutukan Allah atas bumi dan seluruh habitatnya. Tanah, sumber kekayaan alam abadi demi menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sekarang menghasilkan tumbuhan yang merusak dan jadi semakin sukar diolah.
3. Karena dosa kian bertambah dan manusia semakin jahat, kutukan pertama itu ditambah lagi dengan penghancuran dan pembinasaan habitat hidup oleh bencana air bah yang memporak-perandakan bumi kita ini sehingga menjadi sama sekali berbeda dari keadaannya semula.

Selasa, 12 Februari
TERGADAI KARENA DOSA (Penguasa Dunia Ini)

Kekuasaan sementara dan terbatas. Adalah suatu kenyataan bahwa setelah kejatuhan nenek moyang pertama manusia ke dalam dosa, dunia kita ini dikuasai oleh Setan secara de facto. Itulah sebabnya Setan, yang merasa dirinya sebagai penguasa dunia, dengan lancang telah menawarkan untuk memberikan seluruh dunia ini kepada Kristus ketika dia mencobai Anak Allah itu (Mat. 4:8, 9). Padahal Setan menguasai dunia ini bukan untuk dipeliharanya, melainkan justeru untuk menghancurkannya. Karena dia tahu bahwa kekuasaannya hanya untuk sementara dan terbatas, sebab sekali kelak bumi dan isinya akan diambil kembali oleh Sang Pencipta untuk diperbarui lagi bilamana penghakiman Allah telah selesai dan Ia akan menegakkan keadilan.

Untuk sementara ini Setan masih menguasai dunia ini. Namun dalam beberapa kesempatan Yesus menyebutkan tentang nasib akhir dari kekuasaan Setan atas dunia ini. Kata-Nya, "Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar" (Yoh. 12:31); "Tidak banyak lagi Aku berkata-kata dengan kamu, sebab penguasa dunia ini datang dan ia tidak berkuasa sedikit pun atas diri-Ku" (14:30); "...karena penguasa dunia ini telah dihukum" (16:11; huruf miring ditambahkan).

"Meskipun kekalahannya telah dipastikan sesudah Salib, dia tidak akan menyerah dengan tenang atau lembut. Kemarahannya dan kuasa perusaknya, sekalipun dibatasi sampai tingkat tertentu oleh Allah dengan cara-cara yang kita tentu tidak mengerti sekarang ini, jangan sekali-kali dianggap remeh. Kita juga tidak boleh lupa bahwa betapa pun masalah-masalah bisa datang kepada kita secara tersamar, pokok pertempuran hanya bermuara kepada dua kekuatan: Kristus dan Setan" [alinea pertama: kalimat ketiga hingga kelima].

Penggoda manusia. Tampaknya, setelah berhasil menggoda Adam dan Hawa sehingga nenek moyang pertama manusia itu jatuh ke dalam dosa, dan dengan demikian "merebut kekuasaan" atas dunia ini dari tangan Adam, Setan menjadi terlalu percaya diri akan kemampuannya untuk menggoda manusia. Buktinya, ketika terbuka peluang untuk menggoda Ayub yang dikenalnya sebagai seorang anak Tuhan yang sangat setia itu, Setan langsung bergegas untuk beraksi (Ay. 1:12). Kita semua tahu apa yang dilakukannya terhadap Ayub, dan bagaimana akhir dari kisah itu.

"Dalam kitab Ayub, sebagian selubung yang menyembunyikan realitas pertentangan besar itu disingkapkan, dan kita dapat melihat bahwa Setan memang mempunyai kemampuan untuk mengakibatkan kerusakan besar di dunia alamiah. Apa pun yang dimaksudkan dengan ungkapan 'penguasa dunia ini,' jelas bahwa dalam peran ini Setan masih memiliki suatu pengaruh yang kuat dan merusak di bumi ini" [alinea terakhir: dua kalimat pertama].

Pena inspirasi menulis: "Setan, dengan seluruh kuasanya yang mengagumkan, telah menempatkan dirinya di antara manusia dan hukum Allah, sehingga melalui kepalsuan dan cara berpikirnya yang menyesatkan dia bisa mengilhami manusia dengan pemberontakan yang sama terhadap Allah dan hukum-Nya sebagaimana yang menggerakkan dirinya. Mereka yang tidak dapat dia tipu, dia benci. Dia menyalahtafsirkan perkataan dan tindakan mereka, dan menyebabkan dunia menganiaya dan menghancurkan, supaya bumi tidak akan menahan jiwa yang tidak sepaham dengan penguasa dunia ini dan pemerintahan kegelapannya. Sejarah menunjukkan fakta bahwa tidak seorang pun dapat melayani Allah tanpa bertentangan dengan kuasa-kuasa jahat yang bersatu" (Ellen G. White, Signs of the Times, 14 November 1895).

Apa yang kita pelajari tentang kekuasaan Setan atas dunia ini?
1. Setan "merebut kekuasaan" atas dunia ini dari tangan Adam yang ditaklukkannya melalui penggodaan. Sejak saat itu dia terus memerintah dunia ini dengan penipuan dan kebengisannya. Tetapi "penguasa dunia" tersebut hanya menguasai dunia ini untuk sementara dan terbatas oleh sebab nasib akhirnya sudah ditentukan.
2. Keberhasilan Setan menggoda dan menyesatkan pasangan manusia pertama di Taman Eden itu membuat dia yakin akan kemampuan penyesatannya. Dia menggoda Ayub atas izin Allah, tetapi gagal. Dia juga berusaha menggoda Kristus tapi dikalahkan.
3. Namun sifat dan kuasa penggodaan Setan tidak selalu gagal. Dia telah berhasil menipu dan menyesatkan sangat banyak orang dari zaman ke zaman, bahkan menjelang akhir riwayat dunia ini dia akan mengerahkan seluruh kuasanya "karena ia tahu, waktunya sudah singkat" (Why. 12:12).

Rabu, 13 Februari
KECERDASAN MANUSIA DAN HIKMAT ILAHI ("Hikmat" Dunia)

Pengetahuan dan kecerdasan. Pengetahuan tidak serupa dengan pengertian, dan kecerdasan tidak identik dengan hikmat. Orang yang berpengetahuan luas belum tentu memiliki pengertian dalam segala hal, dan orang yang cerdas bukan berarti dia lebih berhikmat ketimbang orang yang kurang cerdas. Hal ini terutama menyangkut pemahaman akan hal-hal yang bersifat rohani dan hikmat ilahi.

Apa itu kecerdasan? Kecerdasan adalah kemampuan kognitif seseorang yang meliputi (1) penyerapan pengetahuan [mempelajari dan memahami], (2) penerapan pengetahuan [memanfaatkan pengetahuan untuk pemecahan masalah], dan (3) penalaran abstrak [membuat ikhtisar/menyimpulkan]. Dalam kehidupan praktis, ada serangkaian paradigma untuk mengukur kecerdasan seseorang. Antara lain adalah kemampuan-kemampuan untuk memahami suatu gagasan, mengadakan pertimbangan, memikirkan jalan keluar dari suatu kebuntuan, melakukan evaluasi dan penilaian, membuat kesimpulan dalam rangka pengambilan keputusan, sampai kepada kemampuan beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru. Pendek kata, kecerdasan adalah kemampuan berpikir seseorang yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.

Dalam ilmu psikologi tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan perangkat psikometri yang lazim dikenal sebagai tes IQ (intelligence quotient). "Quotient" sama artinya dengan rasio, atau "hasil bagi." Aslinya, pengukuran tingkat kecerdasan menggunakan rumus IQ=MA/CA x 100. "MA" ialah mental age (umur psikologis), dan "CA" adalah chronological age (umur kronologis/usia sebenarnya). Dengan kata lain, tingkat kecerdasan ialah hasil bagi dari umur psikologis dengan umur kronologis dikalikan 100. Apa yang dimaksud dengan "umur psikologis" adalah kemampuan berpikir seseorang secara individual berbanding kemampuan berpikir rata-rata di kelompoknya. Tes ini ditemukan dan digunakan tahun 1905 oleh dua pakar ilmu jiwa Prancis, Alfred Binet dan Theopile Simon, untuk mengetahui tingkat penyerapan pengetahuan siswa-siswa di Prancis. Belakangan, di tahun 1916, seorang pakar psikologi pendidikan Amerika bernama Lewis Terman dari Universitas Stanford menyempurnakan rumus tersebut dan melahirkan apa yang dikenal sekarang ini sebagai "Tes Stanford-Binet."

"Sebagai manusia, kita telah mendapatkan banyak sekali pengetahuan dan informasi, khususnya dalam dua ratus tahun terakhir ini. Namun, pengetahuan dan informasi tidaklah sama dengan 'hikmat.' Kita juga sudah memperoleh pemahaman yang jauh lebih besar perihal dunia alamiah lebih dari yang pernah dimiliki oleh nenek moyang kita. Akan tetapi, 'pemahaman yang lebih besar' itu juga tidak sama dengan hikmat" [alinea pertama].

Hikmat ilahi. Terlepas dari kemampuan berpikir dan kecerdasan manusia yang terus bertambah dan meningkat, pemikiran sekuler manusiawi acapkali sulit untuk dapat memahami hikmat ilahi terutama yang berkaitan dengan penebusan dosa dan keselamatan. Buktinya, dari zaman rasul-rasul hingga sekarang jauh lebih banyak orang yang menolak kebenaran salib daripada yang menerima. Dasar dari penolakan ini ialah karena orang banyak itu tidak memahami pengorbanan Kristus di kayu salib itu, padahal salib berkaitan dengan keselamatan jiwa mereka. Itulah sebabnya rasul Paulus berkata, "Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah" (1Kor. 1:18).

Seperti telah kita pelajari terdahulu, salib adalah kegenapan "injil pertama" (protoevangelium) yang dicanangkan oleh Allah sendiri di Taman Eden segera setelah kejatuhan manusia (Kej. 3:15). Nah, kalau seseorang tidak percaya tentang doktrin penciptaan yang diutarakan dalam kitab Kejadian pasal 1 dan 2, serta peristiwa kejatuhan manusia dalam pasal 3, bagaimana dia akan percaya pada doktrin tentang injil atau salib Kristus? Mustahil, bukan? Jadi, di sinilah kita melihat relevansi antara doktrin penciptaan dengan kasih karunia Allah (=diselamatkan oleh iman). Seseorang yang hanya terpaku serta mengandalkan pengetahuan sekuler dan kecerdasan berpikirnya tidak mungkin bisa menerima hikmat ilahi.

Karena itu, mengutip Yesaya 29:14, rasul Paulus menegaskan: "Sebab dalam Alkitab, Allah berkata, 'Kebijaksanaan orang arif akan Kukacaukan, dan pengertian orang-orang berilmu akan Kulenyapkan.' Nah, apa gunanya orang-orang arif itu? Apa gunanya mereka yang berilmu? Apa gunanya ahli-ahli pikir dunia ini? Allah sudah menunjukkan bahwa kebijaksanaan dunia ini adalah omong kosong belaka! Karena bagaimanapun pandainya manusia, ia tidak dapat mengenal Allah melalui kepandaiannya sendiri. Tetapi justru karena Allah bijaksana, maka Ia berkenan menyelamatkan orang-orang yang percaya kepada-Nya melalui berita yang kami wartakan yang dianggap omong kosong oleh dunia" (1Kor. 1:19-21, BIMK). Itulah sebabnya sang rasul lebih jauh mengamarkan: "Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah" (1Kor. 3:18, 19).

"Ada begitu banyak dalam pemikiran manusia yang menantang Firman Allah. Apakah itu soal kebangkitan Yesus, penciptaan itu sendiri, atau mujizat apapun, 'hikmat' manusia (sekalipun ditopang dengan 'fakta-fakta' ilmu pengetahuan) harus dianggap 'kebodohan' apabila itu bertentangan dengan Firman Tuhan" [alinea kedua].

Apa yang kita pelajari tentang "hikmat" dunia ini dibandingkan dengan hikmat Allah?
1. Mempelajari ilmu pengetahuan adalah kewajiban setiap orang, tetapi mendewakan ilmu pengetahuan adalah kebodohan. Seseorang yang terlalu mengidolakan ilmu condong untuk membanggakan kepintarannya, dan orang yang merasa diri pintar dan cerdas cenderung meremehkan hikmat ilahi.
2. Kecerdasan berpikir dan pengetahuan duniawi itu penting, tetapi bukan itulah segalanya. Sebab kepintaran dan ilmu pengetahuan sekuler hanya berguna selama hidup di dunia ini saja, sedangkan hikmat ilahi bermanfaat untuk beroleh kehidupan di akhirat.
3. Rasul Paulus mengamarkan agar kita jangan menipu diri sendiri dengan menyombongkan pengetahuan duniawi yang kita miliki. Lebih baik disebut "bodoh" oleh dunia asalkan beroleh keselamatan, daripada dianggap "pintar" oleh dunia tetapi akhirnya binasa.

Kamis, 14 Februari
MENGAGUMI SANG PENCIPTA (Melalui Mata Iman)

Melihat lewat wahyu. Keagungan Allah tergambar dalam alam ciptaan-Nya. Semakin banyak yang kita ketahui mengenai alam semesta, semakin terkagum-kagum kita akan kebesaran Allah sebagai Pencipta. Raja Daud, sang pemazmur, mengungkapkan kekagumannya itu dalam syairnya: "Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan...Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!" (Mzm. 8:2, 10).

Pemujaan kepada Allah itu didasarkan pada pengamatannya terhadap alam ciptaan, sekalipun dia hanya bisa melihat alam secara terbatas dengan mata telanjang. Bayangkanlah kalau sekiranya Daud hidup pada zaman ini dengan ilmu pengetahuan fisika dan teknologi digital yang sedemikian maju sehingga dia dapat menyaksikan pemandangan luar angkasa yang memperlihatkan planet, tatasurya, dan gugusan bintang yang begitu nyata keindahannya melalui teleskop yang canggih. Sedangkan hanya memandang melalui mata iman saja pemazmur ini sudah begitu terkagum-kagum. Kita percaya bahwa Allah telah mengilhami Daud dengan hikmat-Nya untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih luas daripada mata jasmaninya.

"Hanya dalam seratus tahun terakhir ini kita benar-benar mulai memahami luasnya alam semesta dibandingkan dengan kerdilnya tubuh kita. Orang bahkan tidak bisa membayangkan seseorang seperti Daud dapat memiliki sesuatu ide tentang seberapa besar "langit" itu, kalau bukan dari wahyu ilahi. Jika dia saja kagum pada zaman dulu itu, betapa kita seharusnya jauh lebih kagum lagi karena mengetahui bahwa, terlepas dari ukuran alam semesta ini, Allah mengasihi kita dengan sebuah kasih yang kita bahkan tidak bisa memahaminya?" [alinea pertama].

Berita dari langit. Ada sebuah ungkapan populer di kalangan muda-mudi setengah abad lampau, "Pandanglah bulan, di situ aku." Kata-kata ini biasanya terukir secara mencolok di luar garis tepi surat cinta antara dua sejoli yang tinggal berjauhan, di mana satu-satunya komunikasi yang diandalkan adalah surat-menyurat karena waktu itu belum dikenal dan terbayangkan apa yang namanya telepon seluler, sms, komputer, internet--apalagi media sosial semacam Facebook. Makna dari kata-kata itu ialah pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih, namun terkendala jarak yang jauh, boleh sekadar melepas rindu dengan bertemu pandang di bulan saat purnama! Aduhai!

Tatkala pemazmur mengangkat pena dan menulis, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam" (Mzm. 19:2, 3), dia bukan sedang melepas rindu pada kekasihnya nun jauh di mata. Namun romantisme Daud sangat terasa di sini, ketika dia menuangkan rasa kagum pada Sang Pencipta saat memandang langit yang bertaburan bintang di malam hari. "Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi," lanjutnya (ay. 4, 5).

"Banyak orang menatap ke atas pada bintang-bintang di malam hari dan mengakui kebesaran Allah dan kekerdilan manusia lalu memuji Allah atas pemeliharaan-Nya...Namun, biarpun begitu kuatnya pernyataan dan kesaksian dari dunia ciptaan, penyataan itu tidaklah lengkap, terutama karena akibat-akibat dari Kejatuhan dan kutukan yang menyertainya" [alinea kedua: kalimat pertama; alinea ketiga: kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Dunia ini, yang dipenuhi dengan kesenangan dan kecintaan akan kepelesiran, senantiasa haus akan minat yang baru. Dan betapa sedikitnya waktu dan pikiran yang diberikan kepada Pencipta langit dan bumi. Allah menyerukan kepada makhluk ciptaan-Nya agar mengalihkan perhatian mereka dari kebingungan dan kekacauan di sekeliling mereka lalu mengagumi pekerjaan tangan-Nya. Benda-benda langit layak untuk direnungkan. Allah sudah menciptakan mereka demi kepentingan manusia, dan sementara kita mempelajari pekerjaan-Nya, malaikat-malaikat Allah akan berada di samping kita untuk menerangi pikiran kita" (Ellen G. White, Sons and Daughters of God, hlm. 110).

Apa yang kita pelajari tentang memandang alam ciptaan ini lewat mata iman?
1. Daud, raja dan pemazmur terkemuka, jelas adalah seorang pengagum alam. Pengamatannya yang serius dan intensif pada ruang angkasa di malam hari, sekalipun hanya dengan mata telanjang, telah melahirkan kekagumannya akan ciptaan Allah yang memberinya ide untuk menggoreskan puisi pemujaannya.
2. Alam selalu menjadi sumber inspirasi bagi para seniman untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam berbagai media sesuai dengan bakat dan minat kesenimanannya. Banyak pelukis realis kawakan yang menghasilkan karya-karya besar mereka dengan tema alam.
3. Sebagai umat Tuhan, kita ditantang agar menyisihkan waktu mengamati keindahan alam untuk mengenang penciptaan dan merenungkan kasih Allah melalui ciptaan-Nya. Mengagumi alam juga akan melahirkan rasa tanggungjawab untuk melestarikan alam.

Jumat, 15 Februari
PENUTUP

Keterbatasan pikiran manusia. Sekali lagi, dosa telah menggerus kemampuan berpikir manusia secara sangat signifikan. Meskipun kita tidak mempunyai data dan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan tentang presentase kemunduran daya pikir manusia sekarang ini dibandingkan dengan Adam dan Hawa ketika belum berdosa, tetapi Alkitab menyiratkan bahwa kemunduran itu ada dan presentasenya besar sekali.

Orang boleh berpikir bahwa manusia zaman moderen ini lebih cerdas dari manusia zaman purba, tetapi faktanya banyak karya manusia zaman purba yang belum mengenal teknologi canggih namun tidak tertandingi oleh manusia moderen dengan kemampuan iptek yang sangat maju. Sebut saja Candi Borobudur yang dibangun abad ke-9. Monumen sejarah yang didirikan zaman dinasti Syailendra, dengan arsiteknya Gunadharma, itu didirikan di atas bukit pada ketinggian 265 meter di atas permukaan laut yang menghabiskan sekitar 55.000 meter kubik batu andesit ketika orang belum mengenal traktor, buldozer, derek, dan alat-alat berat lainnya. Begitu pula Tembok Cina dengan panjang keseluruhan 21.196 Km yang melintasi bukit-bukit dan jurang terjal, dibangun sejak abad ke-7 SM. Ini sekadar contoh bahwa manusia zaman dulu memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki manusia moderen.

Ilmu pengetahuan memang bertambah dengan cepatnya, dan banyak penemuan-penemuan iptek yang baru dan luar biasa. Bukan semata-mata karena pertumbuhan kecerdasan manusia sekarang ini jauh lebih pesat daripada di masa lalu, tetapi karena Tuhan berkenan memberikannya. Sayangnya, ilmu pengetahuan yang seharusnya untuk lebih membawa kita kepada pengenalan akan Allah justeru seringkali diselewengkan untuk meragukan kuasa Allah. "Saya telah diamarkan [1890] bahwa untuk selanjutnya kita akan mempunyai pertarungan yang terus-menerus. Ilmu pengetahuan dan agama akan ditempatkan saling berlawanan, karena manusia yang terbatas tidak memahami kekuasaan dan kebesaran Allah" [dua kalimat pertama].

"Ia menggagalkan rancangan orang cerdik, sehingga usaha tangan mereka tidak berhasil; Ia menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya sendiri, sehingga rancangan orang yang belat-belit digagalkan" (Ay. 5:12, 13).

(Oleh Loddy Lintong/California, 14 Februari 2013)

Kamis, 14 Februari 2013

"KEJATUHAN YANG BERUJUNG KEMENANGAN"

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA PEKAN INI: "KEJATUHAN YANG BERUJUNG KEMENANGAN"

oleh Loddy Lintong pada 7 Februari 2013 pukul 20:55 ·



PELAJARAN KE-VI; 9 Februari 2013
"PENCIPTAAN DAN KEJATUHAN"


Sabat Petang, 2 Februari
PENDAHULUAN

Tertipu itu tidak lucu. Sebuah kalimat olok-olok yang tercetak pada kaos oblong berbunyi: "It's nice to be wrong" (Bersalah itu indah). Barangkali kesimpulan seperti ini--merasa bahwa berbuat salah itu adalah hal biasa--berangkat dari anggapan bahwa karena semua manusia rentan terhadap kesalahan maka bersalah bukanlah sesuatu yang memalukan. Bahkan, secara naluriah setiap orang memiliki apa yang disebut dalam ilmu psikologi sebagai "mekanisme pertahanan diri" di mana seorang yang dituding bersalah cenderung akan berkilah dengan menyodorkan alasan sebagai pembenaran atas kesalahannya.

Barangkali jika akibat dari sesuatu kesalahan hanya menimpa diri orang yang bersalah itu sendiri hal itu tidak perlu menjadi masalah. Namun ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh satu orang dapat berdampak buruk terhadap banyak orang, sudah barang tentu kesalahan itu bukan lagi sesuatu yang "indah." Contohnya adalah kesalahan fatal oleh Hawa yang telah memetik dan memakan buah pohon pengetahuan tentang baik dan jahat yang dilarang Allah, lalu memberikannya kepada Adam yang juga ikut memakannya. Sebab gara-gara kesalahan itu seluruh bumi terkutuk, dan semua keturunan mereka harus memikul kutukan dosa itu--mati. Sama sekali tidak lucu!

Tatkala Allah bertanya kepada Adam, apakah dia telah memakan buah pohon terlarang itu, Adam memainkan mekanisme pertahanan dirinya dengan memproyeksikan Hawa sebagai pihak yang bersalah. "Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan" (Kej. 3:12). Sewaktu Allah beralih kepada Hawa untuk pertanggungjawaban, perempuan itu juga menggunakan dalih yang sama. "Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan" (ay. 13). Allah mengerti bahwa pasangan manusia pertama itu sudah tertipu oleh Iblis, "bapa segala dusta" (Yoh. 8:44). Tetapi salah tetap salah, dan kesalahan yang kita lakukan secara sadar tidak dapat ditimpakan begitu saja kepada pihak lain, sekalipun kesalahan itu adalah akibat penipuan iblis.

Setan adalah hal yang nyata, bukan tokoh mitologis seperti dianggap oleh sebagian orang. Setan ada di Taman Eden, bersembunyi dalam sosok seekor ular, dan sekarang pun dia ada di mana-mana dalam berbagai manifestasi yang amat terselubung. Setan bukanlah sosok imajiner yang dapat kita jadikan sebagai "keranjang sampah" untuk melemparkan setiap kesalahan yang kita buat, seperti yang dimainkan dalam pertunjukkan monolog The Flip Wilson Show (tayangan populer di stasiun TV NBC Amerika awal 1970-an) dengan pelawak kulit hitam Clerow Wilson, Jr. yang memerankan wanita lancang bernama Geraldine Jones dan terkenal dengan ungkapan, "The Devil made me do it!" (Setan yang bikin saya berbuat hal itu).

"Maunya itu dianggap lucu. Tetapi dunia kita, dan kejahatan di dalamnya, menunjukkan bahwa Setan bukanlah bahan tertawaan. Bagi sebagian orang, gagasan tentang Iblis adalah sebuah takhyul kuno tidak perlu dianggap serius. Namun Alkitab itu tegas: meskipun Setan adalah musuh yang sudah dikalahkan (Why. 12:12; 1Yoh. 3:8), dia ada di bumi ini, dan dia bertekad untuk mendatangkan sebanyak mungkin malapetaka dan kehancuran terhadap ciptaan Allah" [alinea kedua dan ketiga].

Pena inspirasi menulis: "Peperangan yang telah dimulai di surga itu tidak berakhir di situ. Pada waktu Setan terusir keluar, ikut terusir bersama dia sejumlah besar malaikat yang oleh cara berpikirnya yang menyesatkan telah dipimpinnya untuk memberontak terhadap Allah. Mereka sudah datang ke bumi ini, dan penipuan yang sama oleh mana Setan telah mengakibatkan kejatuhan malaikat-malaikat itu dia praktikkan atas Adam dan Hawa...Sampai hari kiamat akan ada peperangan antara antek-antek Setan dengan orang-orang yang menerima Kristus, mereka yang untuk siapa Dia sudah memberikan nyawa-Nya, agar mereka boleh memiliki kuasa untuk menaati hukum Allah. Pertentangan ini, sebagaimana diutarakan dalam Firman Allah, menyangkut kepentingan kita secara perorangan, dan terhadap hal itu kita sekarang harus perhatikan dengan sungguh-sungguh" (Ellen G. White, Review and Herald, 3 Mei 1906).

Minggu, 3 Februari
KALAH CERDIK (Ular Itu Lebih Lihay)

Manusia pertama tertipu. Tentu saja Setan tahu akan kecerdikan ular yang melebihi hewan-hewan lain, dan dia juga paham bahwa pasangan manusia pertama itu tahu perihal ular sebagai hewan paling cerdik. Itulah sebabnya ketika Hawa yang sedang berjalan sendirian dan berada di dekat "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" tidak terkejut ketika ular itu menyapanya. Setan memanfaatkan ular tersebut dengan cara menambahkan kelihayannya kepada kecerdikan binatang melata itu, dan sekonyong-konyong ular dapat mengeluarkan pendapat yang menjebak, "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" (Kej. 3:1).

Apa yang terjadi kemudian, sebagaimana kita tahu, ialah Hawa menanggapi si ular. "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati" (ay. 2, 3). Perhatikan keluguan Hawa dan kepeduliannya untuk mengoreksi perkataan ular itu. Dalam gaya bahasa sekarang ini, Hawa seperti berkata: "Oh, kamu salah, ular. Semua buah di taman ini boleh kami makan, tetapi buah pohon di mana kamu bertengger itu, Tuhan bilang jangan dimakan sebab nanti kamu mati." Tampaknya Hawa tidak menyadari bahwa sebenarnya dia bukan sedang berhadapan dengan ular, tetapi dengan Setan yang menjadi "penumpang gelap" dalam diri ular itu.

Di kemudian hari, rasul Paulus menyatakan kekhawatirannya bahwa kesetiaan umat Tuhan yang lugu bakal terperdaya juga. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya" (2Kor. 11:3; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, Paulus menekankan pada penyesatan pikiran yang dapat menggoyahkan kesetiaan sejati seorang pengikut Kristus, "sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular" karena perempuan itu tidak menyadari bahwa yang dihadapinya ketika itu sesungguhya adalah mantan petinggi di surga. Banyak orang sekarang ini yang suka sekali terlibat dalam perdebatan tentang kebenaran Alkitab, merasa seakan-akan mereka sedang membela kebenaran firman Allah dengan orang lain, tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang berhadapan dengan makhluk paling lihay yang sedang menyaru dalam diri orang lain, siapa pun dia.

"Kecerdikan ular itu terlihat dalam cara dia mengajukan godaannya. Dia tidak membuat serangan langsung tetapi berusaha melibatkan perempuan itu dalam percakapan. Perhatikan bahwa kata-kata ular itu mencakup setidaknya dua aspek problematik. Pertama, dia bertanya apakah Allah benar-benar membuat suatu pernyataan tertentu. Pada waktu yang sama, dia menyusun pertanyaannya untuk membangkitkan keraguan tentang kemurahan hati Allah...Dengan sengaja salah mengutip perintah Allah, si ular menjerat perempuan itu untuk membetulkan pernyataannya dan berhasil menarik dia ke dalam percakapan. Strategi ular itu sudah jelas 'lihay'." [alinea pertama: lima kalimat pertama dan dua kalimat terakhir; huruf miring ditambahkan].

Semua rentan ditipu. Kita bisa saja berandai-andai: Kalau saja Hawa tidak berjalan sendirian dan Adam berada di sampingnya; kalau saja Hawa tidak menghampiri pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu; kalau saja Hawa tidak peduli dengan perkataan si ular tetapi segera berlalu dari situ; kalau saja Hawa sadar bahwa bukan ular yang sedang dia hadapi tetapi Setan; dan lain-lain. Namun satu hal harus disadari, bahwa situasi kita tidak lebih baik sekarang ini dibandingkan dengan situasi Hawa pada waktu itu, atau sebaliknya. Setan terlalu licik dan lihay untuk dapat ditaklukkan oleh manusia secerdas dan sesaleh apapun, dan bahwa semua orang rentan menjadi korban penipuan serta penyesatannya.

"Jelas, Setan sama sekali tidak kehilangan kelicikan atau penipuannya. Dia masih menggunakan strategi yang telah berhasil terhadap Hawa. Dia memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang Firman Allah dan maksud-maksud Allah, berharap untuk membangkitkan keraguan dan menarik kita ke dalam 'percakapan.' Kita harus waspada (1Ptr. 5:8) untuk melawan muslihat-muslihatnya" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

"Naga yang besar itu dibuang ke luar! Dialah ular tua itu yang bernama Iblis atau Roh Jahat, yang menipu seluruh dunia" (Why. 12:9, BIMK; huruf miring ditambahkan). Tetapi, bukan seperti waktu di Taman Eden ketika Setan memanfaatkan kecerdikan ular, pada zaman akhir ini dia akan menggunakan manusia yang akan tampil sebagai Mesias-Mesias palsu dan nabi-nabi palsu bahkan mampu melakukan berbagai tanda ajaib dan mujizat, "sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga" (Mat. 24:24; Mrk. 13:22). Jadi, tidak ada seorang pun boleh menganggap enteng terhadap penyesatan Iblis. Namun kita juga bersyukur bahwa banyak dari antara umat Tuhan yang waspada dan mengandalkan kuasa Kristus akan menang. "Saudara-saudara kita sudah mengalahkan dia dengan darah Anak Domba itu, dan dengan berita benar dari Allah yang mereka kabarkan" (Why. 12:11, BIMK).

Apa yang kita pelajari tentang kelicikan ular dan Setan?
1. Hawa tidak menyadari bahwa ketika dia berbicara dengan ular di Taman Eden, yang kedengarannya bertanya dengan tulus, sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Setan yang hendak menipu dirinya. Keberhasilan Setan menarik Hawa ke dalam percakapan dengan dia adalah pangkal dari kejatuhannya.
2. Dengan pengetahuan Alkitab dan pemahaman teologia kita tidak menjadi jaminan bahwa anda dan saya akan lebih mampu untuk melawan penipuan Setan. "Bapa segala dusta" itu sudah menyesatkan seluruh dunia, dan dia semakin berpengalaman untuk menghadapi umat Tuhan yang paling setia sekalipun.
3. Pada permulaan dunia ini Setan menggunakan ular untuk menipu manusia, di zaman akhir ini dia gunakan manusia sebagai antek-anteknya. Selalu waspada dan andalkan kuasa Roh Kristus. Jauhilah "pohon pengetahuan baik dan jahat" itu dengan cara menjauhi godaan untuk berdebat tentang kebenaran Alkitab, dengan siapa saja dan dalam forum apa saja!

Senin, 4 Februari
BELAJAR DARI PENGALAMAN HAWA (Perempuan Itu dan Si Ular)

"Hiperkorek." Dalam ilmu linguistik ada istilah "hypercorrect" (hiperkorek), yaitu kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh penerapan berlebihan dari suatu aturan tatabahasa atau penggunaan kata. Dalam bahasa Indonesia, contoh penggunaan kata yang tergolong hiperkorek (=membetulkan bentuk kata yang sudah benar sehingga menjadi salah), misalnya: utang (sudah benar) menjadi hutang (salah atau hiperkorek); saraf (sudah benar) jadi syaraf (hiperkorek). Katakanlah, hiperkorek adalah "gejala ekstremisasi" dalam ragam bahasa.

Dalam percakapan antara Hawa dengan ular di Taman Eden kita juga menemukan semacam "gejala ekstremisasi" di pihak Hawa. Ketika ular (Setan) memancingnya dengan pemutar-balikkan fakta bahwa Tuhan mungkin melarang mereka untuk memakan buah dari semua pohon di taman itu, Hawa membantahnya dengan menambah larangan itu berdasarkan pendapat atau perasaannya sendiri. "Allah berfirman," katanya, "Jangan kamu makan atau pun raba buah itu, nanti kamu mati" (Kej. 3:3). Ini merupakan gaya hiperkorek di pihak Hawa menyangkut perintah Tuhan itu. Atau barangkali Hawa bermaksud hendak mempertajam larangan itu, jangankan memakannya, menjamahnya saja tidak boleh. Padahal, seandainya dia sudah memetik buah dari pohon larangan itu tetapi tiba-tiba berubah pikiran lalu membuangnya dan tidak jadi memakannya, mestinya dia tidak berdosa.

"Oleh karena kita tidak tahu apa yang mendorong dia untuk mengatakan hal itu, paling baik ialah tidak berspekulasi tentang sebab-musababnya. Namun tidak diragukan: dengan berpikir bahwa dia tidak boleh meraba buah itu, akan berkurang kecenderungannya untuk memakannya, sebab dia tidak dapat memakan apa yang tidak dapat dia sentuh" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Tetapi dalam hal dosa, berniat saja itu sama dengan berbuat. Bukankah Yesus pernah berkata, "Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum" (Mat. 5:21-22; huruf miring ditambahkan). Begitu juga, "Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya" (ay. 27-28; huruf miring ditambahkan).

"Betapa sering kita menghadapi hal yang sama dewasa ini: seseorang datang dengan pengajaran yang, meski tidak semuanya tapi kebanyakan, selaras dengan Kitabsuci? Hal-hal sedikit yang tidak selaras itulah yang dapat merusak segala yang lain. Kesalahan, sekalipun dicampur dengan kebenaran, tetap kesalahan" [alinea kedua].

Sikap atau hukum? Tatkala orang-orang Farisi dan ahli Taurat mencela murid-murid Yesus karena makan tanpa membasuh tangan lebih dulu, dan dengan demikian melanggar aturan kesehatan yang secara tradisional dipelihara oleh orang Yahudi, Yesus menyergah dengan mengetengahkan pelanggaran mereka atas hukum moral yang kelima tentang menghormati orangtua. Menurut adat istiadat mereka, anak-anak dapat dibebaskan dari kewajiban "menghormati orangtua" untuk menyokong kehidupan ayah dan ibu mereka yang sudah tua kalau uang untuk itu sudah disumbangkan ke kaabah.

Apa yang Yesus tonjolkan di sini ialah soal "sikap" orang Yahudi yang munafik, mencari pembenaran atas pelanggaran mereka terhadap hukum Allah dengan cara berlindung pada adat istiadat dan tradisi. "Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri" (Mat. 15:6). Apalah artinya kelalaian membasuh tangan sebelum makan, dibandingkan dengan kelalaian menaati hukum Allah yang menuntut mereka untuk menghormati orang tua (hukum kelima)? Itu sama saja dengan membenarkan diri makan di restoran pada hari Sabat dengan memesan menu vegetaris, tetapi menyalahkan orang lain yang menghidangkan ikan dan daging untuk makan siang hari Sabat di rumahnya. Tentu saja yang terbaik ialah tidak masuk restoran pada hari Sabat dan makan makanan vegetaris di rumah sendiri, tetapi tanpa menuding orang-orang lain yang masih belum bertarak.

Terhadap mereka itu Yesus berkata, "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia" (ay. 8-9). Jadi, ini adalah soal sikap ketaatan terhadap hukum Allah dan kedewasaan rohani sebagai umat Tuhan. Kita harus menuruti hukum Allah secara sempurna dan pas, tidak berlebihan dengan maksud agar secara luar terlihat lebih baik dari orang lain. Allah tidak suka manusia menambah apa yang difirmankan-Nya, dan di sisi lain manusia memang tidak berhak melakukan hal itu. "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini" (Why. 22:18).

"Masalah dengan dosa bukanlah kurangnya aturan tetapi hati yang keji. Bahkan dalam masyarakat sekuler kita sering mendengar seruan untuk menambah lagi hukum terhadap kejahatan padahal sudah ada undang-undang yang cukup memadai. Kita tidak perlu undang-undang yang baru seperti halnya kita membutuhkan hati yang baru" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang tanggapan Hawa terhadap ucapan ular di Taman Eden?
1. Hawa telah terpancing untuk menanggapi perkataan ular itu, berusaha untuk "membetulkan" ucapannya tentang perintah Allah, tanpa menyadari bahwa dia sedang digiring masuk perangkap. Acapkali kita juga terlalu bersemangat membela "kebenaran" yang kita pegang, tapi belakangan justeru ikut terseret keluar.
2. Perintah Allah harus ditaati dengan sempurna, tetapi bukan dengan melebih-lebihkan menurut pendapat kita sendiri. Penurutan harus dilakukan dalam sikap yang benar, selaras dengan apa yang dimaksud Tuhan. Sekalipun kita berhasil dalam menurut dengan sempurna, tetapi kita tidak diselamatkan oleh penurutan melainkan oleh kasih karunia Allah.
 3. "Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu?" (Pkh. 7:16, 17).

Selasa, 5 Februari
TUTUP PINTU TERHADAP KERAGUAN (Tertipu oleh Bukti)

Terpengaruh dan hilang. Berapa sering kita menyaksikan orang-orang yang semula kelihatan begitu militan membela doktrin yang benar, tapi belakangan berbalik meragukannya? Masalahnya adalah mereka membuka pintu pada keragu-raguan yang berasal dari luar, lalu terpengaruh dan hilang. Hawa adalah korban pertama di antara manusia yang jatuh ke dalam dosa oleh karena membiarkan dirinya dipengaruhi untuk meragukan firman Allah.
Ular itu berkata, "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kej. 3:4, 5; huruf miring ditambahkan).

Perhatikan bahwa janji palsu yang Setan tawarkan kepada Hawa sesungguhnya merupakan cerminan dari ambisi si penipu itu sendiri. Dialah yang "hendak menyamai Yang Maha Tinggi" (Yes. 14:14) tatkala dirinya masih sebagai Lusifer, tetapi dia gagal dan diusir ke luar dari surga. Sekarang, di Taman Eden dia menipu Hawa, mengatakan bahwa dengan memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu dia "akan menjadi seperti Allah." Kenyataannya, sebagaimana kita tahu, Hawa pun mengalami nasib yang sama seperti Lusifer, terusir keluar dari Taman Eden. Tujuan Setan dari dulu hingga sekarang tetap sama: karena dirinya sudah pasti binasa, manusia juga harus binasa bersama dia.

Alkitab memberitahukan kepada kita betapa "rayuan gombal" Iblis itu sangat mengesankan di hati Hawa, sebab apa yang terjadi kemudian perempuan itu tiba-tiba menjadi sangat tertarik pada buah pohon pengetahuan tentang baik dan jahat yang dilarang itu. "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya" (Kej. 3:6; huruf miring ditambahkan).

"Setan berhasil menarik Hawa ke dalam percakapan dan membangkitkan keraguan perihal apa yang Allah katakan dan mengapa. Sekarang dia memberitahu Hawa bahwa Allah tidak mengatakan yang sebenarnya dan memberikan penjelasan akan motif Allah di balik larangan-Nya bagi mereka memakan buah itu. Menurut Setan, Allah sedang menahan sesuatu yang baik untuk membuat Adam dan Hawa tetap berada di bawah potensi mereka yang sempurna" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Titik terlemah. Sebagian orang mereka-reka apa sebabnya Adam juga begitu mudah terpengaruh, dan menyayangkan mengapa dia tidak memperlihatkan sikap yang kritis terhadap perbuatan istrinya memakan buah larangan itu, sebaliknya malah menunjukkan kedunguan seperti kerbau yang dicucuk hidung. Tetapi itu menurut pendapat kita setelah membaca kisah itu dan mengetahui akibat-akibat selanjutnya. Anda dan saya tidak berada di sana, selain itu Adam dan Hawa adalah manusia dalam kesempurnaan penciptaan Allah, mereka pun hidup di lingkungan Taman Eden dalam suasana yang suci. Tentu saja kita tidak bisa begitu saja menghakimi nenek moyang kita yang pertama itu.

Tetapi yang pasti ialah bahwa Setan selalu menyerang pada titik terlemah, dan tampaknya Hawa adalah titik yang lebih lemah itu. Meskipun perempuan itu mungkin hanyalah "sasaran antara" bagi Setan--sasaran utamanya adalah Adam--tetapi dengan mengalahkan Hawa, si penipu itu sudah berhasil separuh jalan untuk mengalahkan sasaran utamanya. Kenyataannya, Adam menyerah "tanpa perlawanan" sama sekali. Tragis, bahwa Hawa yang adalah korban penggodaan sekarang dirinya pun menjadi penggoda terhadap suaminya sendiri. Setan tidak perlu bekerja keras menggoda Adam, tetapi dengan liciknya dia telah menggunakan Hawa sebagai kaki-tangannya untuk melaksanakan tujuannya menjatuhkan sasaran utamanya. Karena kejatuhan Adam, seluruh umat manusia jadi berdosa (Rm. 5:12). Lihatlah betapa dahsyatnya akibat berantai dari satu perbuatan pelanggaran. Karena itu, "janganlah beri kesempatan kepada Iblis" (Ef. 4:27).

Rasul Paulus mengatakan bahwa "bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda" (1Tim. 2:14). Faktanya memang begitu, Adam bukanlah korban penggodaan; Adam melanggar secara sadar, oleh sebab itu dosanya lebih besar dari istrinya. "Seberapa sering perilaku semacam itu terlihat sekarang ini? Betapa mudahnya kita bisa tergoda oleh apa yang orang lain katakan dan lakukan, tanpa memperhatikan betapa bertentangannya perkataan dan tindakan mereka terhadap Firman Allah. Adam mendengarkan Hawa gantinya Allah, dan selanjutnya adalah mimpi buruk yang dikenal sebagai sejarah manusia (baca Rm. 5:12-21)" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang Hawa yang tertipu oleh bukti?
1. Kesalahan utama Hawa ialah tergoda untuk melibatkan diri dalam perbincangan dengan ular (Setan), dan selanjutnya dirinya berhasil dipengaruhi untuk meragukan perkataan Allah. Perhatiannya beralih kepada buah-buah pohon pengetahuan baik dan jahat itu, kali ini dengan pikiran yang sudah diracuni.
2. Setan yang lihay selalu menyerang titik terlemah, dia sudah berhasil di Taman Eden dan dia akan terus mengulangi strategi itu sekarang. Waspadailah titik terlemah anda--siapa atau apa itu.
3. Jangan pernah membuka pintu terhadap keraguan; apabila anda menjadi ragu terhadap firman Tuhan maka kemungkinan yang lebih buruk jadi terbuka lebar. Adam dapat dengan mudah mengabaikan perintah Allah oleh sebab dia begitu gampang menuruti perkataan Hawa.

Rabu, 6 Februari
SOLUSI TERHADAP DOSA (Kasih Karunia dan Penghakiman di Eden: Bagian Satu)

"Di manakah engkau?" Allah biasa mengunjungi Adam dan Hawa di Taman Eden secara pribadi untuk bercengkerama dengan kedua insan manusia ciptaan-Nya itu, tetapi kunjungan kali ini suasananya sungguh berbeda. Dia telah memperhatikan apa yang baru saja terjadi di bawah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu ketika Hawa bercakap-cakap dengan ular, dan Dia pun menyaksikan dari surga bagaimana Adam yang pasrah menerima buah larangan itu lalu memakannya tanpa ragu. Allah bisa saja datang lebih cepat sehingga mencegah pasangan tersebut melakukan dosa yang besar itu, namun Allah menghormati hak kebebasan memilih manusia.

"Di manakah engkau?" terdengar suara Allah memanggil Adam dan Hawa (Kej. 3:9). Tentu saja Allah tahu bahwa pasangan manusia itu tengah bersembunyi di balik kerimbunan pepohonan. Dapatkah kita membayangkan getaran emosi dalam nada suara Allah saat menyerukan kata-kata itu? Allah bisa saja langsung menghardik Adam dan Hawa di tempat persembunyian mereka atas perbuatan keji itu, tetapi gantinya Ia datang sebagai Bapa semawi yang penuh kasih hendak menemui anak-anak-Nya yang telah berdosa. Pertanyaan "Di manakah engkau?" mengandung suatu panggilan untuk datang mengakui kesalahan dan memohon ampun atas dosa mereka. Allah tahu di mana pasangan tersebut berada saat itu, tetapi Ia juga tahu bahwa sekarang sudah ada jurang yang dalam memisahkan Diri-Nya dengan manusia, jurang yang hanya Dia sendiri dapat dan akan menjembataninya.

Injil pertama. Hari itu adalah hari sangat bersejarah bagi manusia sepanjang zaman, suatu hari di mana nasib segenap umat manusia ditentukan. Setelah sebelumnya Adam dan Hawa berdosa oleh memakan buah larangan, selanjutnya pada hari itu juga Allah melakukan penghakiman para pelaku dosa dan sekaligus solusi atas dosa. Hari itu Allah menghakimi dan menjatuhkan hukuman berturut-turut terhadap ular (Kej. 3:14), lalu Setan (ay. 15), kemudian Adam dan Hawa beserta keturunan mereka (ay. 16-19).

Allah bersabda, "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kej. 3:15). Dalam teologi Kristen ayat ini disebut sebagai protoevangelium (=Injil pertama), karena perkataan Allah itu mencanangkan kabar baik bagi manusia bahwa salah seorang keturunan Hawa kelak akan "meremukkan kepala" ular yang merupakan personifikasi dari Setan. Inilah untuk pertama kalinya Allah mengumumkan kasih karunia yang disediakan-Nya bagi manusia berdosa supaya memperoleh keselamatan.

"Pikirkanlah dalam-dalam dampak dari apa yang terjadi di sini. Pernyataan deklaratif Allah yang pertama kepada dunia yang sudah jatuh pada kenyataannya adalah sebuah kutukan terhadap Setan, bukan manusia. Sesungguhnya, bahkan dalam kutukan terhadap Setan itu Allah memberikan kepada umat manusia pengharapan dan janji akan injil (ay. 15). Sementara Dia menyatakan ajal Setan, Dia mengumumkan pengharapan umat manusia. Terlepas dari dosa mereka, Tuhan langsung mengungkapkan kepada Adam dan Hawa janji penebusan itu" [alinea pertama].

Kegenapan janji itu terjadi ketika Anak Allah sendiri turun ke dunia ini dan "menyatakan Diri-Nya dalam rupa manusia" (1Tim. 3:16), lahir di kandang Betlehem dari perawan Maria, untuk kemudian menjalani kematian penebusan dosa di salib Golgota sebagai "Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia" (Yoh. 1:29). Penyiksaan dan kematian yang dialami Yesus merupakan patukan yang "meremukkan tumit" Hawa, tetapi kebangkitan Yesus dari kubur-Nya di hari ketiga adalah kemenangan atas maut (1Kor. 15:54-57), yang oleh kasih karunia Allah mengalami maut itu bagi semua manusia (Ibr. 2:9), dan oleh kemenangan itu Dia "meremukkan kepala" Setan.

Pena inspirasi menulis: "Kalau saja Setan dapat menyentuh Kepala itu dengan godaan-godaannya yang palsu, niscaya seluruh umat manusia akan hilang; tetapi Tuhan telah mengumumkan maksud dan rencana dari rahasia kasih karunia itu, menyatakan bahwa Kristus pasti meremukkan ular itu di bawah kaki-Nya" (Ellen G. White, The Messenger, 7 Juni 1893).

Apa yang kita pelajari tentang kasih karunia dan penghakiman di Taman Eden?
1. Alkitab menuturkan bahwa pada hari di mana Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa Allah langsung turun dari surga secara pribadi untuk menemui pasangan manusia itu. Ini bukan kunjungan rutin yang biasa dilakukan-Nya seperti pada hari-hari sebelumnya; ini adalah perlawatan istimewa.
2. Kedatangan Allah pada hari paling bersejarah itu adalah untuk melakukan penghakiman atas semua pihak yang terlibat dan bersalah; kedatangan-Nya itu juga sekaligus untuk mencanangkan Injil bagi manusia, yaitu Kabar Baik tentang kasih karunia Allah sebagai solusi atas dosa manusia.
3. Penjelmaan Anak Allah yang lahir sebagai manusia di bumi ini dalam sosok Yesus Kristus adalah kegenapan janji kasih karunia itu. Kematian Kristus sebagai Anak Domba Allah itu ibarat patukan ular pada tumit Hawa, tetapi kemenangan-Nya atas maut ibarat injakan kaki yang meremukkan kepala ular itu.

Kamis, 7 Februari
JANJI PENEBUSAN DAN KEKUATAN (Kasih Karunia dan Penghakiman di Eden: Bagian 2)

Penghakiman dan injil. Ketika Allah turun ke Taman Eden tidak lama setelah pasangan manusia pertama itu berdosa--melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat--Dia langsung mengadakan proses investigasi, menanyai pihak-pihak yang terlibat dalam perbuatan dosa itu. Allah memulai dengan mengajukan pertanyaan kepada Adam (Kej. 3:11), lalu kepada Hawa (ay. 13). Pemeriksaan itu bukan dalam rangka pengumpulan fakta karena Allah sudah mengetahui semuanya, melainkan untuk memperoleh pengakuan dari para pelaku. Terhadap ular--personifikasi Setan--Allah tidak bertanya apa-apa (meskipun ular itu bisa berbicara!), tetapi langsung menjatuhkan vonis (ay. 14). Ular dihukum oleh sebab dirinya telah diperalat oleh Setan, dan hukuman itu sesungguhnya menegaskan sikap Allah terhadap siapa saja yang menjadi alat Setan, disadari atau tidak!

Tindakan Allah selanjutnya adalah memvonis Setan. Tidak ada tanya-jawab antara Tuhan dengan Setan, seperti juga dengan ular itu, sebab tidak ada yang perlu diajarkan kepada mereka. Allah "mengadakan permusuhan" antara manusia dengan Setan, sekaligus menentukan nasib akhir dari Setan (ay. 15). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan permusuhan dalam ayat ini adalah אֵיבָה, 'eybah, sebuah kata benda feminin yang berarti juga kebencian. Jadi, dari awal memang Allah sudah menaruh rasa permusuhan dan kebencian antara Setan dengan manusia, meski di kemudian hari dari zaman ke zaman ada saja orang-orang yang "bersahabat" dengan Setan dalam berbagai manifestasi dan dengan berbagai motivasi tanpa menyadari bahwa pada akhirnya mereka bakal menjadi korban.

Dan sebagaimana yang kita pelajari kemarin, dalam permusuhan itu Setan akan "meremukkan tumit" keturunan Hawa tetapi keturunan perempuan itu akan "meremukkan kepala" Setan atau mengalahkannya dengan tuntas. Vonis yang mengandung makna nubuatan dalam ayat ini merupakan "kabar baik" atau Injil bagi umat manusia sepanjang zaman (baca pelajaran hari Rabu, 6 Februari).  Tumit adalah bagian tubuh yang mudah dipatuk ular. Anak Allah, yaitu Mesias, harus turun ke dunia ini dan hidup sebagai manusia supaya Setan bisa menyerang-Nya, sebuah serangan yang tidak mematikan. Dalam pada itu, kedatangan Mesias ke dunia ini adalah untuk menghancurkan Setan di wilayah yang dikuasainya dengan meremukkan kepalanya, sebuah pukulan yang mematikan. Itulah injil, kabar baik bagi manusia tetapi kabar buruk bagi iblis.

"Memang harus demikian. Lagi pula, apakah maksud dari injil, apalah 'kabar baik' itu jika tidak ada penghakiman, tidak ada penghukuman yang harus dihindari? Konsep sesungguhnya dari 'injil' mengandung konsep penghukuman, suatu penghukuman yang tidak harus kita hadapi. Itulah 'kabar baik'!" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Injil, tema seluruh Alkitab. Injil, yaitu Kabar Baik bagi manusia, dicetuskan dalam kitab Kejadian dan digenapkan dalam kitab Wahyu. Bahkan, injil adalah tema dari seluruh isi Alkitab. Injil juga selalu ditampilkan bersama "rekan imbangan" (counterpart) di dalam Kitabsuci. Dalam kitab Wahyu, sebagaimana disaksikan oleh Yohanes Pewahyu, malaikat yang terbang di langit dan mengumumkan tentang penghakiman itu memegang injil dalam tangannya. Malaikat itu mengkhotbah injil dan sekaligus mengumumkan penghakiman, menandakan bahwa bagi manusia hanya ada dua pilihan: menerima injil atau menghadapi penghukuman.

"Dengan demikian, dasar dari pekabaran kita tentang kebenaran masa kini haruslah kasih karunia, kabar baik bahwa meskipun kita layak dihukum kita masih dapat diampuni, disucikan, dan dibenarkan melalui Yesus. Tanpa injil nasib kita akan sama dengan nasib ular itu dan keturunannya, bukan nasib perempuan itu dan keturunannya. Dan, cukup mencengangkan, berita besar ini bahkan muncul di Eden, dalam kata-kata deklaratif Allah yang pertama kepada dunia yang telah jatuh" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Ketika Setan mendengar perkataan, 'Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya,' dia tahu bahwa manusia akan diberi kuasa untuk melawan godaan-godaannya...Adam dan Hawa sudah menyerah pada godaan-godaannya, dan keturunan mereka akan merasakan kedahsyatan serangan-serangannya. Tetapi mereka tidak akan dibiarkan tanpa penolong...Ada permusuhan antara umat manusia yang sudah jatuh dengan Setan, hanya selama manusia menempatkan dirinya di pihak Allah dan berserah pada penurutan hukum Yehovah. Ini memberikan kepadanya kuasa untuk menahan serangan-serangan Setan. Melalui pengorbanan Kristus maka manusia disanggupkan untuk menurut" (Ellen G. White, Review and Herald, 3 Mei 1906).

Apa yang kita pelajari tentang injil dan penghakiman?
1. Penghakiman dan injil (=kabar baik bahwa ada penebusan dan keselamatan di dalam Kristus) adalah tema Alkitab yang selalu muncul bersama-sama, kadang penghakiman dan kerap pula injil yang disebutkan lebih dulu. Kita bisa menemukannya di seluruh Alkitab karena penghakiman dan injil selalu berkumandang sepanjang zaman.
2. Penghakiman dan injil disajikan bersama-sama oleh karena itulah dua pilihan yang selalu dihadapkan kepada manusia, menerima injil dan selamat atau menghadapi penghakiman dan binasa. Allah tidak dapat memaksakan manusia untuk memilih salah satu karena menghormati hak kebebasan memilih manusia yang dikaruniakan-Nya.
3. Memilih injil akan menempatkan kita pada posisi berada dalam perlindungan kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus, suatu keadaan yang bukan saja menjanjikan penebusan dosa dan keselamatan tetapi juga kekuatan untuk mengalahkan godaan iblis.

Jumat, 8 Februari
PENUTUP

Pengharapan itu ada. Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa adalah malapetaka yang harus ditanggung oleh seluruh umat manusia bahkan oleh bumi yang terkutuk. Dosa terjadi karena manusia mendengarkan penipuan Setan dan menggunakan kebebasan memilih mereka secara salah. Itu sudah dialami oleh pasangan manusia pertama di Taman Eden, dan keadaan yang sama akan terus dihadapi oleh setiap manusia sampai hari kematiannya atau hingga riwayat dunia ini berakhir.

"Kejatuhan nenek moyang kita yang pertama, dengan seluruh malapetaka yang diakibatkannya, dituduhkannya ke atas Khalik, menyebabkan manusia memandang Allah sebagai sumber dosa, penderitaan, dan maut. Yesus harus menyingkap tabir penipuan ini" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Meskipun nenek moyang umat manusia itu sudah tertipu dan berdosa, Allah di dalam kasih dan keadilan-Nya telah menyediakan solusi (=jalan penyelesaian) atas dosa melalui kematian penebusan Anak Tunggal-Nya sebagai Mesias yang berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus. Hanya dengan demikian ada pengharapan bagi manusia berdosa untuk ditebus dan diselamatkan. Inilah kabar baik atau Injil yang dicanangkan Allah di Taman Eden itu (Kej. 3:15), dan yang terus berkumandang di seluruh Alkitab.

"Kalimat ini, yang diucapkan dalam pemeriksaan orangtua pertama kita itu, bagi mereka adalah sebuah janji. Sebelum mereka mendengar tentang duri dan onak, tentang kerja keras dan penderitaan yang harus menjadi bagian mereka, atau tentang debu kepada apa mereka harus kembali, mereka mendengarkan kata-kata yang tidak bisa gagal memberi mereka harapan. Segala yang telah hilang oleh menyerah kepada Setan dapat diperoleh kembali melalui Kristus" [alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].

Berdasarkan pengharapan akan janji ini, disertai penyerahan kepada kuasa Kristus yang sudah menang itu, anda dan saya mampu mengalahkan dosa dengan menolak godaan-godaan berupa kesenangan dunia yang tidak putus-putusnya ditawarkan Setan dan antek-anteknya kepada kita. Tujuan Setan ialah agar kita lebih mencintai dunia ini dengan kepelesirannya, daripada mengasihi Kristus dengan penebusan-Nya itu. Oleh penyerahan diri dan angan-angan hati kepada Allah, niscaya kita dapat memilih keselamatan kekal yang jauh lebih berharga.

"Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya" (1Yoh. 2:15-17).

(Oleh Loddy Lintong/California, 7 Februari 2013)